Bara

Break the Shell 10



Break the Shell 10

0Damar yang merasa penasaran dengan brankas rahasia milik Pak Angga memutuskan untuk memeriksanya sendiri ke ruangan Pak Angga. Sebelum masuk ke dalam ruangan Pak Angga, Damar menanyakan keberadaan Pak Angga pada sekretarisnya.     
0

"Bapak ada di dalam?" tanya Damar pada Sekretaris Pak Angga.     

Sekretarisnya menggeleng. "Bapak baru aja keluar. Pak Damar ada keperluan apa? Nanti saya sampaikan."     

Damar tersenyum. "Ngga, kok. Cuma nanya aja." Ia kemudian berpura-pura pergi meninggalkan meja Sekretaris tersebut. Begitu Sekretaris Pak Angga kembali berkutat dengan pekerjaanya, Damar mengendap-endap mendekati pintu ruang kerja Pak Angga.     

Damar berhasil masuk ke dalam ruang kerja Pak Angga tanpa diketahui oleh sekretarisnya. Ia segera menuju lukisan yang ada di belakang meja kerja Pak Angga. Damar menelan ludahnya saat melihat lukisan tersebut. Ia kemudian mengintip ke sisi lukisan dan menariknya perlahan.     

Matanya membelalak begitu melihat sebuah brankas dengan sensor sidik jari dan papan angka di balik lukisan tersebut. Ia kemudian menelpon Bara.     

"Apa yang dibilang Bang Jali bener. Gue sekarang lagi berdiri di depan brankas Eyang," ujar Damar begitu Bara menerima telponnya. "Lu kesini aja buat liat langsung, mumpung Eyang ngga ada. Tapi, jangan sampai ketahuan sekretarisnya."     

"Oke, gue kesana sekarang," sahut Bara. Ia kemudian memutuskan sambungan telponnya dengan Damar.     

----     

Bara memperhatikan sekretaris Pak Angga yang sedang sibuk merapikan riasannya. Ia sedikit merundukkan tubuhnya sambil mengendap-endap menuju ruang kerja Pak Angga. Begitu ia masuk ke dalam ruang kerja Pak Angga, Damar sudah berdiri di balik meja kerja Pak Angga dan menoleh padanya.     

Bara berjalan mendekati Damar. "Waah." Matanya tertuju pada brankas milik Pak Angga. "Apa semuanya disimpan disitu?"     

"Maybe," sahut Damar.     

Bara kemudian memotret brankas tersebut dan mengirimkannya pada Ben.     

----     

Ben membuka gambar yang dikirimkan Bara padanya. Ia menyeringai melihat foto brankas tersebut, lalu membalas pesan yang dikirimkan Bara. "Kapan lu mau buka brankas itu?"     

Beberapa saat kemudian, Bara mengirimkan pesan balasan. "Butuh berapa lama bukan brankas itu?"     

"Mungkin sekitar sepuluh menit. Gue harus cari referensi soal sistem keamanannya suapay bisa buka brankas itu," balas Ben.     

"Kalo gitu, lu gue kasih waktu sampai nanti malam buat pelajarin sistem keamanannya. Kita buka brankas itu malam ini."     

"No problem."     

Ben kembali meletakkan ponselnya dan mengecek tipe brankas yang dikirimkan oleh Bara. Ia harus mempelajari sistem keamanan brankas tersebut sebelum membukanya.     

"Ren," panggil Ben.     

"Yoo," sahut Reno dari meja kerjanya.     

"Lu punya nomornya si ahli kunci, ngga?" tanya Ben.     

"Bentar, gue kirim ke lu."     

Tidak sampai satu menit, muncul pesan di komputer Ben. Reno mengirimkan kontak seseorang yang disebut ahli kunci oleh Ben.     

Ben segera menghubunginya melalui aplikasi obrolan di di ponselnya. Ia mengirimkan gambar brankas yang dikirimkan Bara padanya kepada orang tersebut. Sambil menunggu pesan balasan dari orang tersebut, Ben kembali menekuri hasil penelusurannya tentang sistem keamanan brankas milik Pak Angga.     

----     

Bara melirik pada Damar. "Lu mau lembur malam ini?" Ia memainkan alisnya.     

"Of course, sayang buat dilewatkan. Gue penasaran sama isinya," sahut Damar sembari tertawa pelan.     

"Sipp kalo gitu. Kita ketemu lagi malam ini," ujar Bara.     

Damar menganggukkan kepalanya. Bara kemudian kembali berjalan keluar dari ruang kerja Pak Angga. Damar buru-buru merapikan lukisan yang menutupi brankas milik Pak Angga dan menyusul Bara keluar.     

