Bara

Crack 3



Crack 3

0Bara dan Maya menikmati makan siangnya sambil sesekali memperhatikan ke arah meja tempat Raya dan Axel berada.     
0

"Disana kayanya tegang banget," gumam Maya sambil melirik sedikit ke arah meja Raya.     

Bara tertawa pelan. "Gue yakin, pasti ada sesuatu antara Axel sama Kakak perempuannya sampai dia tiba-tiba diam begitu."     

Maya mengangguk. "Daritadi mukanya keliatan ditekuk. Kayanya abis makan siang bakalan keriput itu mukanya gara-gara kebanyakan ditekuk."     

Bara mencoba menahan tawanya mendengar begitu mendengar apa yang Maya ucapkan.     

"What?" tanya Maya.     

Bara menggeleng cepat sambil mengulum tawanya.     

"Ngomong-ngomong, lu ngajak makan disini, bukan karena kita mau ngawasin mereka, kan?" tanya Maya tiba-tiba.     

"Emangnya kenapa?" Bara balik bertanya pada Maya.     

"Kebetulannya terlalu pas," jawab Maya.     

Bara meletakkan garpu dan pisaunya di pinggir piring makannya, lalu menatap Maya. "Sorry, kalau lu merasa ini semua udah bagian dari rencana gue. Tapi, jujur aja, gue ngga tahu kalau ternyata kakaknya Axel masih datang ke sini."     

Maya melirik pada Bara. "Yakin, cuma kebetulan?"     

Bara menganggukkan kepalanya. "Pas liat dia ada disini, gue tiba-tiba dapat ide buat mengkonfrontasi Axel dan kakaknya lewat Raya."     

"Jadi, bagian Raya yang tiba-tiba muncul disini, itu rencana lu?"     

"Rencana spontan."     

"Okay, no problem." Maya kemudian menatap Bara. "Kalo boleh jujur, gue agak kesel sedikit karena rencana spontan lu ini. Tapi, thanks lu selalu jujur sama gue."     

Bara kemudian menggenggam tangan Maya. "Sorry."     

Maya mengangguk cepat menangapi permintaan maaf Bara. Tiba-tiba Maya meletakkan garpu dan pisau miliknya dengan kasar.     

Bara seketika menoleh pada Maya. "What?"     

"Gue perlu pelampiasan biar ngga kesel."     

"Gue harus gimana?"     

"Give me your hand."     

Bara takut-takut mengulurkan tangannya pada Maya. Melihat Bara yang takut-takut mengulurkan tangannya, Maya lantas menarik tangan Bara dan menggigitnya.     

Bara menahan teriakannya begitu Maya menggigit lengannya. Tidak lama kemudian Maya melepaskan gigitannya. "Itu akibatnya udah bikin gue kesel."     

"Aww." Bara memperhatikan bekas gigitan Maya pada tangannya. Ia kemudian tersenyum sambil mengelus-elus pipi Maya. "I love you. Itu yang tadi mau gue bilang."     

Pipi Maya bersemu merah mendengar ucapan Bara. Ia mendengus kesal karena tidak bisa melanjutkan kekesalannya pada Bara setelah apa yang diucapkan Bara padanya.     

----     

Axel tidak banyak bicara selama makan siang. Hanya Raya dan Kakak perempuannya yang terus berbicara.     

"Lu, kok, diem aja daritadi," ujar Raya sambil menyenggol lengan Axel.     

Axel terperangah, karena sedari tadi ia lebih banyak berbicara dengan isi kepalanya sendiri ketimbang mendengarkan apa yang dibicarakan kakaknya. Ia merasa muak dengan apa yang dibicarakan kakaknya mengenai dirinya. Dia menceritakan kedekatan mereka berdua yang bahkan tidak pernah terjadi. Seingat Axel, tidak pernah ada momen dimana Kakak perempuannya itu membantunya membuat prakarya sekolah.     

Mereka memang bersekolah di sekolah yang sama, namun mereka bahkan tidak pernah saling bertegur sapa di sekolah. Axel kemudian menatap Raya. "Jangan terlalu sama apa yang dia ceritain. Kita bahkan ngga tinggal satu rumah." Ia lalu beralih menatap Kakak perempuannya. "Lu juga, jangan berlebihan kalau bohong. Yang lu omongin sama Raya itu cuma ada dalam khayalan lu."     

Raya terbengong-bengong mendengar ucapan Axel.     

Sementara itu, Kinar, Kakak perempuan Axel tersenyum sinis. "Lu harusnya mendukung sedikit kebohongan gue, biar kita ini kelihatan kaya Adik Kakak yang lain. Ngga cukup akting gue kemaren yang narik-narik tangan lu?"     

