Bara

The White Orchid 5



The White Orchid 5

0"Pergi kamu. Saya juga tidak ingin menemui kamu," sergah Pak Angga.     
0

Hanggono meletakkan jari telunjuk di depan mulutnya. "Jangan kencang-kencang. Tidaka ada yang tahu kalau saya ada disini."     

Pak Angga memelankan sedikit suaranya. "Apa lagi yang kamu inginkan?"     

"Banyak yang saya inginkan. Tapi, melihat keadaan kamu, sepertinya saya tidak akan bisa mendapatkan apa yang saya mau," jawab Hanggono. Ia kemudian menatap tajam ke arah Pak Angga. "Gara-gara kamu tidak mau menyerahkan dokumen itu, saya harus bekerja ekstra untuk mendapatkannya."     

Pak Angga mendengus sembari tertawa pelan. "Sepertinya kehancuran kamu akan datang sebentar lagi. Setidaknya saya tidak hancur seorang diri."     

Hanggono tertawa mendengarkan ucapan Pak Angga. "Lihat siapa yang bicara. Kamu lupa, saya bisa melakukan apapun untuk mencapai tujuan saya."     

"Tidak dengan tujuan kamu kali ini."     

Hanggono menaikkan satu alisnya. "Memangnya kamu pikir, saya takut untuk menghabisi Kakak kesayangan kamu itu."     

"Sebelum kamu menghabisinya, dia akan lebih dahulu menghabisi kamu."     

"Bagaimana kalau saya menghabisi kamu dahulu. Toh, kamu sudah tidak berguna lagi bagi saya," ujar Hanggono.     

Pak Angga tiba-tiba menarik baju Hanggono. "Gara-gara kamu, saya harus berakhir di tempat ini."     

Hanggono tertawa pelan. "Gara-gara saya? Kamu sendiri yang menjebloskan diri kamu dalam kubangan lumpur, dan sekarang kamu menyalahkan saya?" Ia kemudian melepaskan tangan Pak Angga yang sedang meremas kerah pakaiannya dengan kasar. "Kamu mau saya ingatkan dengan ucapan kamu ketika kita pertama kali bertemu?"     

Pak Angga terdiam dan napasnya naik turun menahan amarah. Tentu saja dia ingat apa yang dikatakannya pada Hanggono ketika mereka pertama kali bertemu.     

"Saya akan berikan apapun, selama kamu bisa menyingkirkan Kakak saya dari kursi Pemimpin MG Group." Hanggono menirukan ucapan Pak Angga ketika mereka bertemu.     

Pak Angga menatap Hanggono penuh amarah. "Saya sudah berikan semuanya, dan kamu tidak sanggup menyingkirkan Mas Haryo dari kursi kepemimpinan MG Group."     

"Itu artinya memang dia yang pantas memimpin MG Group. Bukan pecundang seperti kamu," sahut Hanggono.     

"Bedebah kamu." Pak Angga tiba-tiba melayangkan tinjunya pada Hanggono.     

Tentu saja dengan mudah ditangkap oleh Hanggono. "Tidak semudah itu kamu melukai saya Angga. Level kita berdua berbeda."     

"Apa yang berbeda antara kamu dengan saya? Kita berdua sama-sama orang yang menghalalkan segela cara untuk mencapai tujuan."     

Hanggono menggeleng. "Kita berbeda. Kamu didorong oleh dendam. Sementara saya didorong oleh keinginan saya untuk merubah takdir keluarga saya. Kalian berdua, meskipun terpuruk, kalian masih berasal dari keluarga berkecukupan. Berbeda dengan saya yang lahir di keluarga yang serba kekurangan."     

Kali ini Pak Angga yang menggelengkan kepalanya. "Kamu tidak tahu apapun tentang keluarga saya."     

"Siapa bilang?" sahut Hanggono.     

"Bukan hal yang sulit mencari tahu tentang keluarga kalian. Bagaimana Bapak kalian berdua mati bunuh diri dan akhirnya keluarga kalian berada di jurang kehancuran. Saya tahu cerita keluarga kalian," lanjut Hanggono.     

Sekali lagi Pak Angga mencoba untuk meninju wajah Hanggono. Namun kembali berhasil digagalkan oleh Hanggono.     

"Dengan emosi kamu yang seperti ini, pantas saja Haryo bisa dengan mudah menyingkirkan kamu," ujar Hanggono. "Kamu terlalu mudah ditebak."     

"Sebenarnya apa tujuan kamu datang kemari?" tanya Pak Angga dengan napas yang naik turun menahan amarah.     

