Bara

Pandora 1



Pandora 1

0Damar mengerjap-ngerjapkan matanya. Cahaya lampu yang langsung menyorot ke matanya terasa sangat menyilaukan. Napasnya sedikit terengah-engah karena ingatan terakhirnya adalah rasa sakit yang menjalar ke seluruh tubuhnya akibat peluru yang ditembakkan Pak Angga.     
0

"Damar."     

Mendengar suara yang tidak asing memanggil namanya, Damar segera menoleh pelan.     

"Thanks, God," seru Kimmy penuh haru yang melihat Damar akhirnya sadar. Bulir-bulir air mata tanpa sadar membasahi pipinya.     

Kimmy lantas melepaskan genggaman tangannya. "Tunggu sebentar, gue panggil Dokter dulu." Kimmy kemudian berjalan keluar dari ruangan Damar. Sambil menyeka air matanya, Kimmy menemui Suster yang sedang berjaga dan mengatakan Damar sudah sadar. Suster tersebut lantas menelpon Dokter, lalu segera berjalan ke ruang rawat Damar.     

Sementara itu Damar masih mencoba mengumpulkan kesadarannya. Ia kebingungan dengan alat-alat yang terpasang di tubuhnya. Belum selesai kebingungannya, seorang Dokter dan seorang Perawat menghampirinya.     

Dokter tersebut mengarahkan sebuah senter kecil ke matanya. Refleks matanya mengikuti ke arah cahaya senter kecil tersebut.     

Kimmy mengamati Damar yang sedang diperiksa dari luar ruang rawat sembari menelpon Pak Bima. "Pa, Mas Damar udah sadar," ucap Kimmy penuh haru.     

"Yang benar?" tanya Pak Bima tidak percaya.     

Kimmy tanpa sadar menganggukkan kepalanya. "Iya, Pa."     

"Ya sudah kalau begitu. Papa segera kesana." Pak Bima langsung mematikan sambungan telponnya dengan Kimmy.     

----     

Selesai mematikan sambungan telponnya dengan Kimmy, Pak Bima yang baru saja sampai di rumahnya, langsung kembali masuk ke dalam mobilnya.     

"Kita balik lagi ke rumah sakit," ujarnya pada Supir pribadinya.     

Ia tersenyum sambil menahan haru. Akhirnya ia bisa sedikit bernapas lega karena Damar akhirnya sadar.     

----     

"Yang benar, Kim?" seru Bara tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Bara bahkan sampai terduduk di tempat tidurnya.     

Maya yang tadinya sedang berbaring di sebelah Bara, mau tidak mau ikut terduduk karena penasaran dengan apa yang disampaikan Kimmy di telpon. Ia menatap Bara dengan penuh penasaran. "Ada apa?"     

Bara mengangkat tangannya untuk memberi isyarat pada Maya untuk menunggu sampai ia selesai berbicara dengan Kimmy.     

"Oke, kalau begitu. Besok pagi gue kesana," ujar Bara. Ia kemudian kembali meletakkan ponselnya di meja nakas yang ada di sebelah tempat tidurnya.     

"Ada apa?" Maya kembali bertanya.     

Bara tersenyum lebar. "Damar udah sadar."     

Mata Maya membulat. "Really?"     

Bara menganggukkan kepalanya. Ia kemudian meraih tubuh Maya dan memeluknya. "Thanks, God. Kita ngga perlu menunggu lama sampai Damar sadar."     

Maya mengusap-usap punggung Bara. "Kita bisa sedikit lebih tenang sekarang."     

Bara mengangguk dalam pelukan Maya. Ia kemudian menenggelamkan wajahnya di bahu Maya. "Thanks God," gumam Bara sekali lagi.     

Mendengar nada suara Bara yang sedikit bergetar, Maya mengeratkan pelukannya pada Bara sambil terus mengusap-usap punggungnya. "Damar ternyata punya semangat hidup yang kuat."     

----     

Pak Bima kembali tiba di rumah sakit. Begitu tiba di depan ruang ICU, Kimmy langsung menyambutnya.     

"Bagaimana keadaan Damar? Dia sudah bisa dipindahkan, kan?"     

Kimmy menggenggam erat tangan Pak Bima. Ia lalu menggeleng pelan. "Damar belum bisa dipindahkan dari ruang ICU."     

Pak Bima lantas menatap Kimmy. "Loh, kenapa? Bukannya dia sudah sadar?"     

Kimmy tiba-tiba saja merunduk dan sedikit terisak.     

Pak Bima semakin kebingungan. "Ada apa, Kim?"     

Kimmy mengangkat wajahnya. Pipinya sudah kembali basah dengan air mata. "Aku ngga kuat liat Mas Damar kesakitan. Kenapa aku harus melihat Mas Damar menderita seperti Mama."     