Axel balas tertawa. "Udah gue duga. Lu itu paling jago akting dari dulu. Bikin muak tahu, ngga." Axel memelotot pada Kakak perempuannya.     

Raya tiba-tiba berdeham. Dua Kakak Adik yang sedang saling memelotot itu kini menatap Raya. Sadar tatapan keduanya kini beralih padanya, Raya bergantian menatap mereka. "It's okay, lanjutin aja lomba melototnya. Gue yang jadi jurinya." Ia kemudian cengar-cengir pada Axel dan kakaknya.     

"Sebenernya apa tujuan lu tiba-tiba nemuin gue?" tanya Axel akhirnya pada kakak perempuannya.     

"Bukannya dari kemarin gue udah bilang, gue datang karena disuruh Papa. Dia mau minta lu ke rumah sakit buat tes."     

Raya kemudian menatap Axel. "Lu sakit, Xel?"     

Axel dengan cepat menggeleng. Ia kemudian menghela napas panjang dan menatap Kinar. "Bilang sama Papa, gue ngga bakal ikut tes apapun. Mending kalian lupain aja ada gue di hidup kalian. Toh, selama ini kalian ngga pernah anggap gue ada." Axel segera meletakkan garpu dan pisau yang ia gunakan, lalu meneguk sedikit minumannya. "Gue udah selesai, Ray. Kalau lu masih mau ngobrol sama dia, silahkan aja. Gue naik duluan."     

Kali ini Raya tidak mencegah Axel yang berjalan pergi meninggalkan restoran. Situasinya dengan Kinar kini mendadak canggung.     

Kinar tersenyum menatap Raya. "Bukan kisah keluarga idaman."     

Raya tersenyum canggung pada Kakak perempuan Axel itu. "Kayanya gue juga harus naik."     

"Oh, ya. Silahkan. Biar makanannya gue yang bayar," ujar Kinar.     

"Ngga usah repot-repot," sahut Raya.     

"Ngga repot, kok. Cuma bayarin kalian makanan."     

Raya kembali tersenyum pada Kinar. "Kalo gitu makasih."     

"Oh, ya. Gue bisa minta tolong? Karena dari kemarin gue liat kalian berdua terus, jadi gue anggap kalian berdua cukup dekat. Tolong bujuk Axel supaya mau ikut tes, ini demi nyawa Bokap kita berdua."     

"Ehm, gue ngga janji, ya. Hubungan kita berdua juga ngga sedekat itu. Kita cuma rekan kerja biasa."     

Kinar membulatkan matanya. "Gue pikir kalian berdua dekat."     

Raya menggeleng. "Ngga."     

Kinar menghela napasnya. "Ya udah kalo begitu. Tapi, kalo bisa, tolong ya bujuk Axel."     

"Gue usahain." Raya mengangguk kemudian pergi meninggalkan Kinar sendiri di restoran.     

----     

Raya berjalan cepat meninggalkan restoran. Begitu ia tiba di pintu keluar restoran, tiba-tiba ada seseorang yang menepuk bahunya dari belakang. Raya segera menoleh, ternyata Axel belum kembali ke kantor seperti yang tadi ia katakan ketika berada di dalam restoran.     

"Dia ngomong apa aja sama lu?" tanya Axel yang kemudian mensejajarkan langkahnya dengan Raya.     

"Ngga ngomong apa-apa. Dia cuma minta gue buat bujuk lu supaya mau ikut tes. Dia ngotot nyuruh lu ikut tes katanya demi nyawa Bokap kalian. Emang tes apa, sih?" tanya Raya penasaran.     

"Tes supaya gue bisa jadi donor buat Bokap gue."     

"Donor apa?"     

"Ginjal."     

Mata Raya membulat mendengar jawaban yang diberikan Axel. "Kenapa ngga Kakak lu aja yang jadi donor?"     

Axel tertawa pelan mendengar pertanyaan yang diajukan Raya. "Orang kaya dia, mana mungkin mau buat jadi donor. Bisa kiamat kalo dia tiba-tiba mau jadi donor."     

"Terus kenapa dia maksa lu?"     

"Karena di mata mereka, gue ini cuma aib yang harus disingkirkan. Hidup gue ngga ada artinya buat mereka semua. Kalau gue mati, mereka juga ngga bakal peduli."     

Raya melongo mendengar perkataan Axel.     

Axel balas menatap Raya. "Kalau bisa berharap, gue berharap gue ini ngga pernah ada." Ia kemudian tertawa pelan. "Wah, akhirnya ada yang tahu tentang latar belakang gue yang berantakan ini. Jangan ngerasa kasian sama gue. Gue udah nerima nasib gue yang lahir sebagai anak dari hasil hubungan gelap anak Pejabat sama wanita selingkuhannya."     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.