Bara

Prelude 5



Prelude 5

0Bara dan Pak Agus menjadi yang pertama kali tiba di bandara. Pak Agus langsung mengantar Bara menuju hanggar tempat pesawat milik keluarga Pradana di parkirkan. Sesampainya di hanggar, keduanya langsung menemui Pilot yang akan menerbangkan pesawat mereka.     
0

"Selamat pagi, Pak," sapa Pilot tersebut pada Pak Agus. Ia segera menjabat tangan Pak Agus.     

Pak Agus tersenyum sambil menjabat tangan Pilot tersebut. "Pagi, Capt."     

Selesai menjabat tangan Pak Agus, Pilot tersebut segera beralih pada Bara. Ia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Bara. "Pagi, Mas Bara."     

Bara menyambut jabat tangan Pilot tersebut. "Pagi juga, Capt. Gimana penerbangan kali ini?"     

Pilot itu melepaskan jabat tangannya dengan Bara. "Prakiraan cuaca hari ini bagus, kecepatan angin, ketebalan awan, semuanya bagus," jawab Pilot tersebut.     

"Pesawat aman?" Tanya Pak Agus.     

"Kondisi pesawat juga bagus." Pilot itu menjawab pertanyaan Pak Agus.     

"Bagus kalau begitu," sahut Pak Agus.     

Pilot itu tersenyum pada keduanya. "Penerbangan kali ini pasti akan sangat menyenangkan."     

Mereka kemudian mengobrol ringan sambil menunggu yang lainnya tiba.     

Tidak beberapa lama kemudian, Dirga, Arga dan Reno datang.     

"Hai, Bar." Arga dan Reno kompak menyapa Bara.     

Bara mengangguk sembari tersenyum. "Semua udah siap?"     

Keduanya kompak mengacungkan jempolnya.     

"Lu udah bawa souvenir dari Ben?" tanya Arga pada Bara.     

"Aman," sahut Bara.     

"Gimana? Semuanya udah datang?" sela Pilot yang akan membawa mereka.     

Bara mengangguk. "Sudah."     

"Oke kalau begitu. Saya cek sekali lagi, setelah itu kita berangkat," terang Pilot tersebut.     

Ketiganya kompak mengangguk.     

----     

Adrian tiba di bandara Soekarno Hatta. Ale sudah menunggunya di depan terminal keberangkatan.     

"Pulang kampung juga lu akhirnya," sapa Ale sembari menjabat tangan Adrian.     

"Gue perlu refreshing," sahut Adrian santai.     

Ale manggut-manggut. "Oh iya. Kan, kemaren lu abis jadi bahan pergunjingan netijen, ya."     

Adrian tertawa menanggapi Ale yang menggodanya.     

"Tapi, yang kemarin sama lu lumayan juga." Ale kembali menggodanya.     

Adrian menonjok pelan perut Ale. "Bahas itu lagi, gue tonjok beneran lu." Ia kemudian tertawa.     

Ale ikut tertawa sembari memegangi perutnya.     

Adrian kemudian menperhatikan sekitar Ale. Ada banyak tas yang Ale bawa. "Lu bawa tas sebanyak ini?"     

"Bukan tas gue," sahut Ale.     

"Terus tas siapa?"     

"Tuh," Ale menunjuk pada rombongan pria yang sedang berjalan ke arah mereka.     

"Mereka kenalan lu?" tanya Adrian yang penasaran.     

"Bisa dibilang begitu," jawab Ale.     

Adrian memperhatikan orang-orang yang datang menghampiri Ale. Mereka sama sekali tidak membawa tas berpergian. Begitu mereka datang, Ale segera membagikan tas yang ia bawa kepada mereka. Entah apa isi dalam tas tersebut.     

Setelah membagikan tas yang ia bawa pada pria-pria bertubuh besar tersebut, Ale menyingkir sejenak dan berbicara dengan mereka semua. Adrian mencoba untuk mencuri dengar apa yang diucapkan Ale. Namun, suasana bandara yang cukup ramai, menyulitkannya untuk mencuri dengar. Ia akhirnya mengirim pesan untuk Bara.     

"Kayanya kalian bakal disambut habis-habisan di sana. Dari sini Ale udah bawa sekitar sepuluh preman bayaran."     

----     

Bara membaca pesan yang baru saja masuk ke dalam ponselnya selagi ia menunggu Pilot untuk melakukan pengecekan untuk terakhir kalinya. Ia kemudian menunjukkan pesan tersebut pada Dirga.     

"Kita udah kalah jumlah duluan, Pak," ujar Bara.     

"Jumlah bukan masalah," sahut Dirga.     

Bara mengangguk. "Jumlah bukan masalah kalau yang bersama saya mantan tentara terlatih." Bara melirik pada Dirga.     

