Bara

Gesture of Resistance 2



Gesture of Resistance 2

0Pak Haryo segera menuju kantornya begitu ia tiba di Jakarta. Informasi yang ia miliki terlalu penting untuk ia simpan sendiri. Ia pun sudah mengetahui bahwa Hanggono juga mengincar informasi yang saat ini ada di tangannya.     
0

"Gus, nanti sore, tolong buat janji untuk bertemu dengan lawan politik Hanggono. Dia pasti tertarik dengan apa yang saya miliki," pinta Pak Haryo pada Pak Agus.     

"Tumben kamu mau terlibat dengan politik," sahut Pak Agus.     

"Saya cuma memberikan mereka cara untuk melawan Hanggono. Mereka para Politisi muda, pasti sedikit kesulitan untuk melawan Hanggono. Saya cuma membantu sedikit," timpal Pak Haryo.     

"Itu bukan sedikit. Itu sangat banyak."     

"Bagaimana dengan Angga?" tanya Pak Agus.     

"Bukannya Bara sudah berhasil membuat Angga dan Hanggono berjarak?" Pak Haryo balik bertanya pada Pak Agus.     

"Cucu yang disembunyikan oleh keluarga Hanggono, kemarin dia dirawat. Dia ternyata anak yang waktu itu membuat kericuhan pada saat test penerimaan Pegawai magang."     

Pak Haryo menatap Pak Agus tidak percaya. "Serius kamu? Setahu saya cucunya Hanggono itu perempuan."     

"Cucu perempuannya itu tempo hari datang ke kantor. Syukurlah dia datang ke kantor dan menemui anak itu. Dari situ Bara dan teman-temannya mulai menyelidikinya. Dan hasilnya, anak itu ternyata juga cucu Hanggono."     

"Semakin menarik saja," gumam Pak Haryo.     

Pak Agus terkekeh. "Sebentar lagi, anak laki-laki Hanggono akan menjalani operasi transplantasi ginjal di rumah sakit milik MG Group."     

"Kamu tahu siapa donornya?" tanya Pak Haryo.     

"Bara kemarin menjenguk donornya. Tidak lain dan tidak bukan anak itu yang menjadi donornya."     

"Keluarga Hanggono memang luar biasa," sahut Pak Haryo.     

Pak Haryo kemudian melirik pada Pak Agus. "Bara sudah menjenguk cucunya Hanggono, apa saya juga perlu menjenguk anaknya setelah operasi itu?"     

Pak Agus mengangguk. "Hanggono pasti senang kalau kamu mau menjenguk anaknya."     

Pak Haryo terkekeh. "Saya harus bawa karangan bunga yang cukup besar kalau begitu."     

Pak Agus membalasnya dengan ikut tertawa pelan.     

----     

Bara kembali mengunjungi Axel di kamar rawatnya. Namun, kali ini ia datang sendiri untuk menemui Axel.     

"Gimana? Udah pertimbangin penawaran dari gue?" tanya Bara begitu ia datang menemui Axel.     

"Apa yang lu mau dari gue?" Axel balik bertanya pada Bara.     

"Gue cuma butuh informasi tentang Kakek lu yang ngga banyak orang tahu," jawab Bara.     

"Gue," sahut Axel. "Ngga ada yang tahu kalau gue ini cucunya dia."     

"Menurut lu, kenapa Kakek lu itu sampai--" Bara berhenti sejenak. "Lu tahu, lah, maksud gue."     

"Kenapa dia sampai membunuh Nyokap gue?"     

Bara menganggukkan kepalanya. "Mungkin gara-gara kehadiran gue."     

"Atau mungkin karena Nyokap lu tahu sesuatu?" Bara menaikkan satu alisnya.     

"Ngga mungkin," sahut Axel cepat. "Lagian gue juga ngga tahu apa-apa karena Nyokap meninggal waktu gue masih kecil."     

"Dia ngga ninggalin pesan buat lu?"     

Axel menggeleng. "Setelah Nyokap gue meninggal, Pengasuh gue langsung bawa gue ke tempat Bokap."     

"Jadi, lu baru kenal Bokap lu setelah Nyokap lu meninggal?"     

"Yep. Dan baru sekarang gue tahu kalau dia bukan meninggal karena sakit. Tapi karena dibunuh."     

"Dimana Pengasuh lu sekarang?"     

Axel mengangkat bahunya. "Setelah gue tinggal di rumah Bokap. Dia pergi dan gue ngga tahu dia ada dimana sekarang."     

