Bara

Suspicious Witness 4



Suspicious Witness 4

0Reno akhirnya tiba di apartemen setelah seharian pergi bersama Raya dan Axel. Perjalanan hari ini benar-benar di luar dugaan Reno. Rumah yang tadinya mereka pikir angker ternyata masih berpenghuni.     
0

Mereka juga akhirnya bertemu dengan Dijah, kerabat keluarga Raya yang sudah lama menghilang. Itupun masih menjadi sebuah tanya tersendiri bagi Reno. Ditambah kabar yang disampaikan Bara dan Dirga bahwa tidak mungkin Dijah masih hidup.     

Untungnya Bara bisa bergerak cepat dan menyediakan rumah aman sebagai tempat persembunyian Dijah. Setidaknya sampai penyelidikan mereka selesai, Dijah akan berada dalam pengawasan mereka.     

Reno menjatuhkan tubuhnya di sofa yang berada di ruang keluarga apartemen yang ia tempati bersama Arya dan Ben. "Bara udah hubungin kalian berdua belum?"     

Arya dan Ben yang masih terjaga segera menghampiri Reno.     

"Dia tadi udah hubungin kita," sahut Arga. "Kalo dia ngga hubungin kita, mana mungkin di rumah itu udah kepasang CCTV sama sensor suara."     

"Kalian juga masang sensor suara di kamarnya, kan?" Reno kembali bertanya.     

"Gue sendiri yang pasang." Arga kembali menjawab pertanyaan Reno.     

Reno berdecak pelan. "Cepet juga, lu."     

"Ya, cepet, lah. Gue tadi bawa motor. Abis lu nelpon Bara, dia langsung nyuruh gue sama Ben buat siap-siap," timpal Arga.     

"Raya gimana? Udah lu kasih tahu belum?" tanya Ben tiba-tiba.     

Reno menghela napas panjang. "Agak susah kayanya buat ngasih pengertian ke Raya. You know, lah."     

"Keluarga yang udah lama ngga ada kabar tiba-tiba muncul di depan matanya, pastinya dia senang banget ngira sodaranya masih hidup," sahut Arga.     

Reno mengangguk. "Nah, itu. Axel udah setuju buat konfirmasi ke neneknya Raya tentang adiknya. Tapi kalo Raya, dia keliatan masih ragu. Gue kasih dia waktu buat mikirin saran gue."     

Ben manggut-manggut. "Wajar, lah, kalo sikapnya begitu. Biarin aja dia mikirin itu dulu. Tapi, kalo bisa jangan terlalu lama. Soalnya kita ngga tahu apa yang direncanain sama wanita yang ngaku sebagai kerabatnya Raya."     

"Gimana kalo sebenarnya wanita itu emang Adik neneknya Raya?" tanya Arga.     

"Ya bagus kalo gitu," sahut Reno. "Kalo ternyata dia beneran sodaranya Raya, kita malah punya saksi buat bikin laporan tentang kelakuan orang-orang bejat itu."     

"Ada yang aneh ngga selama lu disana sama dia?" Ben kembali bertanya Reno.     

"Tau ga? Selama gue disana, gue kaya nonton acara reality show." Ia kemudian geleng-geleng kepala. "Ngalah-ngalahin Keeping up with the Kardashians."     

"Anjir ini orang," sahut Ben.     

"Mulut lu emang ngga ada saringannya, Ren." Arga ikut menimpali.     

"Lu yang dengerin percakapan mereka bertiga, gimana menurut lu?" tanya Reno pada Ben.     

Ben dan Arga cengar-cengir sambil menggaruk tengkuknya. "Ya, begitu," jawab Arga.     

"Nah, kan, lu bayangin aja gue yang nonton langsung," sergah Reno.     

"Tapi, kalo dari yang gue denger, kayanya omongan Ibu itu kaya udah dipersiapkan. Ngga tau kenapa, tapi gue ngerasanya kaya gitu," timpal Ben.     

"Baguslah kalo kalian juga ngerasa begitu. Paling ngga gue ngga ngerasa aneh sendiri." Reno kemudian terkekeh pelan. "Kita kebanyakan nonton drama, jadi bisa bedain mana drama beneran mana ngga."     

"Oh, iya," seru Ben tiba-tiba.     

"Kenapa lu?" tanya Reno.     

"Gue belum nonton drakor hari ini," jawab Ben.     

Arga dan Reno melirik kesal ke arah Ben. Mereka kemudian melemparkan bantal sofa ke arah Ben.     

"Gue pikir apaan, anjrit," sergah Reno.     

Ben terkekeh, ia kemudian menyalakan televisi yang ada di ruangan tersebut dan membuka aplikasi pemutar film. "Nonton dulu."     

