Bara

Suspicious Witness 3



Suspicious Witness 3

0Menjelang sore hari, Axel, Raya dan Reno berpamitan pada Dijah yang masih berada di kamarnya. Ketiganya harus pulang karena esok mereka harus kembali bekerja.     
0

"Dijah, aku pulang dulu," ujar Raya lembut.     

"Kamu mau pulang sekarang?" tanya Dijah.     

Raya menganggukkan kepalanya. "Besok aku haru kerja lagi. Tapi aku janji, weekend nanti, aku bakal kesini lagi."     

"Saya akan sendiri lagi?" Dijah mulai menatap Raya dengan tatapan ketakutan.     

Raya menggeleng cepat. "Diluar ada orang yang menjaga Dijah. Ada juga Pengurus rumah tangga yang akan bantu semua kebutuhan Dijah. Dijah tinggal bilang saja apa yang Dijah butuhkan, semuanya akan disediakan oleh mereka berdua."     

Tiba-tiba saja Dijah menggenggam erat tangan Raya. "Jangan pergi. Saya takut ditinggal sendiri lagi."     

Raya melepaskan tangan Dijah dan berbalik menggenggamnya. "Aku bakal balik lagi kesini. Kalau Dijah kesepian, Dijah bisa langsung telpon aku." Ia melepaskan satu tangannya yang sedang menggenggam tangan Dijah dan meraih ponsel yang ada di meja nakas.     

Raya lalu meletakkan ponsel tersebut di tangan Dijah. "Tekan angka satu untuk menghubungi saya. Angka dua untuk menghubungi Axel. Dan, Angka tiga untuk menghubungi Reno. Semua kebutuhan rumah ini disediakan oleh Reno." Ia menerangkan pada Dijah sambil membuka ponsel yang akan diberikan pada Dijah.     

Setelah Raya selesai menerangkan, Dijah meraih ponsel tersebut. Ia kemudian membuka telpon tersebut persis seperti apa yang dilakukan Raya sambil mengulangi kata-katanya. Ia menekan angka satu, lalu ponsel Raya bergetar.     

Raya menunjukkan ponselnya yang bergetar karena panggilan telpon dari Dijah. Dijah seketika tersenyum senang. Ia mengulangi kembali apa yang dilakukannya. Namun, kali ini ia menyentuh angka dua pada ponsel tersebut.     

Axel berjalan mendekati Dijah sambil tersenyum dan menunjukkan panggilan telpon yang dilakukan Dijah. Ia lalu berjongkok di sebelah tempat tidur Dijah. "Ibu ngga usah khawatir, akhir pekan nanti, kita akan kesini lagi."     

"Kalian janji?" tanya Dijah sambil menatap Raya dan Axel bergantian.     

Keduanya segera mengangguk sembari tersenyum pada Dijah.     

"Kalau begitu, saya sudah tidak takut lagi," ujar Dijah dengan senyum terkembang. Ia kemudian menatap Reno yang sedari tadi berdiri di dekat pintu kamar. "Terima kasih untuk semuanya."     

Reno tersenyum kikuk mendengar ucapan Dijah dan hanya mengangguk pelan.     

"Kalau begitu, kita pulang dulu, ya." Raya berpamitan sembari mengelus-elus rambut Dijah. Ia sangat lega karena Adik dari neneknya masih hidup. Neneknya pasti akan senang sekali mendengar kabar ini. Ia kemudian memeluk Dijah.     

Dijah balas memeluk Raya sambil mengusap-usap punggung Raya. "Terima kasih, akhirnya ada yang memanggil saya dengan nama itu lagi."     

Raya mengangguk. Beberapa saat mereka berpelukan sampai akhirnya Dijah yang terlebih dahulu melepaskan pelukannya. "Hati-hati dijalan. Besok kamu harus bekerja, jangan pulang terlalu malam."     

Raya mengangguk. Ia kemudian berdiri. "Hubungi aku kapan aja. Aku pasti langsung angkat telpon dari Dijah."     

Dijah mengangguk pelan.     

Axel ikut berdiri dan berpamitan pada Dijah. "Kita pulang dulu."     

"Iya, kalian semua hati-hati di jalan," ujar Dijah dengan suaranya yang sedikit parau.     

Axel yang hanya berdiri di belakang mereka hanya mengangguk pelan pada Dijah, lalu pergi duluan meninggalkan kamar tersebut. Disusul dengan Raya dan Axel. Raya masih bisa melihat Dijah yang tersenyum ke arah mereka sebelum ia menutup pintu kamarnya.     

-----     

"Kita pamit dulu, Pak," seru Reno pada Dirga yang sedang merokok di depan rumah.     

Dirga hanya mengangguk sambil menghisap kembali rokoknya.     

"Tolong jaga Ibu Dijah, ya, Pak," ujar Raya yang tiba-tiba sudah berada di sebelah Dirga.     

Dirga menoleh. "Iya, Mbak. Tenang saja. Saya akan menjaga rumah ini dengan baik."     

Raya sedikit menghela napasnya. "Sebentar saya ngga tega ninggalin dia sendiri disini. Tapi, mau gimana lagi. Besok saya kerja."     

"Mbak ngga usah khawatir, saya pasti akan menjaga Ibu Dijah dengan baik," timpal Dirga.     

