Bara

Gesture of Resistance 8



Gesture of Resistance 8

0Kimmy berlari di koridor rumah sakit dengan wajah ketakutan. Setelah mendapat kabar dari Bara, ia segera bergegas ke rumah sakit dengan ditemani oleh Maya.     
0

Ia langsung menghambur ke arah Pak Bima begitu ia melihat Pak Bima sedang terduduk lesu di kursi yang ada di selasar ruang operasi. "Gimana Mas Damar, Pa?" Kimmy menatap nanar Pak Bima yang terdiam.     

Tatapan mata Pak Bima seolah kosong. Perlu beberapa kali Kimmy mengguncang tubuh Pak Bima agar ia bisa menyadari kehadiran Kimmy.     

"Kim," gumam Pak Bima pelan. Ia mulai menatap Kimmy yang kini sedang bersimpuh di hadapannya dengan mata yang sembap oleh air mata. "Damar--" Pak Bima tidak sanggup berkata apa-apa lagi.     

Kimmy segera memeluk tubuh Pak Bima. Keduanya sama-sama terisak.     

Sementara itu, Maya menghampiri Bara yang duduk di seberang Pak Bima. Bara sedang menundukkan kepalanya. Maya mengelus kepala Bara sembari duduk di sebelahnya. "You okay?"     

Bara menoleh dan menatap Maya. Baru kali ini Maya melihat tatapan Bara selelah itu. Bara tersenyum simpul sambil mengangguk. Ia menghela napasnya sambil menatap ke arah pintu ruang operasi.     

"Seberapa buruk?" tanya Maya.     

"Sangat buruk," jawab Bara singkat.     

Pintu ruang operasi terbuka. Seorang Perawat berlari tergesa-gesa melewati pintu tersebut sambil mengubungi seseorang. Dari pembicaraannya, sepertinya Perawat tersebut menghubungi bagian yang menangani persediaan darah di rumah sakit tersebut.     

Bara kembali merunduk. Maya tidak bisa berbuat banyak, ia merangkul Bara sambil mengusap lengannya.     

----     

Sudah lebih dari empat jam berlalu sejak Damar masuk ke dalam ruang operasi. Pak Bima dan Kimmy duduk bersebelahan sambil menggenggam erat tangan satu sama lain. Tidak ada kata yang terucap diantara keduanya. Mata mereka tidak lepas dari pintu ruang operasi dan layar monitor yang menunjukkan keterangan operasi yang sedang berlangsung.     

Beberapa kali keduanya kompak menoleh begitu mendengar pintu ruang operasi terbuka. Namun ternyata yang keluar adalah seorang Perawat dengan langkah setengah berlari. Pintu ruang operasi kembali terbuka, berbarengan dengan informasi pada layar yang memberitahukan bahwa operasi sudah selesai.     

Pak Bima dan Kimmy menoleh pasrah ke arah pintu ruang operasi. Namun, begitu melihat Dokter yang mengoperasi Damar keluar melewati pintu tersebut, keduanya langsung berdiri dan menghampiri Dokter tersebut.     

Dokter itu membuka maskernya dan menghela napas panjang. Pak Bima memperhatikan ekspresi Dokter yang mengoperasi Damar ketika menatap ia dan Kimmy. Ia sudah bersiap dengan segala kemungkinan buruk yang terjadi.     

Dokter itu menghela napasnya sebelum memberikan penjelasan pada Pak Bima selaku wali dari pasien yang ia tangani. "Pelurunya sudah berhasil kami keluarkan. Pasien sempat mengalami pendarahan pada saat operasi, namun sudah berhasil kami tangani. Secara garis besar pasien sudah melewati masa kritisnya. Tapi, sepertinya butuh waktu sampai pasien sadar karena luka-lukanya cukup serius. Pasien akan dirawat secara intensif di ruang ICU untuk beberapa waktu sampai kondisinya stabil."     

Pak Bima dan Kimmy bisa sedikit bernapas lega begitu mendengar penjelasan Dokter yang menangani Damar.     

"Bagaimana dengan penyakitnya, Dok?" tanya Pak Bima tiba-tiba. Ia teringat bahwa kondisi Damar sebelumnya juga sedang tidak baik.     

"Penyakitnya mungkin akan memburuk dengan cepat, jika tidak segera di tangani. Jadi, kami akan berusaha yang terbaik agar kondisinya tidak memburuk dengan cepat sampai keadaan pasien memungkinkan untuk memulai perawatan kankernya," terang Dokter tersebut.     

Mata Kimmy membulat begitu Dokter yang menangani Damar mengatakan tentang kanker. "Kanker?"     

