Bara

Gesture of Resistance 7



Gesture of Resistance 7

0Ucapan Pak Haryo serta merta membuat Pak Angga semakin seperti orang kesetanan. Ia meronta hingga Bara dan Pak Agus kesulitan memegangi lengannya.     
0

"Saya habisi kalian semua," teriak Pak Angga sambil memelotot. Ia menghempaskan lengan Pak Agus dan Bara dengan kuat hingga terlepas. Dengan cepat Ia mengambil senjata yang ia sembunyikan di balik punggungnya dan menembakkannya ke udara.     

Suasana di dalam paviliun mendadak hening. Semuanya terdiam dan menatap ke arah Pak Angga. Sambil memelotot Pak Angga mengarahkan moncong senjatanya ke semua orang yang ada di dalam paviliun miliknya.     

Pak Angga menatap tajam ke arah Pak Bima yang sedang bersama Damar. "Pertama, saya akan menghabisi kamu. Anak tidak tahu diri." Ia kemudian berjalan ke arah Pak Bima.     

Pak Haryo, Pak Agus dan Bara mau tidak mau menyingkir karena Pak Angga sedang mengarahkan moncong senjatanya ke arah mereka saat ia berjalan ke arah Pak Bima. Mereka pun saling lirik agar bisa melumpuhkan Pak Angga tanpa melukai siapa pun.     

Pak Bima menatap nanar Pak Angga yang mengarahkan pistolnya kepadanya. Ia tertawa pelan. "Bapak memang sama sekali ngga peduli sama keluarga kita."     

"Memangnya kamu sendiri peduli sama keluarga kita? Kamu, Damar, kalian berdua mengkhianati saya. Itu yang namanya peduli? Dari dulu kamu cuma bisa mengecewakan saya," ujar Pak Angga penuh amarah sambil tetap mengarahkan pistolnya kepada Pak Bima.     

"Saya juga kecewa sama Bapak," balas Pak Bima.     

"Diam kamu." Pak Angga memukul pelipis Pak Bima dengan menggunakan gagang pistolnya.     

Pak Bima berdecak pelan lalu menyeka pelipisnya dan melihat sedikit noda darah pada telapan tangannya. "Saya menyesal sudah menjadi anak Bapak." Ia menatap tajam Pak Angga. "Bapak tidak pantas disebut manusia."     

Napas Pak Angga naik turun mendengar apa yang dikatakan Pak Bima. Ia pun kembali mengarahkan mocong pistolnya ke kepala Pak Bima. "Semoga kita bertemu lagi di neraka." Pak Angga menekan trigger pistolnya, sedetik kemudian suara tembakan yang memekakkan telinga memenuhi paviliun kecil tersebut.     

Pak Bima memejamkan matanya. Namun ternyata tembakan yang diarahkan Pak Angga meleset karena Bara menubruk tubuh Pak Angga hingga terjatuh ke lantai. Peluru yang ditembakkan Pak Angga akhirnya bersarang di tembok yang ada di sebelah Pak Bima. Setelah menubruk tubuh Pak Angga, Bara mengunci tubuh Pak Angga agar ia tidak bisa berbuat macam-macam. Ia menekan tangan Pak Angga agar menjatuhkan senjata yang ia pegang. Namun nyatanya itu tidak menghalangi Pak Angga. Dalam posisi sudah terkunci, ia kembali mengarahkan senjata apinya kepada Pak Bima dan menembakkannya.     

Tembakan ketiga kembali meletus. Dengan sisa-sisa tenaganya, Damar mengangkat tubuhnya dan melindungi Pak Bima. Peluru yang ditembakkan Pak Angga memelesat dan akhirnya bersarang di punggung Damar.     

"Haah, haah, haah," lenguh Damar begitu ia merasakan peluru panas itu kini bersarang di tubuhnya.     

Mata Pak Bima membulat melihat Damar yang saat ini memeluk tubuhnya dan mejadikan dirinya sebagai tameng hidup untuk melindunginya. "Damar."     

Damar melenguh menahan sakit. Ia masih sempat tersenyum pada Pak Bima sebelum akhirnya melorot di pelukan Pak Bima.     

Pak Bima lantas menurunkan tubuh Damar agar merebah di lantai. Keringat dingin mulai muncul di pelipis Damar dan napasnya terdengar semakin memburu. Darah yang keluar dari tubuh Damar mulai merembes membasahi lantai tempatnya berbaring.     

"Damar, buka mata kamu, Damar," teriak Pak Bima. Damar menatap ke arah Pak Bima, namun ia mulai terlihat kesulitan mempertahankan kesadarannya. Wajah Pak Bima yang ada di hadapannya mulai memudar. Ia kembali menegakkan kepalanya dan menatap langit-langit paviliun tempatnya berada saat ini. Semuanya mulai tampak buram di matanya.     

