Bara

Hidden Truths 2



Hidden Truths 2

0Bara tiba di apartemennya dan langsung menjatuhkan tubuhnya di sofa yang ada di ruang keluarganya. Kepalanya terasa berputar-putar karena ia belum sempat beristirahat sejak semalam.     
0

"Ini mau ditaro dimana, Bar?" tanya Ben yang ikut masuk ke dalam apartemen Bara.     

Bara mengangkat sedikit kepalanya. "Taro sini aja dulu." Ia menunjuk pada meja yang ada di depannya.     

Ben segera meletakkan tas berisi berkas-berkas milik Pak Angga di meja yang ada di hadapan Bara.     

"Thanks, Ben," ujar Bara. Ia kembali menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa.     

"Ya udah, gue tinggal ke bawah dulu," ujar Ben.     

Bara mengangguk tanpa mengangkat kepalanya dari sandaran sofa.     

Ben tertawa pelan melihat Bara yang sepertinya sudah tidak sanggup menahan kantuknya. Ia pun kemudian melangkah keluar dari apartemen Bara.     

Bara langsung melorot di sofanya begitu Ben menutup pintu apartemennya. Ia memejamkan matanya tanpa mempedulikan dirinya yang belum membersihkan badannya. Ia hanya melepaskan sepatu yang ia kenakan, lalu memejamkan matanya sambil meringkuk di sofa.     

----     

Maya akhirnya sampai di apartemen Bara. Begitu masuk ke dalam apartemen Bara, ia tertawa pelan sambil menggelengkan kepalanya ketika melihat Bara yang sedang meringkuk di sofa.     

Mbok Inah datang menghampiri Maya. "Baru sampai langsung ketiduran di situ."     

"Oh," gumam Maya. "Udah sampai daritadi, Mbok?"     

"Kayanya udah setengah jam saya lihat Mas Bara ketiduran disitu."     

Maya Manggut-manggut. "Makasih, Mbok." Maya kemudian berjalan menghampiri Bara. Ia memandangi wajah Bara yang sedang tertidur pulas. Mata Maya kemudian tertuju pada buku-buku jari Bara yang sedikit kemerahan.     

Maya menghela napasnya, tidak ada yang bisa ia lakukan karena Bara nampaknya memang sudah sangat lelah dan tertidur di sofa. Maya akhirnya memutuskan untuk menghampiri Mbok Inah di dapur. Begitu tiba di dapur Ia melihat Mbok Inah yang sedang menyiangi sayur-sayuran.     

"Mau masak capcay, Mbok?" tanya Maya tiba-tiba sampai mengagetkan Mbok Inah.     

"Eh." Mbok Inah menoleh pada Maya yang kini sudah berdiri di sebelahnya. "Iya. Mbak Maya suka, kan?"     

Maya tersenyum pada Mbok Inah. "Saya, sih, makan ngga pilih-pilih, Mbok. Sini, saya bantuin motong-motong sayurannya." Maya lantas mengambil pisau dan mulai memotong-motong sayuran yang sudah disiangi oleh Mbok Inah.     

"Beruntungnya, Mas Bara, punya pacar kaya Mbak Maya," goda Mbok Inah.     

"Bisa aja si Mbok," sahut Maya.     

"Cantik, karirnya bagus, perhatian, dan yang paling penting," Mbok Inah melirik pada Maya. "Bisa beres-beres rumah."     

Maya tertawa mendengar perkataan Mbok Inah. "Semuanya juga bisa, Mbok, kalo cuma beres-beres rumah."     

Mbok Inah menggeleng. "Saya ini sudah beberapa kali pindah tempat kerja. Biasanya yang modelan kaya Mbak Maya, ngga ada yang mau beres-beres rumah."     

"Mbok juga baru sekali liat saya bersih-bersih."     

"Nah, yang sekali itu. Sekali lihat aja saya udah tahu, kalo Mbak Maya jago bersih-bersih."     

"Skill dasar anak rantau di negeri orang, Mbok," gumam Maya.     

"Gimana rasanya tinggal di luar negeri, Mbak?" tanya Mbok Inah.     

"Enak. semuanya rapi, tertib, bersih. Ngga ada tuh yang namanya jalan terus ngga sengaja nginjek sisa permen karet atau liat orang ngeludah sembarangan. Disana saya lebih banyak naik transportasi umum daripada mobil pribadi."     

"Kalau enak, kenapa Mbak Maya balik lagi kesini?"     

"Nah, itu. Disana kalo mau makan pecel lele mahal, Mbok," seloroh Maya yang diikuti dengan tawanya dan Mbok Inah.     

Mbok Inah menepuk lengan Maya. "Bisa aja Mbak Maya."     

"Lagi pada ngomongin apa, sih?"     

Maya dan Mbok Inah serta merta menoleh. Bara sedang berdiri bersandar di kulkas sambil menguap lebar.     

