Bara

Gesture of Resistance 5



Gesture of Resistance 5

0"Siapa yang menelpon?" tanya Pak Haryo pada Bara.     
0

Mereka sudah menyelesaikan acara makan malam bersama dengan Politisi kenalan Pak Haryo, dan kini mereka sedang dalam perjalanan kembali ke kediaman Pak Haryo.     

"Om Bima, dia nanyain Damar," jawab Bara.     

"Memangnya Damar kemana?"     

Bara mengangkat bahunya. "Tadi waktu Pak Agus jemput, dia masih di kantor." Bara terdiam sejenak. Lalu ia mengeluarkan ponselnya. "Ben, tolong liatin, Damar ada dimana." Bara kembali mematikan ponselnya.     

"Kenapa sampai menghubungi Ben?" Pak Haryo kembali bertanya pada Bara.     

"Buat jaga-jaga aja. Takut yang tempo hari keulang lagi," sahut Bara.     

Tidak lama kemudian, ponsel Bara bergetar. Ben sudah mengirimkan lokasi Damar saat ini. Bara memperhatikan posisi Damar di layar ponselnya. Pak Haryo yang sedang duduk di sebelahnya ikut mengintip ponsel Bara.     

"Itu dia lagi dirumah Angga," ujar Pak Haryo.     

Bara menoleh pada Pak Haryo. "Ini rumahnya Eyang Angga?"     

Pak Haryo menganggukkan kepalanya. "Mungkin Angga yang mengajaknya mampir kesana."     

"Bisa jadi." Bara menghela napasnya. Tapi entah mengapa ada sesuatu yang terasa mengganjal di hatinya. Kalau Damar memang berada di kediaman Pak Angga, kenapa Pak Bima sampai tidak bisa menghubunginya. "Aku telpon Om Bima dulu, buat ngasih tahu Damar dimana. Dia kayanya lagi khawatir sama Damar."     

Bara kembali meraih ponselnya dan menghubungi Pak Bima.     

"Halo Om," sapa Bara begitu Pak Bima menjawab telponnya.     

"Ya, Bara. Ada apa? Saya lagi di jalan mau ke Millenium," sahut Pak Bima.     

"Ngga perlu ke Millenium, Om. Damar ada di rumah Eyang Angga."     

----     

Pak Bima mengerutkan keningnya. "Di rumah Bapak?"     

"Iya, Om. Barusan saya cek lokasinya Damar. Dia ada di rumah Eyang Angga."     

"Oh, baiklah kalau begitu. Terima kasih informasinya."     

"Sama-sam, Om."     

Pak Bima mematikan ponselnya, lalu memutar arah kendaraannya ke arah kediaman Pak Angga.     

Mobil yang dikendarai Pak Bima akhirnya masuk ke area rumah Pak Angga. Ia segera menghentikan mobilnya di pelataran rumah Pak Angga dan segera masuk ke dalam.     

"Damar disini?" tanya Pak Bima pada Asisten rumah tangga yang ia temui di ruang tamu.     

Asisten rumah tangga itu kebingungan. "Mas Damar ngga kesini, Pak."     

"Damar ngga kesini?"     

Asisten rumah tangga itu menggeleng. "Daritadi saya ngga lihat Mas Damar. Bapak juga belum pulang."     

Pak Bima semakin keheranan. "Ya sudah, saya tunggu sampai Bapak pulang."     

Pak Bima kemudian melangkah menuju ruang keluarga. Di ruang keluarga, Pak Bima memandangi foto keluarga mereka yang terpasang di tembok. Ia menghela napasnya sambil memperhatikan foto tersebut.     

----     

Pak Angga tiba di kediamannya. Asisten rumah tangganya dengan sigap menyambut Pak Angga dan membawakan tas kerjanya.     

"Pak Bima ada di ruang keluarga," ujar Asisten rumah tangga Pak Angga sambil mengikuti Pak Angga masuk ke dalam rumah.     

Pak Angga menoleh pada Asisten rumah tangganya. "Bima kesini?"     

"Iya, Pak. Pak Bima nyari Mas Damar," jawab Asisten rumah tangganya.     

Pak Angga berdecak pelan lalu melangkahkan kakinya ke ruang keluarganya. Begitu ia tiba disana, ia melihat Pak Bima yang sedang berdiri di depan foto besar keluarga mereka. Pak Angga pun segera berjalan menghampirinya.     

"Foto itu mau saya turunkan," ujar Pak Angga. Ia berdiri di sebelah Pak Bima dan ikut memandangi foto keluarganya.     

Pak Bima menoleh pada Pak Angga. "Damar ngga sama Bapak?"     

"Kamu mau ketemu Damar?" tanya Pak Angga.     

"Saya mau menanyakan tentang foto yang Bapak kirim," sahut Pak Bima.     

"Buat apa kamu tanyakan lagi. Nyatanya hubungan mereka memang sudah lebih dari sekedar Kakak Adik."     

Pak Bima menggeleng. "Saya tidak mempercayainya, sebelum saya mendengar sendiri dari Damar, "     

Pak Angga tertawa pelan. "Jadi, kamu sekarang tidak mempercayai bapakmu sendiri. Baiklah, tidak masalah. Ayo, kita temui Damar."     

Pak Angga segera beranjak dari ruang keluarganya. Pak Bima memperhatikan Pak Angga yang berjalan pergi meninggalkan ruang keluarganya dan bergegas mengikuti langkah Pak Angga.     

