Bara

Vengeance 3



Vengeance 3

0Ale langsung terduduk di tempat duduknya begitu mendengar informasi yang baru saja disampaikan Bara. Ia menoleh ke kamar tempat dirinya mengurung anak buah Hanggono. Matanya memandang ke arah kamar tersebut dengan penuh amarah.Tangannya mengepal menahan amarah.     
0

"Gue rasa hukum ngga akan bisa bikin orang itu menebus apa yang sudah dia lakukan. Posisi kita lemah karena Abu sama sekali ngga punya anggota keluarga yang bisa membuat tuntutan untuk menyelidiki kematiannya lebih lanjut." Bara menghentikan ucapannya. Sementara itu, Ale sudah merasakan seluruh emosi hampir meledak.     

Bagaimana ia membayangkan Abu yang selama ini memperlakukannya seolah dia adalah anggota keluarganya sendiri. Bagaimana pria tua malang itu harus mengakhiri hidupnya karena melindungi Ale.     

Bara terdengar menghela napasnya. "Gue akan tutup mata. Buat dia membayar perbuatannya."     

"Thanks, Bar." Ale menutup telponnya setelah mendengar ucapan Bara.     

Ale bangkit berdiri dari kursinya dan kemudian berjalan ke arah kamar tempat dia menyekap anak buah Hanggono. Ale membuka pintu kamar tersebut dengan sangat kasar dan langsung menyeruak masuk ke dalamnya.     

Ia berjongkok di sebelah orang tersebut dan memandanginya dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan tatapan yang sangat dingin. Ale kemudian meludahi wajah pria tersebut.     

Pria itu menyeringai setelah Ale meludahi wajahnya. "Pasti kamu sudah tahu apa penyebab kematian Abu yang sebenarnya."     

Ale menjambak rambut pria tersebut hingga membuat wajahnya menengadah ke atas. Mata Ale berkilat penuh amarah menatapnya. "Gue pastiin kematian lu lebih menyakitkan daripada kematian Abu." Ale kemudian membenturkan kepala orang tersebut ke tembok yang ada di dekatnya.     

Pria itu mengaduh kesakitan. Kepalanya terasa pusing karena Ale membenturkannya ke tembok dengan cukup keras. Merasa tidak cukup telah membenturkan kepala pria tersebut ke tembok, Ale kemudian kembali membenturkan kepala pria itu tembok beberapa kali.     

Ale melakukannya tanpa berkedip sama sekali dan tanpa Ekspresi. Meski pria itu sudah berteriak meminta Ale untuk berhenti, Ale tetap membenturkan kepala pria tersebut ke tembok.     

Pria itu tergolek di lantai. Hidungnya mengeluarkan darah setelah Ale membenturkan kepalanya dengan sangat keras sebelum ia memutuskan untuk berhenti.     

Tidak cukup sampai disitu, Ale kemudian menendang wajah pria itu sebelum ia keluar dari kamar tersebut.     

Pria itu hanya bisa megap-megap menahan sakit yang ia rasakan. Kepalanya benar-benar terasa pening. Ditambah Ale menghantam wajahnya dengan sebuah tendangan. Ia melihat siluet tubuh Ale yang berdiri di bibir pintu kamar tempat dirinya disekap. Pandangannya semakin lama semakin mengabur hingga akhirnya ia tergeletak di lantai.     

Begitu Ale keluar dari kamar, ternyata Abang sudah berdiri di balik pintu. Ia menyaksikan apa yang baru saja Ale lakukan pada orang yang mereka sekap. Abang menperhatikan mata Ale yabg berkaca-kaca.     

Ale tidak menghiraukan kehadiran Abang dan melangkahkan kakinya keluar dari rumah tersebut. Ale berjalan menuju hutan yang ada di belakang rumah tersebut. Langkahnya terhenti begitu ia tiba di sebuah pohon besar, mendadak Ale melorot ke tanah.     

Ia bersimpuh di bawah pohon tersebut sambil memukul tanah yang ada dibawahnya.     

"Why? Why? Kenapa Abu ngga bisa dapat keadilan." Mata Ale mulai berkaca-kaca.     

