Bara

Sweet Apocalypse 6



Sweet Apocalypse 6

0Breaking news yang diputar di TV dan di media elektronik lainnya langsung menjadi pembicaraan hangat di sosial media. Rata-rata dari mereka terkejut dengan kabar penangkapan Hanggono. Politisi yang selama ini terkenal tidak tersentuh oleh hukum.     
0

Sosial media semakin dikejutkan dengan kabar bahwa Hanggono selama ini menjalankan kampanyenya dengan menggunakan uang haram dari hasil berjualan narkotika. Ia menjadi bandar besar dalam eskpor narkotika khususnya ganja ke luar negeri.     

Rata-rata berkomentar bahwa wajar Hanggono mempunyai bisnis sampingan yang sangat menghasilkan itu. Hal itu karena ia harus menjalankan roda partainya agar terus mendapatkan dukungan.     

Pastinya ia perlu menggelontorkan banyak uang untuk hal tersebut. Dan cara paling mudah adalah dengan mendistribusikan narkotika. Ditambah ia pasti memiliki orang dalam untuk menjamin kelancaran usahanya hingga dirinya tidak pernah terjangkau oleh tangan-tangan Aparat berwajib.     

Axel menonton berita tersebut dari kamar rawatnya. Ia bingung harus bagaimana mengungkapkan perasaannya terhadap penangkapan Hanggono. Papanya yang juga ikut menonton berita sela tersebut hanya diam terpaku setelah menontonnya. Telpon genggamnya terus menerus berdering seusai berita tersebut disiarkan sampai akhirnya ia memutuskan untuk mematikan sementara ponselnya.     

"Gimana sekarang?" tanya Axel pada papanya.     

"I don't know." Papanya mengangkat bahu. "Soal bisnis sampingan itu, Papa benar-benar ngga tahu."     

"Apa Papa juga akan diperiksa?"     

"Mungkin. Pasti keluarga juga akan diperiksa. Mungkin kamu, Kinan dan Istri saya juga akan ikut diperiksa."     

Kinan tiba-tiba masuk ke dalam kamar rawat Axel dengan wajah panik. "Pa, Papa udah liat berita, kan?"     

Papanya mengangguk. "Papa sedang membahasnya sama Axel. Kenapa?"     

"Berita itu bohong, kan, Pa? Eyang ngga mungkin menjalankan bisnis kotor begitu," ujar Kinan sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.     

"Apa yang ngga mungkin buat Eyang," sela Axel.     

Kinan segera menatap tajan ke arah Axel. "Lu ngga tahu apa-apa soal Eyang."     

Axel terkekeh pelan. "Justru karena gue tahu, makanya gue ngomong begitu."     

"Jangan ngomong sembarangan soal Eyang. Atau lu mau leher lu beneran lepas dari kepala lu," serga Kinan.     

"Uuuh, takut," goda Axel yang kemudian disusul dengan tawanya.     

Kinan berjalan menghampiri Axel yang masih terbaring di tempat tidurnya. "Anak kaya lu, tahu apa soal keluarga kita?"     

Axel melirik Kinan. "Lu ngga bakal ngomong gitu klo Nyokap lu mati dibunuh Eyang."     

Kinan semakin geram dengan ucapan Axel. Tangannya sudah hampir menampar Axel kalau tidak di halangi oleh papanya.     

"Kalian ini apa-apaan, sih?" ujar Cipta yang melihat kedua anaknya saling adu argumen. Kinan dengan argumennya yang membela eyangnya, sementara Axel dengan argumen yang terus menjatuhkan eyangnya. "Kalian berdua sudah besar. Lagian ngga baik ribut-ribut di rumah sakit."     

Kinan mendengus kesal dan menarik tangannya. "Terus aja Papa belain dia," ujarnya sembari melirik pada Axel.     

"Papa ngga belain siapa-siapa. Papa cuma ngga mau kalian ribut." Cipta menatap Kinan dan Axel bergantian. Ia kemudian menunjuk Kinan. "Tunjukkan sedikit simpati kamu, Adik kamu baru saja mengalami kecelakaan." Setelah itu ia menunjuk pada Axel. "Biarpun eyangmu bersalah, darahnya juga mengalir di darah kamu. Tunjukkan sedikit rasa hormat kamu."     

Kinan dan Axel sama-sama terdiam setelah mendengar ucapan papanya.     

"Kalian sudah besar, masih saja bersikap seperti anak-anak. Kita ikuti saja perkembangan kasus yang menimpa Eyang kalian. Jangan paling merasa benar sendiri," ujar Cipta. Sebenarnya ia bingung harus bagaimana menghadapi masalah yang menimpa bapaknya itu.     

