Bara

Pandora 2



Pandora 2

0Bara mampir di rumah sakit untuk menjenguk Damar sebelum ia pergi menemui Axel. Pada saat Bara tiba Damar sedang dalam proses pemindahan ke ruang rawat biasa. Ia bersama Maya, Kimmy dan Pak Bima menunggu di depan kamar yang akan digunakan Damar nantinya.     
0

"Hai, Dam," sapa Bara ketika Damar sudah menempati ruang rawatnya.     

Damar membalas sapaan Bara dengan tersenyum simpul. Ia masih tidak banyak bicara. Beberapa bagian tubuhnya masih terasa nyeri akibat perbuatan Pak Angga padanya.     

"Apa kata Dokter?" tanya Bara pada Kimmy yang sedang duduk di kursi yang ada di sebelah tempat tidur Damar.     

Kimmy sedikit menghela napasnya. "Dokter bakal mantau kondisinya sampai besok, kalau terus membaik, lusa Mas Damar bakal dioperasi lagi."     

Damar berdecak pelan sambil meringis menahan sakit. Kimmy melirik Damar. "Akhirnya ketahuan juga, kan."     

Damar balas melirik pada Kimmy. "Jangan marah."     

"Gimana ngga marah, gue ngga tau apa-apa soal penyakit lu. Mungkin kalo ngga ada kejadian kemarin, gue ngga bakal tahu kalo lu sakit."     

"Sorry," gumam Damar pelan.     

Kimmy mendesah pelan. "It's okay, yang penting lu masih bisa di operasi." Kimmy kemudian menatap Damar. "Semoga setelah ini, semuanya akan baik-baik aja."     

Damar tersenyum sambil mengangguk pelan. "Semoga."     

Bara dan Maya ikut tersenyum melihat keduanya.     

"Papa harap, ngga ada lagi yang kalian sembunyikan dari Papa setelah ini," sela Pak Bima.     

Mendengar perkataan Pak Bima, Maya tiba-tiba langsung melirik ke arah Kimmy.     

"Gue udah cerita semuanya ke Papa," ujar Kimmy.     

"Waw, bagus dong," seru Maya. "Kita jadi bisa double date beneran setelah ini."     

"Wah, bahkan kamu sepertinya sudah tahu lebih dulu dibanding Om ya, May," sindir Pak Bima sambil melirik Maya dan Kimmy.     

Maya langsung menutup mulutnya. "Ups."     

Pak Bima tertawa pelan sambil geleng-geleng kepalanya melihat tingkahnya. "Sudahlah, kalian berdua ini memang partner in crime."     

Kimmy dan Maya saling berangkulan sambil tersenyum pada Pak Bima.     

Bara dan Damar saling lirik melihat tingkah kekasih mereka. Keduanya kemudian sama-sama tertawa pelan.     

----     

Bang Jali menepuk bahu Axel yang sedang duduk sendiri ketika jam istirahat makan siang. "Woi, bengong aja."     

"Eh, Abang," sahut Axel.     

Bang Jali celingak-celinguk melihat sekeliling mereka, lalu menarik kersi kerja yang ada di sebelah meja kerja Axel.     

"Gimana lu sekarang?" tanya Bang Jali.     

"Ngga gimana-gimana," timpal Axel. Ia tersenyum simpul pada Bang Jali. "Sekarang mau ngga mau gue tinggal sama Bokap." Axel kemudian tertawa pelan. Ia mendekatkan wajahnya pada Bang Jali. "Aneh rasanya, kerja dianter Supir."     

Bang Jali sedikit menjauhkan kepalanya dari Axel. Ia menatap Axel dengan keheranan. "Lu dianter Supir sekarang?"     

Axel mengangguk. "Sebentar lagi jadwal operasi Bokap gue keluar. Gue juga harus lebih hati-hati sampai waktu operasi nanti."     

"Ooh, gara-gara itu," sela Bang Jali.     

"Bukan gara-gara itu aja." Axel terdiam sejenak. "Gue juga udah balikin kunci motor gue ke Bokap. Yah, sementara gue harus menikmati kemana-mana dianter sama Supir. Paling ngga sampai operasi nanti."     

Bang Jali kembali dibuat keheranan dengan ucapan Axel. "Maksud lu? Emang lu mau kemana setelah operasi?"     

"Gue udah bilang Bokap, kalo gue tinggal sama dia cuma sampai operasi. Setelah operasi, gue bakal pergi lagi dari situ."     

"Lu yakin?"     

Axel tertawa pelan sambil mengangguk pada Bang Jali. "Gue udah nyaman hidup begini. Ya, paling sesekali aja gue mampir ke tempat Bokap."     

Bang Jali menepuk-nepuk lengan Axel. "Tapi, lu masih kerja disini, kan?"     

Axel mengangkat bahunya. "Belum tahu."     

Bang Jali tersenyum pada Axel. "Kalo perlu apa-apa, lu telpon gue aja," ujar Bang Jali.     