Pak Angga tertawa melihat Damar yang tergeletak di lantai. Bara semakin erat mengunci tubuh Pak Angga di lantai. Pak Angga mulai terengah-engah akibat kuncian Bara yang semakin kencang.     

Tanpa sadar senjata api yang dipegangnya akhirnya terlepas dari tangannya karena ia berusaha melepaskan dirinya dari Bara yang menguncinya dengan sangat kuat.     

Begitu senjata api itu terlepas dari tangan Pak Angga, Pak Haryo segera menendang senjata itu agar menjauh dari jangkauan tangan Pak Angga sehingga dia tidak mempunyai kesempatan untuk menembakkannya lagi.     

Pak Agus mencari-cari sesuatu yang bisa ia gunakan untuk mengikat Pak Angga. Ia akhirnya menemukan sebuah karung bekas dan segera merobeknya. Ia menggunakan robekan karung bekas itu untuk mengikat lengan Pak Angga. Setelah Pak Agus selesai mengikat tangan Pak Angga, Bara melepaskan kunciannya dan mendorong tubuh Pak Angga hingga terguling ke sebelahnya.     

Setelah itu, Bara mengatur napasnya sambil masih berbaring di lantai. Ia kemudian menatap Pak Angga yang berbaring di sebelahnya. Pak Angga sama sekali tidak menunjukkan penyesalannya. Ia menatap langit-langit sambil tertawa-tawa sendiri. Bara kemudian menoleh pada Pak Haryo yang berdiri di sebelahnya. Tatapan mata Pak Haryo tertuju pada Pak Angga.     

Bara bisa melihat kesedihan dalam tatapan mata Pak Haryo yang kini sedang memandangi Pak Angga yang sudah tampak seperti orang gila. Pak Haryo kemudian menoleh pada Bara dan mengulurkan tangannya untuk membantu Bara berdiri.     

Bara menyambut uluran tangan Pak Haryo dan kembali berdiri. Mereka kemudian segera menghampiri Pak Bima dan Damar.     

"You're gonna be okay, Dam," gumam Bara.     

Damar menatap Bara, seolah ada sesuatu yang harus ia sampaikan. Namun ia sudah tidak sanggup berkata-kata lagi karena rasa sakit yang ia rasakan di sekujur tubuhnya.     

"Ambulannya sudah tiba," seru Pak Agus. Ia melihat beberapa petugas ambulan yang berlari ke arah paviliun bersama dengan Asisten rumah tangga Pak Angga.     

Damar menggenggam erat tangan Pak Bima sambil menatapnya. "I, I can't." Ia sudah tidak sanggup lagi mempertahankan kesadarannya.     

"No!" Pak Bima semakin panik melihat Damar yang mulai memejamkan matanya. "Stay with me Damar." Ia balas menggenggam erat tangan Damar.     

Namun genggaman tangan Damar semakin melemah. Begitu pula dengan napasnya sudah terdengar semakin berat.     

Petugas ambulan segera menghampiri Damar. "Tolong minggir sebentar, Pak."     

Pak Bima mau tidak mau melepaskan tangannya dan menggeser tubuhnya untuk memberikan ruang pada petugas ambulan untuk memeriksa keadaan Damar. Dengan sigap dua orang petugas ambulan melakukan pertolongan pertama untuk menghentikan pendarahan yang dialami Damar.     

Damar sudah tidak sanggup lagi mempertahankan kesadarannya. Ia menghembuskan napasnya dan menjemput kegelapan yang sedari tadi sudah membayanginya.     

Seluruh tubuh Pak Bima gemetar begitu melihat Damar memejamkan matanya dan tangannya terkulai di lantai. Sementara kedua orang Petugas ambulan masih berusaha menghentikan pendarahannya.     

----     

Pak Haryo, Pak Agus dan Bara memandangi ambulan yang membawa Damar pergi meninggalkan area rumah Pak Angga. Pak Bima ikut masuk di dalam ambulan tersebut untuk menemani Damar. Sementara itu, Pak Haryo memutuskan untuk mengurung Pak Angga di dalam paviliun tempat terjadi keributan tadi.     

"Sekarang apa yang harus kita lakukan pada Angga?" tanya Pak Agus pada Pak Haryo.     

Pak Haryo menghela napasnya. "Hubungi Psikiater. Sepertinya dia butuh bantuan untuk menangani kejiwaannya. Peringatkan orang rumah, untuk tidak menceritakan apa pun yang terjadi tadi." Pak Haryo kemudian menoleh pada Bara. "Kamu kabari Kimmy. Setelah itu, kamu susul mereka ke rumah sakit. Eyang masih harus menyelesaikan masalah dengan Angga."     

Pak Agus dan Bara mengangguk bersamaan. Pak Haryo menghela napas lesu lalu kembali berjalan masuk ke dalam rumah Pak Angga.     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.