Bara

Suspicious Witness 15



Suspicious Witness 15

0Bara yang baru turun dari mobilnya membelalak tidak percaya begitu Ben mengabarinya bahwa Axel mengalami kecelakaan. Ia bahkan belum semoat menjalankan rencananya untuk melindungi Axel.     
0

"Kapan lu dapat kabar Axel kecelakaan?" tanya Bara pada Ben.     

"Barusan. Bokapnya sendiri yang nelpon Bu Kasmira," jawab Ben.     

Bara langsung teringat dengan lokasi kecelakaan yang baru saja dilewatinya ketika dalam perjalanan pulang. "Lu tahu mobil yang dipake Axel?"     

Ben terdiam sejenak. "Kayanya Reno pernah bilang, mobilnya dia itu Lexus."     

Bara berdecak tidak percaya. "Shit. Berarti yang tadi gue lewatin itu kecelakaannya Axel."     

"Lu lihat kecelakaannya?" tanya Ben.     

"Tadi, pas di jalan, gue lihat ada kecelakaan. Tapi, gue ngga tahu kalo itu Axel. Kondisinya udah rame banget pas gue lewat."     

"Kecelakaannya parah?"     

"Bagian depan mobilnya ringsek. Kaca depannya juga pecah." Bara menghela napas tidak percaya.     

Ben menghela napasnya. "Semoga kondisi Axel ngga terlalu parah."     

"Lu bisa cek dia dibawa kemana?"     

"Gue coba cari tahu," sahut Ben.     

"Oke. Kalo udah dapet langsung kabarin gue."     

Bara dan Ben kemudian mematikan sambungan telponnya. Bara segera masuk ke dalam rumahnya sementara Ben langsung berkutat dengan komputernya untuk mencari lokasi rumah sakit tempat Axel dibawa.     

----     

Setelah Kinan mengurus segala keperluan rumah sakit, Axel segera dipindahkan ke ruang VIP. Beberapa saat setelah Axel dipindahkan papanya tiba di rumah sakit dan segera menemui Kinan yang ada di lobi rumah sakit.     

"Bagaimana keadaannya?" tanya Cipta kepada anak perempuannya itu.     

Kinan menghela napasnya. "Aku udah ngomong sama Dokter yang tadi nanganin dia. Katanya, sih, ngga ada yang serius, Axel cuma shock karena benturan di kepala."     

"Yakin, kamu?"     

"Aku udah liat sendiri tadi. Kelihatannya emang parah karena dia pakai penyangga leher segela. Tapi, setelah dikasih tahu Dokter ternyata ngga separah itu."     

"Sekarang Axel dimana?"     

"Dia udah dipindah ke ruang rawat VIP. Papa tenang aja. Sekarang dia lagi tidur. Yang harus Papa khawatirin supirnya Axel."     

Cipta langsung menatap Kinan. "Kenapa sama supirnya?"     

"Supirnya Axel meninggal dunia. Dugaan sementara Polisi, supirnya meninggal karena serangan jantung. Polisi masih nunggu Axel buat kasih keterangan."     

Cipta berdecak pelan setelah mendengarkan penjelasan Kinan. Ia kemudian kembali mengalihkan perhatiannya lagi pada Kinan. "Kamu bisa urus itu, kan?"     

"Maksud Papa?"     

"Ya, hubungi keluarga Pak Budi. Biar bagaimana pun dia sudah bekerja cukup lama sama keluarga kita. Siapkan santunan yang layak untun keluarganya," terang Cipta.     

Kinan menghela napas panjang. "Okay. I can handle that."     

Cipta menepuk bahu Kinan. "Makasih sudah bantuin Papa."     

"No problem." Kinan kemudian segera pergi meninggalkan papanya untuk kembali menuju meja administrasi rumah sakit untuk mengurus semua biaya yang terkait dengan jenazah Supir pribadi Axel.     

Baru beberapa langkah Kinan kembali menoleh pada papanya. Ia kemudian berteriak pada papanya. "Kamarnya Axel ada di lantai lima. Ruangannya tanya aja sama Suster jaga."     

Papanya mengangguk dari kejauhan. Sementara Kinan sudah berbalik badan dan melanjutkan langkahnya menuju meja administrasi. Cipta tersenyum pelan melihat punggung Kinan dari kejauhan. Meski dia kerap kali terlihat acuh tak acuh pada Axel, tapi, di beberapa kesempatan Cipta bisa melihat bahwa sebenarnya ia diam-diam memperhatikan Axel.     

Cipta pun akhirnya segera pergi meninggalkan area lobi rumah sakit dan segera menuju lantai lima untuk menengok keadaan Axel.     

----     

Cipta tidak banyak berkata-kata ketika melihat Axel yang sedang tertidur. Perban menutupi kepala Axel dan lehernya yang disangga oleh penyangga leher. Dari dekat, nampak beberapa luka kecil menghiasi wajah Axel. Cipta menduga itu mungkin luka akibat serpihan kaca yang mengenai wajahnya.     

Ia duduk di sebelah tempat tidur Axel sambil memandangi wajah Axel yang masih tertidur.     