Hanggono mengangkat bahunya. "Saya cuma mau memberikan salam perpisahan pada kamu sebelum kamu membusuk disini. Kamu memang benar-benar tidak berguna. Selain apa yang diberikan Haryo ke kamu, kamu sebenarnya tidak memiliki apa-apa. Bahkan sekarang anakmu pasti sudah semakin membenci kamu. Apalagi yang bisa saya harapkan dari kamu."     

Pak Angga menaikkan sedikit nada bicaranya. "Cepat pergi kamu dari sini."     

"Memang saya akan pergi darisini," ujar Hanggono sambil berdiri dari kursi yang sedang ia duduki. Ia lalu kembali menatap Pak Angga. "Waktu saya sudah habis. Sampai jumpa lagi." Hanggono berhenti sejenak. "Di neraka," lanjutnya.     

Mata Pak Angga berapi-api penuh amarah menatap Hanggono yang berjalan santai menuju pintu ruangannya. Ia serta merta bangkit dari tempat tidurnya dan berlari mengejar Hanggono. Namun, begitu ia sampai di pintu, pintu itu langsung menutup.     

Ia menggedor-gedor pintu ruangannya. "Buka, saya harus membunuhnya." Pak Angga berteriak ingin membunuh Hanggono. Namun, apa yang dilakukannya sia-sia. Tidak ada satupun yang membukakan pintu itu untuknya. Dari jendela kecil yang terpasang di daun pintu, ia melihat Hanggono berjalan pergi sembari menoleh dan tersenyum simpul padanya.     

Melihat hal itu, Pak Angga semakin seperti orang kesetanan memukul-mukul pintu ruangannya dan meminta untuk dikeluarkan. Sampai ia kelelahan tidak ada yang membukakan pintu tersebut dan akhirnya ia merosot bersandar pada daun pintu.     

"Keluarkan saya. Kalau saya tidak membunuhnya, dia yang akan membunuh Mas Haryo," ujar Pak Angga lemah.     

----     

Hanggono kembali menghampiri asistennya yang menunggu di pinggir danau. Asistennya langsung mematikan rokok yang sedang ia hisap begitu melihat Hanggono berjalan menghampirinya.     

"Sudah selesai, Pak?" tanyanya.     

"Sudah." Hanggono kemudian menghela napas panjang. "Sekarang kita ke tempat Kasmira. Kamu sudah tahu alamatnya, kan?"     

"Sudah, Pak."     

"Ehem." Orang yang mengantar Hanggono tiba-tiba berdeham.     

Hanggono dan asistennya kompak menoleh.     

"Cepat berikan imbalannya," perintah Hanggono pada asistennya.     

Asistenya kemudian berjalan ke arah mobil dan mengambil sebuah amplop berisi uang yang ia simpan di dalam dashboard mobilnya.     

"Ini, bayaran lu." Asisten Hanggono akhirnya memberikan uang tersebut pada orang yang membantu Hanggono untuk menemui Pak Angga.     

Orang itu langsung membuka amplop tersebut di depan mereka. Matanya berbinar begitu melihat beberapa gepok uang seratus ribuan yang ada di dalamnya. Setelah puas melihat uang yang diterimanya, ia kembali menoleh pada Hanggono dan asistennya.     

"Kalau mau menemui Pak Angga lagi, langsung kabarin saya aja," ujar orang tersebut sambil tersenyum lebar.     

Hanggono balas tersenyum pada orang tersebut. Ia kemudian menepuk bahu orang itu. "Tidak akan ada kedua kalinya. Ini yang pertama dan terakhir." Hanggono pun pergi meninggalkan orang tersebut dan berjalan menuju mobil asistennya.     

Asisten Hanggono mengikuti di belakangnya.     

"Makasih, loh. Kapan-kapan mampir lagi," seru orang tersebut pada Asisten Hanggono.     

Asisten Hanggono sama sekali tidak menoleh meski ia mendengar apa yang diucapkan pria tersebut.     

"Angga benar-benar sudah tidak berguna sekarang. Saat ini saya cuma bisa mengandalkan mereka yang rahasianya masih saya pegang. Kalau mereka sampai terlepas juga, mungkin saya akan tamat," ujar Hanggono pada asistennya ketika asistennya itu masuk ke dalam mobil dan mulai menyalakan mesin mobilnya.     

"Rahasia itu, pasti masih ada di suatu tempat," sahut Asisten Hanggono.     

"Ya, semoga saja," timpal Hanggono. "Cepat, kita temui Kasmira."     

"Baik, Pak." Asistennya segera menginjak pedal gas dan mobil yang mereka tumpangi bergerak pergi meninggalkan panti tempat Pak Angga dirawat.     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.