"Teman-teman kamu, mereka juga terlatih, kan?" tanya Dirga pada Bara.     

Bara mengangkat bahunya. Ia nyengir pada Dirga.     

"Harusnya saya menyelidiki kalian semua dulu," ujar Dirga sembari geleng-gleng kepala.     

"Saya kenal Reno karena dia pernah masang penyadap di handphone saya. Arga pernah nolongin saya waktu saya diserang orang," terang Bara.     

Dirga menghela napas pasrah. "Ya, ngga terlalu buruk juga."     

Pilot yang akan membawa mereka keluar dari dalam pesawat, ia menandatangani sebuah berkas yang kemudian dia berikan kepada petugas bandara. Setelah itu, ia menghampiri para penumpangnya yang sudah menunggu. "Kita sudah bisa berangkat." Pilot itu kemudian kembali masuk ke dalam pesawat.     

Bara mengangguk pada yang lainnya. Arga dan Reno segera menyampirkan tas yang mereka bawa dan segera masuk ke dalam pesawat. Dirga menghampiri Pak Agus sebelum ia masuk ke dalam pesawat.     

"Saya titip mereka," ujar Pak Agus pada Dirga.     

"Serahkan pada saya," sahut Dirga.     

Bara ikut menghampiri Pak Agus. "Saya titip yang disini sama Bapak."     

Pak Agus menganggukkan kepalanya. "Selesaikan dengan cepat, setelah itu kembali."     

Bara menganggukkan kepalanya. "Saya akan selesaikan secepatnya."     

Bara dan Dirga mengangguk bersamaan pada Pak Agus. Mereka kemudian masuk ke dalam pesawat menyusul Arga dan Reno yang sudah masuk terlebih dahulu.     

Setelah Bara dan Dirga masuk ke dalam pesawat, kru kabin segera menutup pintu pesawat. Pak Agus melangkah pergi meninggalkan hanggar. Ia memandangi pesawat tersebut tinggal landas dari dalam bandara.     

----     

"Itu kayanya pesawat kita," seru Adrian ketika ia mendengar suara pengumuman di dalam ruang tunggu bandara.     

"Oh, iya," seru Ale. Ia kemudian segera berdiri dan menyampirkan tas ransel yang ia bawa.     

Adrian turut berdiri. Ia kemudian sedikit keheranan karena tidak melihat pria-pria yang tadi datang menemui Ale.     

"Temen-temen lu pada kemana?" tanyanya pada Ale seraya berjalan menuju lorong yang akan membawa mereka ke pesawat.     

"Mereka naik pesawat yang lain," jawab Ale.     

"Oh," gumam Adrian.     

Adrian melirik jam tangannya. Pasti Bara sudah terbang, tidak mungkin ia mengirim pesan untuk Bara sekarang.     

"Ngomong-ngomong, Le, gue penasaran, kenapa lu sering bolak-balik ke sana?"     

Pertanyaan Adrian serta merta membuat Ale menoleh. Ia tertawa pelan. "Karena gue beda dari kalian semua. Lu tahu, kan, dari awal kita datang kesini, nilai-nilai gue ngga pernah bagus. Tapi, Bapak liat gue punya bakat lain. Jadi dia ngga peduli sama nilai-nilai gue dan malah ngelatih gue untuk hal lain."     

Adrian membelalakkan matanya mendengar penjelasan Ale. Ale memang sedikit berbeda. Tubuhnya yang paling tinggi dan tegap diantara yang lain. Larinya lebih cepat meski postur tubuhnya besar dan ia sangat tangkas. Adrian pernah sekali melihat Ale dilatih langsung oleh Hanggono. Ia mampu menghindar dari serangan yang Hanggono arahkan padanya dengan cepat.     

Sekali waktu, ia dan anak-anak lain menonton Ale bertanding di atas ring bersama orang yang umurnya jauh lebih tua darinya dan lebih berpengalaman. Ketika melihat Ale bertanding, mata mereka sangat terpukau melihat kemampuan Ale yang akhirnya mengalahkan lawannya. Mengingat itu semua membuat Adrian berkesimpulan bahwa Hanggono akhirnya menggunakan bakat bertarung Ale untuk melindungi miliknya yang sangat berharga sekaligus paling berbahaya.     

Seorang Pramugari menyambut di depan pintu pesawat sembari tersenyum ramah. Adrian balas tersenyum seraya menyerahkan tiket yang ia pegang. Pramugari itu memerikas tiket milik Adrian lalu kembali menyerahkannya. Adrian kemudian berjalan menuju kursinya. Ale menyusul di belakangnya.     

Adrian memutuskan untuk mengirim pesan pada Bara sebelum ia mematikan ponselnya. "Gue harap lu punya orang-orang yang kuat. Ale bukan orang yang mudah dikalahkan."     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.