Bara

Est-ce La Fin? 8



Est-ce La Fin? 8

0Makan malam pertama Bara dan yang lainnya di atas kapal yang sudah mereka sewa berlangsung meriah. Mereka makan malam diatas dock kapal. Lampu kuning temaram menjadi penerangan mereka ketika makan malam dan menciptakan suasana romantis.     
0

Mereka menikmati hidangan laut yang tersaji di atas meja makan mereka sambil mengobrol santai. Semua tampak riang. Rico berulang kali melemparkan candaan yang membuat seisi meja makan tertawa terbahak-bahak.     

"Nah, sekarang kita dengerin sambutan dari orang yang udah ngundang kita semua ke kapal ini," seru Rico sambil melirik ke arah Bara.     

Bara sudah geleng-geleng kepala. Ia sudah tahu maksud dari ucapan Rico tersebut.     

"Mungkin ada yang mau disampaikan Bapak Bara Aditya Pradana?" tanya Rico dengan tatapan jahilnya.     

"No," sahut Bara singkat.     

"Oh, please. Paling ngga sepatah dua patah kata," bujuk Rico.     

Bara kembali menggeleng.     

"Bara," seru Maya tiba-tiba sambil menepuk tangannya.     

Bara segera melirik Maya. Maya balas meliriknya dengan tetap menyebut namanya hingga semua yang ada di meja makan ikut menyebut nama Bara.     

"Gue bales lu nanti," bisik Bara di telinga Maya.     

Maya mendekatkan kepalanya ke arah Bara dan berbisik. "I'll wait." Ia kemudian kembali menyebut nama Bara sambil menepuk tangannya.     

Bara menghela napasnya dan akhirnya bangkit dari tempat duduknya. Semuanya berseru sambil bertepuk tangan ketika melihat Bara berdiri. Bara melambaikan tangannya agar semua yang ada makan berhenti menyerukan namanya.     

Bara memandangi satu per satu orang yang ada di meja makan. Ia tersenyum simpul sambil menatap mereka semua. Tiba-tiba saja ia merasa gugup karena semua orang yang ada di meja makan menatap ke arahnya. Tanpa sadar, Bara menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.     

Damar tertawa pelan melihat Bara yang gugup berdiri di hadapan mereka semua. Ia pun jadi tidak tahan untuk menggoda Bara. "Come on, Bar. Kemana Bara yang galak kalo lagi rapat Direksi."     

Semua yang ada di meja makan kembali berseru setelah mendengar ucapan Damar. Sementara Bara melirik pasrah ke arah Damar.     

"Oke," gumam Bara. Seluruh orang yang duduk di meja makan kembali diam setelah Bara mulai membuka mulut. "Pertama-tama, jangan percaya sama Damar kalo gue galak pas lagi rapat." Ia menatap Damar sembari tersenyum malu-malu.     

Semua diam menantikan apa yang akan diucapkan Bara selanjutnya.     

Bara melempar senyumnya pada mereka yang ada di meja makan. "Gue ngga mau banyak omong, gue mau bilang terima kasih buat kalian semua yang udah membantu gue selama ini. Gue juga beruntung bisa kenal sama orang-orang luar biasa kaya kalian." Bara lalu mengangkat gelas berisi wine yang ada di hadapannya. "Cheers buat kita semua."     

Semua yang ada di meja makan kemudian turut mengangkat gelas mereka. Bara kemudian meminum anggur merah miliknya, diikuti dengan yang lainnya. Setelah itu, Bara kembali duduk di tempat duduknya.     

"Cuma segitu aja kata-kata sambutannya? Atau masih ada yang mau disampaikan lagi?" tanya Rico pada Bara dengan tatapan jahilnya.     

Bara dengan cepat menggeleng. "Yang lain aja lu suruh ngomong."     

"Yakin?" tanya Rico sekali lagi. Kali ini bertanya sambil melirik ke arah Maya.     

Bara segera mengangguk.     

Rico menepuk tangannya. "Oke, semuanya. Berhubung tuan rumah kita udah selesai ngasih sambutannya. Sekarang enaknya kita ngapain, ya?" Rico mengedarkan pandangannya pada orang-orang yang duduk di meja makan. "Malam masih panjang, nih. Dan kita baru mulai perjalanan kita. Masa belum apa-apa kalian udah loyo."     

"Gue biasanya jam segini udah tidur," sahut Ben.     

Rico langsung melirik ke arah Ben. "Really?" Ia lalu melirik jam tangannya. "Sekarang jam delapan waktu Indonesia bagian timur, berarti di Jakarta jam tujuh. Gue ngga percaya lu udah tidur jam tujuh, Ben."     

"Dia bukan tidur, tapi nonton drama," sahut Arga.     

Semuanya seketika tertawa mendengar ucapan Arga.     