----     

Raya dan Axel kembali ke meja kerja masing-masing dengan senyum yang terkembang. Seakan mereka berdua kini sudah menjadi partner kerja sungguhan.     

Axel kembali memeriksa akun bank miliknya untuk memeriksa uang yang dikirimkan oleh Pak Angga padanya. Ia kemudian menanyakan nomor rekening milik Raya melalui pesan obrolan yang ada di komputernya.     

Raya tersenyum sembari mengangkat salah satu ujung bibirnya begitu membaca pesan dari Axel. Dengan senang hati Raya mengirimkan nomor rekening miliknya.     

Tiba-tiba ponsel Axel bergetar. Ia melirik nama yang muncul di layar ponselnya. "Ah, shit." Nama tersebut bukanlah nama yang ia harapkan untuk muncul saat ini.     

Sambil mendengus kesal, Axel menerima telponnya dan berjalan menuju pantri yang sedikit lebih sepi dibandingkan ruang kerjanya.     

"Ya," jawab Axel singkat ketika menjawab telpon yang masuk ke ponselnya.     

Axel tidak mengetahui bahwa Bang Jali juga berada di dalam pantri. Awalnya Bang Jali ingin keluar, namun, begitu ia melihat Axel masuk ke dalam pantri, Bang Jali mengurungkan niatnya. Kini ia mendengarkan percakapan Axel dengan seseorang ditelpon. Jelas sekali Axel terlihat kesal dengan orang yang saat ini menelponnya.     

"Gue ngga akan balik lagi ke rumah itu, mau Papa sekarat, mati, gue ngga peduli. Gue udah puas sama hidup gue sekarang. Jangan pernah hubungin gue lagi." Axel kemudian mematikan telponnya dengan sangat kesal.     

Bang Jali agak sedikit terkejut mendengar ucapan Axel yang menurutnya sangat kasar.     

Axel menarik salah satu bangku yang ada di pantri dan duduk sambil menutupi wajahnya. "Mereka ngga bisa apa, biarin gue hidup tenang. Toh, gue ngga pernah ngandelin uang mereka buat hidup."     

"Mau kopi? teh?" tanya Bang Jali tiba-tiba.     

Axel menoleh pada Banh Jali. "Oh, kirain ngga ada orang." Ia tertawa kecut pada Bang Jali.     

"Emang gue baru masuk ke sini, kok," sahut Bang Jali. Padahal sedari tadi ia sudah berada di dalam pantri. Hanya saja Axel tidak terlalu menyadari kehadiran Bang jali. "Mau apa jadinya? Kopi atau teh?"     

"Es teh bisa, bang?"     

"Bisa diatur. Tunggu sebentar, ya." Bang Jali kemudian sibuk menghancurkan es batu yang sengaja ia buat untuk sewaktu-waktu membuat minuman dingin. Setelah itu ia menuangkan air hangat ke dalam gelas berisi teh dan gula. Begitu teh sudah bercampur dengan gula, Bang Jali kemudian menuangkan es batu yang sudah ia pecahkan ke dalamnya.     

"Es teh manis ala Bang Jali. Pas buat dinginin hati yang lagi panas," seru Bang Jali sembari menyodorkan es teh manis buatannya pada Axel.     

"Makasih, Bang." Axel menerima es teh manis buatan Bang Jali dan langsung meminumnya. "Ah, seger."     

"Enak, kan?"     

Axel menganggukkan kepalanya. "Rahasianya apa, Bang,?"     

"Ngga ada rahasianya, klo bikinnya tulus pasti apa aja jadi enak," sahut Bang Jali sembari tersenyum. "Nanti kalo warkop gue udah buka lagi, lu harus mampir, ya."     

"Gratis, kan?" timpal Axel.     

"Yaa, jangan gratis dong. Nanti gue bisa bangkrut lagi. Diskon aja, ya," ucap Bang Jali sambil memainkan alisnya.     

Axel tertawa pelan mendengar ucapan Bang Jali. "Oke, deh."     

Selagi Bang Jali berbicara dengan Axel, ia memperhatikan ponsel Axel yang selalu bergetar. Akan tetapi Axel hanya melirik sekilas nama yang menelponnya dan memilih untuk mengabaikannya. Ia membiarkan panggilan yang masuk ke ponselnya mati dengan sendirinya.     

"Itu telpon ku daritadi getar, ngga diangkat? Siapa tahu ada yang penting," ujar Bang Jali yang penasaran.     

Axel menggeleng. "Ngga penting."     

Nada bicara Axel mendadak terdengar ketus dan Bang Jali akhirnya memilih untuk tidak membahasnya lagi.     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.