Bara

Est-ce La Fin? 9



Est-ce La Fin? 9

0Setelah Hazel bercerita tentang masa lalunya. Cerita berlanjut pada Adrian. Tidak ada yang menyangka bahwa ternyata Adrian pernah mengalami kekerasan seksual tidak lama setelah ia tiba di pulau Jawa. Bahkan Ale yang tidak pernah terpisah dari Adrian sejak mereka tiba tidak mengetahui tentang hal tersebut.     
0

"Lu kenapa ngga pernah cerita tentang itu ke gue?" sela Ale.     

"Ini, gue lagi cerita," jawab Adrian.     

"Maksud gue, setelah kejadian itu," sahut Ale.     

"Dia pasti ngerasa takut, malu, tertekan," ujar Hazel.     

"Nah," Adrian mengiyakan ucapan Hazel.     

"Tapi, paling ngga lu bisa ngasih tau yang lain," sergah Ale.     

Adrian menggeleng. "Percuma, Le. Yang ada, gue malah di bully sama yang lain. Makanya gue lebih milih buat diam aja."     

"Gue tau, kok, rasanya ada di posisi kaya gitu." Raya tiba-tiba menyela. "Gue sampe sekarang belum berani cerita ke orang tua gue soal kejadian yang baru aja gue alamin. Bukannya apa-apa, gue malah takut kalo cerita itu nanti bikin mereka berpikir macam-macam tentang gue."     

Reno yang duduk di sebelah Raya mengenggam lengan Raya yang ada di bawah meja.     

"Bener kata Raya, gue ngga mau cerita bukan karena gue ngga mau. Gue mau banget cerita ke orang lain. Tapi, itu tadi. Gue takut cerita itu malah berbalik menyerang gue."     

"Emang susah kalo jadi korban pelecehan seksual," sahut Maya. "Inget, kan, sama foto-foto gue yang kesebar di internet gara-gara mantan gue itu."     

"Oh, I'm really sorry about that," ujar Adrian. "Ada campur tangan gue di kasus itu."     

"Don't mind," ujar Maya. "Gue udah maafin lu. Lu juga ngga tau kalo Abdi bakal sampai sejauh itu. Ya, balik lagi. Kalo kalian liat komen yang masuk, itu rata-rata malah nyalahin gue. Yang sedihnya lagi yang nyalahin itu sesama perempuan."     

Bata menatap tajam pada Maya selagi mendengarkan Maya berbicara.     

"Tapi gue salut, lu bisa ngelewatin itu semua dengan baik," sahut Raya.     

"Well, gue harus bersyukur karena orang-orang disekitar gue, mereka support gue. Lu juga pasti bisa ngelewatin ini semua dengan baik, Ray. Ada kita-kita disini yang dukung lu." Maya kemudian berdiri dari tempat duduknya dan menghampiri Raya. Ia memeluk Raya. "Jangan sungkan kalau lu perlu sesuatu. Kita bakal dukung lu buat ngelewatin ini semua."     

Raya tersenyum dan menepuk-nepuk lengan Maya yang memeluknya dari belakang. Ia memang masih belum bisa melupakan kejadian di gudang tempatnya disekap beberapa hari yang lalu. Bayangan pria-pria yang hampir memperkosanya terus datang ketika ia memejamkan matanya. Namun, apa yang dikatakan Maya membuatnya yakin, bahwa ia bisa melalui ini semua.     

"Thanks, May. It means a lot to me," ujar Raya.     

"Anytime, darl." Maya semakin memeluk erat Raya. Setelah beberapa saat, Maya melepaskan pelukannya dan kembali ke tempat duduknya.     

Bara langsung merangkulnya dan mengecup keningnya. Ia merasa bersalah karena di saat Maya membutuhkannya, ia justru tidak berada di sampingnya. "I'm sorry," bisik Bara di telinga Maya.     

"It's okay," gumam Maya. Ia tahu maksud dari permintaan maaf Bara.     

Rico menghela napasnya. "Wah, gue ngga nyangka topik kita jadi berat kaya gini. Tapi gue suka, kita akhirnya terbuka satu sama lain." Ia lalu melirik jam tangannya. "Udah mau tengah malem. Gimana kalo kita lanjut besok? Waktu kita masih banyak, kok, sampai nanti kita balik ke Jakarta."     