Meski ia mencoba bersikap tenang, namun di dalam hatinya ia merasa seperti sedang ada badai yang sedang meluluhlantakkan kehidupannya. Ia teringat pada ucapan Asisten bapaknya yang mengatakan bahwa Cipta juga menikmati apa yang dilakukan oleh bapaknya.     

Cipta menghela napasnya. "Papa tinggal dulu. Kalian berdua yang akur selama Papa Keluar." Ia lalu menatap Kinan. "Jaga Adik kamu." Setelah itu ia mengalihkan tatapannya pada Axel. "Jangan pancing amarah Kakak kamu."     

Kinan dan Axel saling lirik. Sementara Papa mereka pergi meninggalkan ruang rawat Axel.     

"Sorry," gumam Axel ketika papanya keluar dari kamarnya.     

Kinan mendengus. "Gue juga sorry." Ia kemudian duduk di sofa yang ada di sudut ruang rawat Axel.     

Keduanya tidak banyak bicara dan hanya saling diam.     

-----     

Bara mampir ke rumah sakit untuk melihat keadaan Raya dan Dirga. Begitu tiba, Reno dan Arga sudah menunggunya.     

"Gimana sama Raya?" tanya Bara pada Reno.     

Reno menghela napas panjang. "Kata Dokter di shock sama kelelahan." Reno memejamkan matanya, ia tidak sanggup membayangkan apa yang terjadi pada Raya sebelum Ibu Kasmira datang menyelamatkannya. "Untung Ibu Kasmira datanh tepat waktu. Kalo, ngga, gue ngga tahu apa yang bakal terjadi sama Raya."     

Bara menghela napasnya seraya menepuk bahu Reno. "Lu udah berusaha, Ren." Bara kemudian beralih pada Arga. "Pak Dirga gimana?"     

"Dia luka-luka. Tapi, kata Dokter ngga terlalu parah," jawab Arga.     

"Baguslah. Paling ngga kalian udah berhasil nyelametin Raya sama Pak Dirga. Raya pasti yang paling terguncang karena dia sempat mengira kerabatnya masih hidup."     

"Eh, iya," seru Reno. Bara dan Arga langsung menoleh pada Reno. "Terus, nasib korban di foto itu gimana?"     

"Kemungkinan besar mereka semua memang sudah meninggal. Tapi, yang tahu dimana mereka dikuburkan cuma Hanggono dan orang-orangnya. Karena dia yang membereskan semua masalah itu," terang Bara.     

"Lu bisa cari tahu, kan?" Suara Raya tiba-tiba mengagetkan ketiganya.     

"Ray," seru Reno. "Lu, kan, disuruh istirahat sama Dokter." Ia memegangi Raya yang masih terlihat gemetar ketika berdiri di dekatnya.     

Bara menatap Raya yang wajahnya terlihat sangat pucat. Ia kemudian tersenyum pada Raya sembari menganggukkan kepalanya. "Gue bisa cari tahu dimana Dijah yang asli dimakamkan."     

Raya tersenyum lemah Bara. "Thanks, Bar."     

"Sekarang lu istirahat dulu. Ngga perlu mikirin soal itu. Serahin aja sama gue," ujar Bara pada Raya.     

Raya menganggukkan kepalanya. Reno dengan sigap segera membantu Raya untuk kembali ke ranjangnya.     

Arga menunggu sampai Reno menutup pintu kamar Raya sebelum ia kembali bertanya pada Bara. Begitu pintu kamar rawat Raya tertutup, ia segera mengajukan pertanyaannya untuk Bara. "Lu yakin, mereka mau bicara soal dimana orang-orang itu di makamkan?"     

"Kalo mereka ngga mau bicara, tinggal kita paksa supaya bicara," sahut Bara santai. "Lagipula sekarang ngga ada bisa ngelindungin mereka lagi. Mereka pasti bakal bicara."     

"Asistennya Hanggono, dia benar-benar setia sama Hanggono," ujar Arga.     

Bara menoleh pada Arga dan tersenyum. "Katanya, lu nembak kaki Asisten Hanggono sampai dua kali. Bener?"     

Arga mengangguk sambil garuk-garuk kepala. "Ya, mau gimana lagi. Dia terus-terusan nyerang Pak Dirga."     

Bara seketika merangkul Arga. Ia mengacungkan jempolnya untuk Arga. "Mau ngopi dulu, ngga?"     

Arga menatap Bara tidak percaya. "Reno gimana?"     

Bara mengintip ke dalam kamar rawat Raya. "Biarin dia berdua Raya. Nanti kita bawain aja."     

Arga bergumam kemudian menyetujui ajakan Bara. "Oke, deh."     

"Sipp." Bara langsung berjalan sembari merangkul Arga meninggalkan ruang rawat Raya.     

*****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.