"Kenapa orang rumah ngga tahu kalau Damar ada di sini?" tanya Pak Bima sembari mengikuti langkah Pak Angga.     

Pak Angga diam tidak menjawab. Mereka berjalan keluar dari area rumah utama dan menuju paviliun kecil yang ada di belakang rumah utama. Dari kejauhan Pak Bima melihat dua orang penjaga yang berdiri di depan paviliun tersebut.     

Pak Bima menatap Pak Angga tidak percaya. "Bapak mengurung Damar disana?"     

Pak Angga menghentikan langkahnya dan menoleh pada Pak Bima. "Saya ngga mau dia menginjakkan kaki di rumah saya."     

Pak Bima menghentikan langkahnya. "Apa Bapak sebegitu bencinya sama Damar? Ini pasti bukan hanya karena Damar yang diam-diam menjalin hubungan dengan Kimmy."     

Pak Angga ikut menghentikan langkahnya lalu menatap Pak Bima. Ia berdecak pelan. "Pertama, dia sudah berani mempermainkan saya. Kedua, dia berani membuka brankas milik saya yang bahkan kamu saja tidak saya berikan aksesnya. Ketiga, karena dia posisi saya saat ini menjadi sulit. Hubungan dia dengan Kimmy hanya bumbu yang membuat saya semakin muak sama dia."     

"Tapi, bukannya Bapak sendiri yang dulu memaksa Damar mengikuti kemauan Bapak. Harusnya Bapak menyalahkan diri Bapak sendiri. Bukannya menyalahkan Damar," sahut Pak Bima.     

"Bertahun-tahun dia menikmati yang keluarga kita berikan untuknya, tapi apa yang diberikan sebagai timbal baliknya. Dia malah menusuk saya dari belakang. Saya sudah tidak membutuhkan dia lagi. Kamu atau Damar sama saja. Lebih baik saya mengurus semuanya sendiri." Pak Angga mendengus kesal lalu kembali melanjutkan langkahnya.     

Pak Bima terdiam sejenak sebelum kembali mengikuti Pak Angga. Dua orang Pengawal yang berjaga di depan paviliun langsung menyingkir begitu Pak Angga datang.     

----     

Damar duduk sendiri di dalam paviliun kecil yang ada di area kediaman Pak Angga. Ia terus memikirkan apa yang akan dilakukan Pak Bima jika mengetahui bahwa dirinya dan Kimmy sudah menjalin hubungan di belakangnya.     

"Harusnya gue ngga melanjutkan perasaan itu," gumam Damar pada dirinya sendiri. Ia meremas rambutnya sambil menundukkan kepalanya.     

"Nah, itu. Anak kesayangan kamu ada disitu."     

Damar menoleh begitu mendengar suara Pak Angga yang masuk ke dalam paviliun tersebut. Pak Bima menyusul masuk di belakang Pak Angga.     

"Papa," ujar Damar begitu melihat Pak Bima.     

Pak Angga hanya menatap Damar sekilas, sebelum akhirnya keluar dan meninggalkan Pak Bima dan Damar berdua. Pak Bima menunggu sampai pintu di belakangnya menutup sebelum ia berjalan menghampiri Damar.     

"Kamu baik-baik saja, kan?" tanya Pak Bima begitu itu menghampiri Damar.     

Damar merasa helaan napasnya sangat berat begitu Pak Bima mengusap-usap kepalanya. Ia diam dan tidak menjawab pertanyaan yang diajukan Pak Bima.     

"Kamu baik-baik saja, kan?" Pak Bima kembali bertanya pada Damar.     

Kali ini Damar mengangguk pelan.     

"Syukurlah kalau kamu baik-baik saja," ujar Pak Bima.     

Damar merunduk. Ia tidak berani menatap mata Pak Bima untuk meminta maaf padanya. "Maafin aku, Pa."     

"Apa yang harus Papa maafkan?" Pak Bima menghela napasnya. Ia bersiap dengan segala kemungkinan yang akan diucapkan Damar.     

"Ngga seharusnya aku menyimpan perasaan untuk Kimmy. Dari awal aku tahu itu salah," ujar Damar.     

Pak Bima terdiam sesaat. Ia tidak tahu harus mengucapkan apa untuk menanggapi pengakuan Damar. Ia hanya meremas pelan bahu Damar.     

"Aku terima kalau Papa marah dan mengusir aku dari keluarga ini. Tapi aku mohon, jangan lampiaskan kemarahan Papa sama Kimmy. Cukup aku yang menanggung semua kemarahan Papa atau Eyang," pinta Damar dengan mata yang berkaca-kaca.     

Pak Bima menghela napasnya dan menatap Damar yang sekarang sedang merunduk di hadapannya. "Jujur saja, Papa bingung harus bersikap bagaimana. Papa kecewa. Tapi, Papa ngga sanggup melampiaskan kemarahan Papa. Kalian berdua anak Papa."     

Damar mendongakkan kepalanya dan menatap Pak Bima. Mata Pak Bima juga memerah. Damar lantas menarik tangan Pak Bima. "Papa bebas melakukan apa saja untuk melampiaskan kemarahan Papa. Aku ngga akan ngelawan."     

Pak Bima serta merta menarik tangannya. Ia menggeleng. "Kesalahan kamu cuma satu. Kamu mencintai seseorang yang tidak seharusnya kamu cintai. Tapi, Papa juga tidak bisa melarangnya. Karena pada kenyataannya kalian berdua bukan Kakak Adik seperti yang diketahui orang-orang."     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.