"Pa," sapa Axel tiba-tiba. Ia melirik papanya yang duduk di sebelahnya melalui ujung matanya.     

Papanya segera mencondongkan tubuhnya ke arah Axel. "Ada apa?"     

"Pak Budi bagaimana?"     

Cipta terdiam sejenak lalu menghela napas panjang. "Pak Budi meninggal karena serangan jantung."     

Axel mendesah pelan. "Satu lagi nyawa orang ngga bersalah melayang."     

"Sudahlah. Kamu jangan terlalu banyak pikiran dulu. Pikirkan keadaan kamu sendiri dulu."     

Axel terdiam dan tidak menanggapi ucapan papanya. Ingatannya melayang ke saat dimana Pak Budi, Supir pribadinya, menatap Axel dengan wajah yang pucat pasi lalu terkulai di kursi pengemudinya.     

"Ya, jangan sampai keluarganya tahu kalau Pak Budi sebenarnya adalah korban. Itu akan membuat keluarganya semakin sedih. Lebih baik mereka mengira Pak Budi benar-benar meninggal karena serangan jantung," ujar Axel.     

Papanya menyetujui ucapan Axel dengan menganggukkan kepalanya. "Iya, lebih baik seperti itu."     

----     

Ben masih mencari rumah sakit yang berada di sekitar lokasi kecelakaan Axel ketika Ibu Kasmira tiba-tiba keluar dari apartemen.     

"Ibu mau kemana?" seru Ben.     

Ibu Kasmira yang sudah mencapai pintu apartemen berbalik dan berjalan ke arah Ben. Ia merebut papan ketik milik Ben dan mengetikkan sesuatu di komputer Ben. "Dia dibawa kesitu," terang Ibu Kasmira sambil menunjuk sebuah lokasi rumah sakit tempat Axel dibawa.     

"Wah, cepat juga informasinya," sahut Ben.     

"Kamu yang melambat," timpal Ibu Kasmira.     

"Ibu mau kesana?"     

Ibu Kasmira mengangguk. Ia menghela napas panjang. "Saya agak menyesal sudah memberikan itu pada Axel."     

"Udahlah, ngga usah disesalin. Sekarang bukti itu sudah digunakan untuk menekan Hanggono. Dia pasti sudah merasa di ujung tanduk sekarang, makanya dia bertindak seperti itu."     

"Ya, tetap saja. Saya yang sudah memberikan itu pada Axel sampai dia berakhir seperti sekarang. Kalau saya tidak memberikannya, dia tidak akan mengalami hal seperti ini." Ibu Kasmira tiba-tiba saja mengacak-acak rambut Ben. "Untung ada kamu, bukti-bukti itu jadi berguna lagi."     

"Apa, sih." Ben menghalau tangan Ibu Kasmira yang masih mengacak-acak rambutnya.     

"Saya punya rencana," ujar Ibu Kasmira pada Ben.     

Ben mengerutkan dahinya. "Rencana apa?"     

"Saya tidak bisa katakan sekarang. Yang, pasti kamu harus ikuti terus apa yang akan saya lakukan. Jangan sampai ada yang terlewat."     

"Gimana saya bisa terus ngawasin Ibu?" tanya Ben.     

"Kamu pasti tahu caranya." Ibu Kasmira menepuk-nepuk punggung Ben. "Saya pergi dulu. Semoga rencana saya berhasil."     

Ben menatap kebingungan pada Ibu Kasmira yang kembali berjalan menuju pintu apartemen. Ibu Kasmira melambaikan tangannya pada Ben sebelum ia keluar dari dalam apartemen. Ben hanya bisa menghela napas panjang selepas Ibu Kasmira pergi meninggalkan apartemen. Tangan Ben kemudian meraih ponselnya dan segera menghubungi Bara.     

"Halo, Bar. Gue udah tahu Axel dibawa kemana," ujar Axel ketika Bara menjawab telponnya. "Sekarang Ibu Kasmira lagi jalan ke rumah sakitnya."     

"Oke, lu kirimin nama rumah sakitnya. Nanti gue bakal kirim orang buat jaga di sekitar situ," sahut Bara.     

Ben mengetikkan sesuatu di layar monitornya. "Udah gue kirim. Ibu Kasmira tadi bilang dia punya rencana. Tapi, gue ngga tahu apa yang dia rencanain. Dia cuma nyuruh gue buat ngawasin dia."     

"Hmmm," gumam Bara. "Ya udah, lu ikutin aja apa permintaan Ibu Kasmira. Ngga mungkin, kan, dia bergerak tanpa perencanaan. Lu yang paling tahu cara kerjanya."     

Ben berdecak pelan. "Oke. Meskipun gue sama sekali belum tahu apa yang dia rencanain." Tiba-tiba mata Ben menangkap sesuatu pada layar monitornya. Ia langsung meraih tetikusnya dan membuka pesan yang baru muncul di layar monitornya." Ia membaca sekilas pesan masuk tersebut. Ben langsung bergumam. "Gue udah tahu rencana dia. Nanti gue sambung lagi." Ben kemudian mematikan sambungan telponnya dengan Bara.     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.