"Beres," timpal Axel.     

Tiba-tiba ponsel Axel bergetar. Ia melihat nama yang mengirimkan pesan untuknya.     

"Gue jalan dulu, Bang."     

"Lu mau kemana?"     

"Mau ketemu Bara. Dia baru dateng, tuh, di ruangannya."     

"Ooh," gumam Bang Jali.     

"Yuk, Bang." Axel langsung bangkit dari tempat duduknya dan berjalan pergi meninggalkan Bang Jali.     

Bang Jali tersenyum melihat Axel yang berjalan keluar meninggalkan ruangannya. Ia melihat sedikit perubahan dalam sikap Axel. Ia nampaknya sudah tidak lagi menyimpan kemarahan seperti sebelumnya. Mendengar Axel bercerita sedikit tentang papanya, Bang Jali menduga Axel sudah berdamai dengan papanya.     

----     

Bara sedang melepaskan jas yang ia kenakan, ketika Axel masuk ke dalam ruangannya.     

"Eh, lu udah masuk?" tanya Bara begitu melihat Axel. "Gue agak kaget pas tadi pagi lu ngabarin mau ketemu di kantor aja."     

"Kayanya lebih enak ketemu disini aja," sahut Axel.     

Axel kemudian meletakkan amplop yang ia bawa di atas meja kerja Bara.     

Bara menatap sebentar amplop yang diletakkan Axel, lalu kembali mengalihkan perhatiannya pada Axel. "Apa nih?"     

"Ini yang diketahui Nyokap gue. Ini juga yang bikin Eyang gue sulit disentuh sampai sekarang. Tapi--"     

Bara mengernyitkan dahinya. "Tapi apa?"     

"Tapi gue ngga nyaranin lu buat buka isinya. Atau paling ngga, kalau lu mau liat isinya, lu bisa ambil salah satunya aja."     

"Emangnya kenapa?"     

"Menurut gue, isinya terlalu menjijikkan. Gue sampe muntah liat isinya."     

"Emangnya isinya tentang apa?" tanya Bara penasaran.     

Axel menghela napasnya. "Isinya skandal anak Pejabat yang melakukan pesta seks."     

Bara mengerjap-ngerjapkan matanya.     

Axel menatap Bara. "Bukan sekedar pesta seks. Itu lebih kaya perbudakan seks. Setelah gue lihat apa yang ada disitu, gue ngga habis pikir, ada manusia yang bejatnya bisa sampai seperti itu."     

"What?" tanya Bara tidak percaya.     

"Hati-hati, karena bukti-bukti itu, Nyokap gue harus sembunyi sambil membesarkan gue. Menurut gue, ini bagai pisau bermata dua," terang Axel.     

Bara memandang Axel dengan sedikit keheranan.     

"Dengan ini lu bisa menghancurkan dukungan Pejabat-pejabat ke Eyang gue, sekaligus membuat mereka akan rela melakukan apa saja agar skandal ini jangan sampai tersebar. Apalagi para pelaku sekarang mungkin sudah menikmati kehidupan mereka nyaman. Itu sisi satunya."     

"Terus sisi lainnya?"     

Axel tersenyum pelan pada Bara. "Nyokap gue dapetin bukti ini untuk menuntut orang-orang yang sudah memperlakukan teman-temannya secara tidak manusiawi. Gue denger salah satunya jadi cacat. Nyokap gue mau temannya mendapat keadilan."     

Mata Bata membulat mendengar apa yang baru saja dikatakan Axel. Jelas skandal yang dikatakan Axel akan menjadi sebuah skandal besar yang melibatkan keluarga Pejabat jika tersebar ke publik.     

"Gue ngga akan minta lu untuk melanjutkan apa yang dilakukan Nyokap gue. Toh, korban dari pesta itu sebagian mendapat kompensasi. Meskipun sebagian lainnya menghilang entah kemana. Gue cuma minta lu gunakan itu sebijak mungkin," ujar Axel. "Dan, lu harus ekstra hati-hati. Eyang gue masih terus mencari bukti-bukti yang ada di dalam situ," lanjut Axel memperingatkan Bara.     

"Kayanya gue ngga bisa nerima itu."     

Ucapan Bara serta merta membuat Axel terkejut. "Kenapa? Lu takut?"     

Bara menggeleng. "Bukan takut. Gue ngerasa beban moralnya terlalu besar. Gue yakin korban dari pesta itu, meskipun mereka sudah menerima kompensasi, mereka pasti hidup dengan trauma mendalam. Apa jadinya sama mereka kalau ini tiba-tiba terungkap setelah sekian lama?"     

Axel menatap Bara tajam. "Itu artinya keadilan yang mereka tunggu akhirnya datang." Mata Axel sedikit berkaca-kaca ketika mengatakanya pada Bara. Ia seakan melihat sosok mamanya yang sedang tersenyum ke arahnya.     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.