Raya hanya manggut-manggut mendengarkan ucapan Dirga. Ia kemudian tersenyum simpul. "Terima kasih, Pak."     

"Saya titip Ibu Dijah, ya, Pak," ujar Axel.     

"Iya, pokoknya kalian bertiga tenang saja. Saya akan menjaga Ibu Dijah dengan sepenuh hati saya," sahut Dirga.     

"Yuk, Pak." Reno mulai berjalan pergi meninggalkan teras depan rumah tersebut sambil melambaikan tangan pada Dirga yang masih dikerubuti Raya dan Axel.     

Raya dan Axel kompak menoleh pada Reno yang sudah berjalan pergi menuju mobil Axel yang terparkir di pelataran rumah tersebut. Keduanya pun segera menyusul Reno.     

Reno sudah berdiri di pintu pengemudi. Begitu Axel tiba di dekat mobilnya, ia langsung melemparkan kunci mobilnya pada Reno. Reno pun masuk dan duduk di balik kemudi. Axel duduk di sebelahnya dan Raya kembali duduk di kursi penumpang yang ada di belakang.     

Setelah ketiganya sudah siap di dalam mobil, Reno mulai menyalakan mesin mobil dan mobil yang mereka naiki perlahan bergerak meninggalkan pelataran rumah yang Reno gunakan untuk menyembunyikan Dijah.     

Dirga berdiri di depan rumah untuk memastikan mereka pergi meninggalkan rumah tersebut. Ia masih sempat melambaikan tangannya ketika mobil itu meninggalkan pelataran rumah. Setelah itu, ia bergegas masuk ke dalam rumah.     

----     

"Lu udah kasih tau Nenek lu soal adiknya, Ray?" tanya Reno untuk memulai percakapan mereka di dalam mobil.     

Raya menggeleng. "Tadi gue mau ngajak dia video call sama Nenek, tapi dianya nolak. Katanya belum siap buat ketemu nenek."     

"Oooh," gumam Reno. Kecurigaan Reno semakin bertambah setelah mendengar pengakuan Raya.     

"Kira-kira Nenek lu masih bisa ngenalin adiknya, ngga?" Reno kembali bertanya.     

Raya menatap Reno melalui kaca spion. Ia mengangkat bahunya. "Gue juga kurang tahun. Mereka berdua udah ngga ketemu puluhan tahun."     

"Kalo menurut lu gimana, Xel?" Reno melemparkan pertanyaannya pada Axel.     

"Harusnya, sih, mereka masih bisa saling mengenali. Buktinya aja dia tadi bisa ngenalin muka gue yang dia bilang mirip sama Nyokap gue," jawab Axel.     

Reno hanya manggut-manggut mendengarkan jawaban Axel. "Gue punya satu pertanyaan lagi buat kalian. Tapi, gue harap kalian jawab pertanyaan tanpa memandang dia itu sodara atau teman Nyokap kalian."     

Axel langsung menatap Reno penasaran. "Lu mau nanya apa?"     

"Gimana kalo Dijah yang kalian temuin tadi itu bukan Dijah yang sebenarnya?"     

Pertanyaan Reno sontak membuat Raya dan Axel menatapnya tidak percaya.     

"Lu ngga percaya kalau dia itu Dijah adiknya Nenek gue?" Raya bertanya dengan sedikit menaikkan nada bicaranya.     

"Gue tadi udah bilang, jangan berpikir dia itu sodara lu. Kemungkinan itu selalu ada, apalagi Dijah itu sudah lama menghilang dan kita ngga tahu apa yang sebenarnya terjadi, kan," ujar Reno.     

"Apa yang dibilang Reno ada benarnya juga, sih," sela Axel. "Kita ngga seharusnya percaya gitu aja sama dia. Kita harus buktiin dulu sebelum kita percaya sepenuhnya sama dia."     

"Nah, itu yang gue maksud," seru Reno. Akhirnya diantara mereka berdua ada yang mengerti maksud Reno. Ia pun tidak berharap banyak bahwa Raya akan mengerti maksudnya. Karena Raya pasti sudah terlanjur senang bahwa ia telah menemukan keluarganya yang hilang.     

"Terus lu mau apa buat buktiin dia itu beneran Dijah atau bukan?" tanya Axel pada Reno.     

Raya masih terdiam di kursi belakang. Hati dan pikirannya sedang tidak sejalan. Hatinya terus menolak pikirannya yang setuju dengan apa yang diutarakan Reno dan Axel.     

"Cara paling mudah, kita konfrontasi dia sama nenenknya Raya. Mereka, kan, Kakak Adik, pasti dong mereka punya kenangan yang cuma diketahui sama mereka berdua," terang Reno.     

Raya langsung mendelik pada Reno. "Lu mau libatin Nenek gue?"     

"Cuma buat mastiin, dia beneran Dijah atau bukan," sahut Reno.     

"Bisa dicoba, tuh," timpal Axel.     

Reno mengangguk, sementara Raya kembali terdiam. "Gue pikir-pikir dulu, deh."     

Reno menghela napasnya dan menatap Raya. "Gue juga ngga berharap lu langsung setuju. Tapi, coba lu pikirin lagi masak-masak tentang ide gue. Setelah itu lu baru kabarin gue lagi."     

Raya balas menatap Reno lalu mengangguk pelan. Ia kemudian mengalihkan perhatiannya pada jalanan yang ada diluar sana.     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.