Bara manggut-manggut mendengarkan penjelasan Axel. "Kakek lu itu terlalu banyak menyimpan rahasia. Semakin jauh menyelidiki tentang dia, semakin kelam rahasia yang gue dapat. Nyokap lu, Bokap gue, mereka cuma salah satu dari beberapa korbannya. Dia ngga segan-segan menyingkirkan siapa saja dianggap menghalangi jalannya."     

"Kalau begitu, kenapa dia ngga nyingkirin gue sekalian? Dia selalu bilang kalo gue ini pembawa sial."     

"Mungkin karena Bokap lu," sahut Bara.     

"Mana mungkin, dia aja awalnya ngga percaya kalo gue ini anaknya."     

Bara kemudian mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya. "Ini nomor telpon salah satu teman Nyokap lu yang berhasil gue dapetin. Temuin dia. Mungkin dia tahu sesuatu tentang Nyokap lu ngga lu tahu."     

"Apa untungnya buat gue kalau gue ngelakuin ini?" tanya Axel.     

"Gue yakin, lu pasti mau membalas apa yang sudah Kakek lu lakuin ke lu selama ini."     

Axel tersenyum sambil mengangkat separuh bibirnya. "Tahu darimana lu?"     

Bara menunjuk wajah Axel. "Dari muka lu aja gue tahu, kalau ngga bakal diem aja setelah lu tahu penyebab kematian Nyokap lu."     

Axel tertawa pelan.     

"Oh, ya, satu lagi. Yang kotor itu cuma Hanggono, keluarganya yang lain cuma menikmati apa yang sudah Hanggono lakukan tanpa tahu apa yang sebenarnya dia lakukan."     

Axel menatap Bara keheranan. "Maksud lu?"     

"Dia melakukan semua pekerjaan kotornya jauh dari pandangan keluarganya. Cuma itu yang bisa gue bilang."     

Axel mengangguk pelan. Ia kemudian mengangkat kertas kecil pemberian Bara. "Thanks buat informasinya."     

"Your welcome. Kalau gitu gue pamit dulu. Jangan lupa kabarin gue kalau lu udah dapet informasinya. Gue lagi ngumpulin dakwaan yang bisa membuat Kakek lu mendekam di penjara."     

"Hobi lu cukup menantang ternyata," sahut Axel sembari terkekeh.     

"Kalau ini udah selesai, gue bakal cari hobi yang lain," timpal Bara sambil tertawa pelan.     

Bara kemudian berjalan keluar dari ruang rawat Axel. Sementara itu, Axel memandangi deretan nomor telpon yang dituliskan pada secarik kertas kecil pemberian Bara.     

"Gue bahkan belum minta apa-apa, tapi dia udah nyuruh gue buat nyelidikin macem-macem," gumam Axel sambil memperhatikan pintu ruang rawatnya yang baru saja menutup.     

----     

Setelah menemui Axel, Bara dijemput oleh Pak Agus untuk pergi menemui Pak Haryo. Pak Agus mengatakan mereka akan menemui seorang Politisi senior yang juga merupakan lawan abadi Hanggono.     

"Kenapa sekarang kita juga memainkan permainan yang sama dengan Eyang Angga?" tanya Bara pada Pak Agus ketika mereka sedang dalam perjalanan untuk menemui Pak Haryo. "Jujur aja, saya ngga percaya sama Politisi. Mereka itu cuma pandai memanfaatkan situasi. Selama itu menguntungnya buat mereka, mereka pasti rela melakukan apa saja."     

"Eyangmu juga cuma mau memberikan sedikit informasi yang sudah ia dapatkan pada saat kemarin kita pergi ke Singapura."     

Bara menghela napasnya. "Eyang sudah yakin kalau yang sekarang mau kita temui bisa dipercaya?"     

"Paling tidak untuk saat ini, dia bisa dipercaya. Meskipun kita ngga tahu sampai kapan kita bisa mempercayainya," sahut Pak Agus.     

Bara terdiam dan tidak lagi banyak bertanya. Ia mengalihkan perhatiannya pada jalanan yang ada di luar mobil yang sedang ia naiki.     

Pak Agus menepuk bahu Bara. "Kalau kamu pikir ini akan segera berakhir, sebaiknya kamu pikirkan kembali. Semakin banyak kamu tahu, semakin rumit benang kusut yang harus kamu urai."     

Bara menoleh sebentar pada Pak Agus, namun setelah itu ia kembali mengalihkan perhatiannya pada jalanan yang ada di luar. "Kalau terlalu sulit untuk mengurainya. Saya akan memilih untuk memutusnya langsung pada bagian yang kusut itu."     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.