"Lah, apa salahnya nonton drama." Ben mencoba membela dirinya.     

"Kalo kalian pernah liat Ben berantem, kalian ngga akan nyangka kalau dia ini hobi nonton drama korea," seru Reno.     

Rico berseru tidak percaya. "Really? Gue pikir dia cuma kerja di belakang komputer aja."     

"Kalo ngga percaya, tanya aja Bara sama Arga," timpal Reno.     

Rico menatap Bara dan Arga bergantian. Keduanya kompak menganggukkan kepalanya "Kenapa gue jadi ngerasa semua yang ada disini diam-diam punya rahasia, ya. Gimana kalo acara malam ini kita lanjutin dengan buka-bukaan soal rahasia kita kita semua?"     

Semua yang ada di meja makan tiba-tiba berubah serius. Rico memperhatikan ekspresi mereka satu per satu.     

"Gimana?" Rico kembali bertanya. "Gue tau, ngga mudah buka rahasia kalian di depan banyak orang. Namanya juga rahasia, kalian pasti punya alasan kenapa ngga mau ngasih tau orang. Tapi, dengan kita berbagi rahasia, itu bisa bikin pertemanan yang kita jalin saat ini bisa semakin kuat karena kita bisa percaya satu sama lain. Kalian ngga harus ngasih tahu semua rahasia kalian, satu rahasia juga udah cukup."     

Hazel tiba-tiba mengangkat tangannya setelah mendengarkan ucapan Rico. "Gue pernah jadi cowok penghibur."     

Seketika semua mata yang ada di meja makan menatap ke arah Hazel.     

Hazel tersenyum pada mereka semua. "Yep, bahkan Maya dan Kimmy pernah make jasa gue buat godain Adrian." Ia lalu menatap Adrian yang duduk di sebelahnya. "And it works."     

Maya dan Kimmy serta merta bertepuk tangan untuk Hazel. Sementara itu, Adrian yang duduk di sebelah Hazel menatapnya tidak percaya. Ia tidak percaya Hazel berani mengatakan itu semua di depan semua orang.     

"Dan, karena job dari mereka berdua, gue akhirnya menemukan orang yang bener-bener bisa ngerti gue yang kaya gini," lanjut Hazel. Ia kemudian menoleh dan menatap Adrian. Selanjutnya ia menoleh pada Rico. "Gue bisa share apa aja, kan?"     

"Sure," sahut Rico. "Gue seneng akhirnya ada yang mau share tentang rahasianya." Rico lalu duduk dan bersiap mendengarkan cerita Hazel.     

Yang lainnya ikut penasaran dan menegakkan duduknya. Hazel tertawa pelan melihat mereka semua yang tampak sangat tertarik dengan ceritanya. Ia menghela napasnya dan mulai bercerita.     

Hazel menceritakan alasannya bekerja sebagai pria penghibur yang mampu melayani wanita maupun pria. Tidak terhitung banyaknya ucapan cinta dan sayang dilayangkan padanya dari para kliennya ketika mereka selesai berhubungan intim dengannya.     

Pada awalnya ia merasa tersanjung, namun lama-kelamaan kata-kata itu kehilangan arti baginya. Bagi Hazel kata-kata itu hanya sebuah ungkapan ketika mereka yang membayarnya merasa puas. Namun setelahnya, peran Hazel tidak lebih dari seorang penghibur untuk memperoleh kesenangan sesaat.     

"Susah banget ngeyakinin dia kalo gue beneran sayang sama dia," ujar Adrian tiba-tiba.     

"Well, akhirnya gue percaya, cowok disamping gue ini beneran care sama gue," lanjut Hazel. "Dia bener-bener nunjukin perhatiannya, bukan sekedar kata-kata. Itu yang akhirnya bikin gue sadar, kalo masih ada orang yang care sama gue."     

Adrian tiba-tiba menggenggam tangan Hazel. "Gue tau, orang-orang kaya gue sama Hazel masih sering dipandang sebelah mata karena orientasi kita berdua. Tapi, menurut gue, cinta itu ngga memandang gender."     

"Gue setuju sama lu," sahut Rico. "I'm bisex by the way. Gue salut waktu lu akhirnya jujur ke publik tentang orientasi lu."     

Adrian tertawa. "Gara-gara itu gue hampir di depak dari perusahaan rintisan gue sendiri. Such an ironic." Ia lalu menatap Bara dan mengangkat gelasnya. Mata yang lainnya ikut menatap Bara. "Kalo bukan karena investasi dari dia, mungkin gue udah beneran diusir dari perusahaan gue sendiri. Thank you."     

Bara tersenyum dan mengangkat gelasnya. "Kinerja kalian bagus, dan gue mengajukan syarat itu karena gue ngga yakin apa kinerjanya akan tetap bagus kalo bukan lu yang mimpin. But, you're welcome."     

*****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.