"Eh, udah bangun?" seru Maya.     

"Ketawa kalian sampai ke ruang keluarga," sahut Bara dengan matanya yang masih setengah terbuka.     

"Ups, sorry," timpal Maya sambil tersenyum. Ia kembali terkikik bersama Mbok Inah.     

Maya kemudian berjalan menghampiri Bara yang masih berdiri di depan kulkas. Ia lantas memegang wajah Bara dengan kedua tangannya. Selanjutnya Maya mengecup lembut bibir Bara. "Sorry, ya."     

Bara mengangguk dengan matanya yang masih setengah terpejam.     

"Masih mau lanjut tidur?" tanya Maya.     

Bara mengangguk manja. Ia kemudian menyandarkan kepalanya di bahu Maya.     

Maya menoleh pada Mbok Inah yang sedang menatap mereka berdua sambil tersenyum-senyum sendiri.     

"Pindah ke kamar. Diliatin, tuh, sama Mbok Inah," bisik Maya.     

Maya lantas memutar tubuh Bara dan mendorongnya agar ia keluar dari area dapur. Begitu mereka keluar dari area dapur, Bara kembali berbalik dan menyandarkan kepalanya di bahu Maya.     

Maya mengusap-usap kepala Bara. "Ganti baju dulu, sana. Abis itu lanjut tidur lagi."     

"Hmmm," gumam Bara masih menyandarkan kepalanya di bahu Maya.     

Maya menunggu beberapa saat, namun Bara tidak menunjukkan tanda-tanda akan bergerak dari bahunya.     

"Hei," panggil Maya pelan.     

Bara kembali menyahut dengan gumaman pelan.     

Maya menghela napasnya dan mendorong sedikit tubuh Bara. Kepala Bara terkulai dengan mata yang terpejam.     

Bara sedikit mengerjap-ngerjapkan matanya. Maya lantas menuntunnya untuk masuk ke dalam kamarnya. Begitu masuk ke dalam kamarnya, Bara langsung merebahkan tubuhnya di kasur.     

"Bar, ganti baju dulu," seru Maya.     

"Hmmm." Bara hanya bergumam sembari berguling di kasurnya.     

Maya duduk di pinggir tempat tidur Bara sambil membelai lembut kepala Bara. Sayup-sayup terdengar suara dengkur halus. Maya mengintip dan melihat Bara sudah kembali memejamkan matanya.     

----     

Axel sudah diperbolehkan untuk keluar dari rumah sakit. Hal pertama yang dilakukannya adalah mendatangi alamat yang diberikan Bara kepadanya. Ia ingin mencari tahu tentang kematian ibunya.     

Disinilah ia berada saat ini. Dengan menggunakan angkutan umum dan menaiki kereta listrik, ia akhirnya tiba di Bogor. Ia berdiri di depan sebuah rumah bercat biru muda yang terletak di sebuah gang yang tidak jauh dari pasar kota Bogor.     

Axel celingak-celinguk memperhatikan rumah tersebut.     

"Nyari siapa kasep?" tanya seorang ibu-ibu yang kebetulan lewat di belakang Axel.     

Axel menoleh sambil tersenyum salah tingkah pada ibu-ibu tersebut. "Saya lagi cari alamat ini." Axel menunjukkan kertas alamat yang ia pegang kepada ibu-ibu tersebut.     

Ibu-ibu itu membaca alamat yang tertera pada kertas yang ditunjukkan Axel. "Bener, kok, ini alamatnya. Diketok aja. Daripada celingak-celinguk begitu, nanti malah dikira mau maling sama orang."     

Axel mengangguk. "Oh gitu. Makasih, Bu."     

"Sok atuh diketok," ujar ibu-ibu tersebut masih sambil mengawasi Axel.     

Axel menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia pikir ibu-ibu itu akan segera pergi setelah membenarkan alamat yang dituju Axel. Nyatanya ibu-ibu itu tetap berdiri di sebelah Axel dan menungguinya sampai ia mengetuk pintu rumah tersebut.     

Axel yang awalnya masih ragu untuk mengetuk pintu rumah tersebut, akhirnya mau tidak mau mengetuknya karena ia diawasi oleh ibu-ibu yang kebetulan lewat dan menyapanya itu.     

Seorang wanita paruh baya dengan rambut ikal yang hampir memutih semuanya keluar dari dalam rumah tidak lama setelah Axel mengetuk pintu rumah tersebut.     

Tanpa diberi aba-aba, ibu-ibu yang mengawasi Axel segera pergi begitu melihat pemilik rumah keluar dari dalam rumahnya. Axel tersenyum kecut melihat ibu-ibu itu pergi begitu saja.     

Wanita paruh baya itu menghampiri Axel. "Cari siapa?"     

"Benar ini rumahnya Ibu Kasmira?" tanya Axel.     

Wanita paruh baya itu mengangguk. "Saya Kasmira."     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.