Pak Bima buru-buru menyela. "Terima kasih, Dok."     

Dokter yang menangani Damar menganggukkan kepalanya lalu pergi meninggalkan ruang tunggu operasi.     

Kimmy menatap Pak Bima tidak percaya. "Kanker? Mas Damar sakit kanker?"     

Pak Bima menghela napasnya. Belum selesai kekhawatirannya pada Damar, kini ia harus menjelaskan perihal kondisi Damar yang tidak Kimmy ketahui. Ia lantas membimbing Kimmy untuk kembali duduk.     

"Jawab Pa," desak Kimmy.     

Pak Bima menatap Kimmy. Ia mengangguk. "Damar mengidap kanker hati."     

Kimmy semakin menatap Pak Bima tidak percaya. "Kanker hati?"     

Pak Bima kembali menganggukkan. "Sudah beberapa bulan dia menyembunyikannya dari kita. Papa baru mengetahuinya ketika Damar sakit tempo hari."     

Kimmy menutupi wajahnya. Tidak percaya dengan fakta yang baru saja ia dengar. "Gimana bisa dia sakit, tapi ngga ngasih tahu aku." Kimmy mulai terisak kembali. "Kenapa ngga ada satu pun di antara kalian yang ngasih tahu aku?"     

"Karena rencana Damar, ia akan segera memulai pengobatannya setelah ia selesai menyelidiki perusahaan cangkang milik Hanggono," jawab Pak Bima.     

"Apa?" Kimmy melongo tidak percaya dengan apa yang baru saja Pak Bima katakan. "Dia nahan sakitnya cuma gara-gara dia lagi nyelidikin Hanggono?"     

"Dia mau menjalani pengobatannya dengan tenang," sahut Pak Bima. "Dan dia ngga mau bikin kamu khawatir."     

Kimmy terisak. "Kenapa dia bisa egois begitu?"     

Pak Bima memeluk Kimmy. "Dia terlalu mencintai kamu." Pak Bima memejamkan matanya setelah mengucapkan kata-katanya sendiri. Ia tidak percaya dirinya mampu mengatakan hal tersebut.     

Kenyataan bahwa Damar dan Kimmy sudah saling mencintai masih sulit ia terima. Namun, pada saat seperti ini ia sudah tidak mempedulikannya lagi. Yang ia pikirkan saat ini hanya keselamatan dan kesembuhan Damar agar bisa kembali berkumpul bersama keluarga mereka.     

----     

Rania ikut menyusul ke rumah sakit begitu mengetahui kabar Damar. Begitu tiba di rumah sakit, Kimmy langsung menangis dalam pelukan Rania.     

Saat sedang memeluk Kimmy, Rania menoleh dan menatap Pak Bima yang sedang duduk di depan ruang ICU. Ia kemudian melepaskan pelukannya pada Kimmy dan berjalan menghampiri Pak Bima. Rania lalu meraih tangan Pak Bima yang kemerahan akibat noda darah yang belum ia bersihkan dan menggenggamnya.     

Tanpa menoleh pada Rania, Pak Bima mulai berkata-kata. "Dulu tangan ini yang sudah melepaskan Grace. Sekarang, tangan ini yang sudah membuat Damar semakin menderita. Apa saya harus memotong kedua tangan saya agar tidak ada lagi yang terluka karena saya?" Ia lalu menoleh pelan pada Rania.     

Rania menggeoeng. "Jangan berkata seperti itu, tangan ini yang sudah menyelamatkan Damar. Kali ini pun begitu."     

Mendengar kata-kata Rania, Pak Bima serta merta menutupi wajahnya dengan satu tangannya dan mulai terisak. "Saya akan menghukum diri saya sendiri kalau sampai terjadi apa-apa sama Damar."     

Rania lantas mengalihkan perhatiannya pada ruang ICU yang ada di hadapannya. Melalui kaca-kaca besar yang terpasang di luar ruangan tersebut, Rania bisa melihat keadaan Damar dengan segala peralatan penunjang kehidupan yang terpasang di badannya.     

"Damar akan kembali pada kita semua," ujar Rania.     

"Perjuangan Damar masih panjang. Begitu kondisinya stabil, Dokter akan mulai menjalankan prosedur untuk mengobati kanker yang ia derita," terang Pak Bima.     

"Damar pasti bisa melalui semuanya. Dia tahu kita semuanya mencintainya dan dia pasti akan berkumpul bersama kita lagi," sahut Rania. "Kita semua ada disini untuk memberinya kekuatan."     

"Terima kasih, Rania."     

"Sudah seharusnya keluarga bersikap seperti ini."     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.