"Padahal lagi seru-serunya," sergah Ben.     

Rico melirik pada Ben. "Bukannya harusnya jam segini lu udah tidur?"     

Ben lalu berdiri dari tempat duduknya. "Oke, guys. Gue balik ke kamar duluan." Ketika ia berjalan melewati Rico, Ben iseng mengunci lehernya. "Awas lu, ya. Besok gue ceburin ke sarang hiu." Setelah menyelesaikan kata-katanya Ben melepaskan leher Rico dan melanjutkan langkahnya masuk ke dalam kapal.     

"Ya udah, kita lanjut besok malam. Besok kita diving lagi," seru Rico. Ia kemudian berlari masuk ke dalam kapal.     

Orang-orang yang tersisa tertawa melihat Rico yang pergi begitu saja meninggalkan mereka. Akhirnya satu per satu dari mereka meninggalkan meja makan dan masuk ke dalam kapal untuk menuju kabinnya masing-masing.     

-----     

Bara memiringkan badannya dan menatap Maya ketika mereka berdua sudah berbaring di tempat tidurnya. Maya memiringkan sedikit kepalanya dan menatap Bara. "Ada apa?"     

"Ngga, gue cuma bingung, kenapa lu ngga pernah cerita soal hate speech tentang lu di medsos setelah kejadian itu," ujar Bara.     

Maya menghela napasnya. Ia kemudian mengalihkan pandangannya ke langit-langit kabin mereka. "Buat apa gue cerita tentang komen-komen ngga jelas begitu."     

"Ya, paling ngga, lu bisa cerita sedikit sama gue. Waktu itu, lu pasti marah karena gue ngga bisa ada di samping lu."     

Maya menggeleng. Ia lalu kembali menatap Bara. "Dukungan lu waktu itu udah cukup membantu gue. Gue paling ngga bisa nunjukkin sisi lemah gue ke orang," ujar Maya.     

"Oh, May. Lu ngga harus selalu terlihat kuat di depan gue. Lu juga bisa nunjukkin sisi lemah lu sama gue. Dan, gue sama sekali ngga masalah kalo lu mau sedikit lebih bergantung sama gue."     

Maya menatap Bara. Ucapan Bara tiba-tiba seperti sebuah tamparan keras untuknya. Ia selalu berusaha terlihat kuat di depan semua orang dan tidak mau orang lain melihatnya terlihat lemah. Ia selalu menyembunyikan air matanya untuk dirinya sendiri karena ia menganggap itu sesuatu yang lemah.     

Kini di sampingnya, ada seorang pria yang menawarkan diri sebagai tempatnya bergantung. Pria yang marah karena Maya terus bersembunyi di balik topeng kuatnya. Meski di dalam ia rapuh dan sangat ingin bergantung pada seseorang.     

"Eh, kok, nangis." Bara keheranan dengan Maya yang tiba-tiba menangis.     

"Gue juga ngga tau kenapa gue nangis," ujar Maya sambil sesenggukan. Tiba-tiba saja air matanya mengalir begitu saja tanpa bisa ia tahan.     

Bara menghela napas sambil tersenyum simpul. Ia lalu merapatkan tubuhnya kepada Maya dan langsung memeluknya. "Lu bisa nangis sepuasnya di pelukan gue."     

"Tapi nanti mata gue bengkak," sahut Maya di sela-sela tangisnya.     

Bara tertawa pelan mendengarnya. "Mau mata lu bengkak, pipi lu bengkak, atau apa pun. Gue tetep sayang sama lu."     

"Ntar diketawain."     

Bara kembali menghela napasnya. Baru sekali ini ia melihat Maya yang bersikap seperti seorang gadis kecil padanya. "Kalo ada yang ngetawain lu, nanti langsung gue lempar ke laut."     

Tangis Maya tiba-tiba berubah menjadi tawa pelan. Mendengar tawa Maya, Bara semakin memeluknya erat.     

"Maya, Maya," gumam Bara sembari menghela napas dalam-dalam.     

"Kenapa?" Maya mendongakkan kepalanya dan menatap Bara.     

Bara menundukkan wajahnya dan balas menatap Maya. "I love you."     

Maya tersenyum lebar mendengar ucapan Bara. "I love you too."     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.