Kimmy goyah dan bersimpuh di hadapan Pak Bima dengan tangannya yang masih memegang tangan Pak Bima.     

Pak Bima lantas berlutut dan memeluk Kimmy erat. Kimmy menangis tersedu-sedu di dalam pelukan Pak Bima.     

----     

Tidak lama setelah Damar membuka matanya. Ia merasakan nyeri yang luar biasa di perutnya. Ia bahkan sampai mencengkeram sprai tempat tidurnya karena rasa nyeri tidak tertahankan itu.     

"Argh," gumam Damar.     

Dokter yang berada di sebelahnya segera kembali memeriksa keadaan Damar. Napas Damar kembali naik turun tidak beraturan.     

Sementara itu, Kimmy yang menyaksikan dari luar ruang rawat Damar hanya bisa mengatupkan kedua tangan di depan mulutnya. Baru saja ia mengabari Bara bahwa Damar sudah sadar, kini ia harus melihat Damar yang sedang menahan sakit. Semua itu terlihat dari monitor yang memantau detak jantung Damar. Monitor itu menunjukkan tanda-tanda peningkatan yang terjadi pada detak jantung Damar.     

Dokter yang kebetulan sedang memeriksa Damar segera turun tangan dengan memerintahkan Perawat yang ada bersamanya untuk mengambil suntikan obat.     

Damar memejamkan matanya untuk menahan sakit yang ia rasakan. Ia tidak bisa banyak bergerak untuk menemukan posisi yang bisa sedikit meredam rasa sakitnya karena semua peralatan yang terpasang di tubuhnya dan juga tubuhnya yang memang masih sedikit sulit untuk digerakkan.     

Perawat datang dengan membawakan obat-obatan yang dipinta oleh dokter yang menangani Damar. Dokter itu langsung menyuntikkan obat tersebut melalui selang yang yang terpasang di punggung tangan Damar.     

"Dok," gumam Damar pelan. "Argh." Napas Damar kembali terengah-engah.     

Dokter itu masih menyuntikkan obat untuk Damar. "Tahan sedikit lagi."     

Damar memejamkan matanya sambil mencoba mengatur napasnya. Begitu Dokter selesai menyuntikkan obat kedua untuk Damar, rasa sakit yang dirasakan Damar perlahan-lahan sedikit teratasi meski tidak hilang sepenuhnya. Ia mulai mengendurkan cengkramannya pada sprai tempat tidurnya.     

Kimmy mulai bisa bernapas lega setelah monitor yang ada di sebelah tempat tidur Damar mulai kembali menunjukkan tanda vital Damar berangsur normal kembali. Tidak lama kemudian Dokter yang menangani Damar keluar dari ruang ICU tempat Damar dirawat.     

"Sepetinya kita tidak bisa menunggu lagi untuk memulai prosedur pengobatan kanker yang dialami pasien. Kondisinya akan terus memburuk jika kita membiarkannya sedikit lagi," terus Dokter yang menangani Damar.     

"Lakukan yang terbaik untuk Damar, Dok. Dia masih sembuh dari kankernya, kan?"     

"Saya tidak bisa menjamin kesembuhannya. Yang bisa kita lakukan saat ini adalah mencegah sel kankernya menyebar ke organ lainnya."     

Kimmy kehabisan kata-kata mendengarkan ucapan yang dikatakan oleh Dokter yang menangani Damar.     

"Saya permisi dulu. Nanti, kalau Pak Bima datang tolong segera minta dia menemui saya. Saya harus meminta persetujuannya sebelum kembali membawa Damar ke dalam ruang operasi."     

Kimmy mengangguk lesu. Ia memaksakan senyumnya. "Terima kasih, Dok."     

Dokter itu balas tersenyum sembari mengangguk pelan. Ia kemudian meninggalkan Kimmy di depan ruang rawat Damar.     

----     

Pak Bima dihadapkan dengan lembar persetujuan untuk operasi pengangakatan sebagian jaringan hati milik Damar untuk mencegah kanker hati yang di derita Damar semakin meluas ke organ-organ lainnya.     

Sambil menghela napasnya, Pak Bima menandatangi lembar persetujuan tersebut sebagai wali Damar.     

"Lakukan yang terbaik, Dok."     

"Saya pasti akan melakukan terbaik. Mungkin saya akan memantau kondisi Damar selama satu sampai dua hari ke depan. Jika kondisinya memungkinkan, saya dan tim terbaik yang ada disini akan langsung mengoperasinya."     

Pak Bima menganggukkan kepalanya. "Lakukan saja, apa yang seharusnya dilakukan. Selama itu bisa menyembuhkan Damar."     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.