"Gue mau mandi aja, deh." Reno kemudian berdiri dan berjalan pergi meninggalkan Ben dan Arga yang kini sedang sibuk memilih-milih drama korea yang akan mereka tonton.     

----     

Axel tiba dirumahnya ketika hari sudah lewat tengah malam. Ia langsung memarkirkan mobilnya di garasi dan segera berjalan masuk ke dalam rumah. Begitu ia masuk ke dalam, ternyata papanya masih berada di ruang tamu bersama dengan eyangnya.     

Axel menghentikan langkahnya karena papanya memanggilnya. Ia pun segera menghampiri mereka.     

"Sudah lama, ya, kita tidak bertemu," ujar Hanggono ketika Axel bergabung bersama mereka.     

Axel memasang senyum terpaksanya. "Iya."     

"Bagaimana persiapan kamu? Sebentar lagi kalian akan operasi bersama, kan?" tanya Hanggono sambil menatap Axel dan anak lelakinya bergantian.     

"Ngga ada persiapan apa-apa," jawab Axel singkat.     

"Kamu pasti lelah, langsung istirahat dulu aja. Besok kamu masih harus kerja," sela papanya.     

"Iya, Pa," sahut Axel. Ia kemudian kembali berdiri. "Saya naik dulu, Eyang."     

Hanggono hanya menanggaapi Axel dengan tersenyum simpul. Axel pun segera beranjak pergi dari ruang tamu dan pergi ke kamarnya.     

"Sepertinya kamu semakin melunak sama anak itu," ujar Hanggono pada anak lelakinya.     

Anak lelakinya hanya terdiam. "Biar bagaimanapun dia juga anak saya. Apalagi dia rela mendonorkan ginjalnya untuk saya."     

"Itu juga alasan dia mau tinggal disini? tanya Hanggono.     

"Saya yang memintanya tinggal. Paling ngga sampai kita berdua operasi dia ada di bawah pengawasan saya," jawab anak lelaki Hanggono.     

Hanggono hanya manggut-manggut mendengar ucapan anak lelakinya. "Sudah malam. Sebaiknya saya pulang dulu." Ia pun bangkit berdiri.     

Anak lelakinya turut berdiri dan mengantar Hanggono sampai ke depan rumahnya. Begitu mobil yang dinaiki Hanggono pergi, ia segera masuk kembali ke dalam rumah.     

Setibanya di dalam, ternyata Axel sudah kembali ke ruang tamu. "Ada apa Eyang kesini?" tanya Axel pada papanya.     

Papanya duduk di sebelah Axel. "Ngga ada apa-apa, Papa cuma ngobrol-ngobrol sama eyangmu."     

Axel menatap papanya penuh curiga. "Apa Eyang tahu kalo aku punya bukti yang bisa menjatuhkan dia?"     

"Hemm, tadi dia semoat bahas hal itu. Katanya orang yang biasa membantunya tidak mau dimintai bantuan lagi. Padahal situasinya sekarang sudah mendesak," terang papanya. "Kamu sendiri, habis darimana? Jam segini baru pulang. Dokter, kan, sudah bilang kamu ngga boleh kecapekan menjelang operasi."     

"Papa pasti kaget, kalau tahu apa yang sudah aku temuin hari ini," ujar Axel.     

Papanya menatap Axel penasaran. "Memangnya kamu menemukan apa?"     

Axel melirik ke kanan dan ke kirinya untuk memastikan tidak ada yang menguping pembicaraan mereka. "Aku ketemu salah satu teman Mama yang jadi korban kejadian itu."     

Papanya semakin penasaran dengan ucapan Axel. "Maksud kamu?"     

Axel menganggukkan kepalanya. "Masih ada saksi hidup dari kejadian itu."     

"Siapa?" tanya papanya.     

"Namanya Dijah. Apa Papa kenal?"     

Mata papanya seketika membulat setelah mendengar nama yang disebut oleh Axel. "Dijah?"     

Axel kembali mengangguk. "Papa kenal?"     

"Ngga mungkin," batin papanya. Papanya pun terdiam beberapa saat sampai Axel terpaksa menyenggol lengannya. "Oh, eh, Papa ngga kenal."     

Axel menyadari ada sesuatu yang tidak biasa dari sikap papanya.     

"Ya sudah, Papa mau masuk ke kamar dulu. Kamu juga masuk sana, istirahat," sela papanya yang kemudian langsung pergi meninggalkan Axel seorang diri di ruang tamu.     

Axel hanya bisa memandangi punggung papanya yang berjalan menjauh. Ia kenal betul gelagat itu. Axel yakin, pasti ada sesuatu yang disembunyikan oleh papanya.     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.