Ale teringat dengan kenangannya bersama Abu. Dari semua anak yang dibawa Hanggono dari desa tersebut, mungkin hanya Ale yang beruntung bisa mengenal Abu dengan sangat baik. Seorang tetua desa yang ditinggalkan.     

----     

Seperti biasanya, Ale datang ke desanya setelah beberapa bulan ketika ladang milik Hanggono memasuki masa panen. Ale selalu bermalam dirumah Abu selama masa panen tersebut. Hanggono sendiri yang mengenalkan mereka berdua ketika Ale sudah diberi kepercayaan untuk mengelola ladang miliknya.     

Ale duduk di depan rumah Abu sembari memandangi langit malam yang terlihat lebih cerah jika dibandingkan dengan langit malam yang biasa ia lihat di Jakarta.     

"Abu ikut saya saja ke Jakarta," ujar Adrian ketika Abu ikut bergabung bersamanya.     

Abu ikut memandang ke atas langit. "Saya lebih suka langit disini daripada langit di Jakarta."     

"Memangnya Abu pernah lihat langit di Jakarta?" tanya Ale penasaran.     

"Tidak perlu melihatnya saya sudah tahu, kalau langit disini lebih cerah dibanding di Jakarta. Buktinya tiap kali kamu kesini, kamu selalu betah duduk berlama-lama sambil memandang ke atas langit."     

Ale tertawa pelan mendengar ucapan Abu Syik. Ia kemudian kembali mengarahkan pandangannya pada langit malam. Ale tiba-tiba memejamkan matanya dan meresapi keheningan yang ia rasakan. Keheningan tanpa suara bising kendaraan bermotor atau suara apapun yang membuatnya tidak nyaman.     

Disini, di rumah kayu milik Abu Syik, kebisingan yang ditimbulkan dari suara-suara hewan malam, justru membuat Ale dapat merasakan keheningan yang seolah diiringi musik yang dipandu oleh Konduktor ternama. Konduktor yang memainkan musiknya dengan sangat lembut dan menenangkan.     

Ale kemudian kembali membuka matanya dan menoleh pada Abu. "Saya heran, kenapa Abu tidak meninggalkan desa ini?"     

Abu Syik menoleh dan menatap mata Ale. "Kamu mau tahu alasan saya tetap disini, meskipun orang-orang yang ada disini perlahan meninggalkan desa ini satu per satu?"     

Ale mengangguk cepat.     

Abu Syik mengedarkan pandangannya pada rumah-rumah penduduk yang kini tidak berpenghuni. "Saya menjaga akar kalian. Jika suatu hari salah satu diantara kalian ada yang datang kemari, saya harap kehadiran saya disini bisa menjadi alasan kalian untuk datang kembali dan menemui pria tua kesepian ini." Abu tersenyum simpul.     

Ale kehabisan kata-kata mendengar ucapan Abu Syik.     

"Saya hampir bosan lihat kamu terus yang datang kemari," seloroh Abu Syik sembari menepuk lengan Ale.     

Ale menyeka matanya yang memerah akibat ucapan Abu Syik. "Mereka ngga akan ada yang datang kemari. Mungkin mereka sudah lupa darimana mereka berasal."     

Abu Syik tersenyum masam. "Kalau begitu saya hanya bisa pasrah. Di penghujung umur saya, cuma kamu yang sering saya lihat."     

Ale bisa melihat ada sedikit kekecewaan dalam tatapan mata Abu Syik, meski ia berusaha bercanda dengan Ale.     

"Nanti, saya akan berusaha ajak mereka kesini," ujar Ale akhirnya.     

Senyum Abu Syik terkembang namun kepalanya menggeleng. "Tidak perlu. Kalau memang mereka ingin mengetahui tanah kelahirannya mereka pasti akan datang tanpa perlu kamu ajak. Saya juga mengerti kalau mereka tidak mau kembali ke tempat ini."     

----     

Abang memperhatikan Ale yang sedang bersimpuh sembari menangis sejadi-jadinya di bawah sebuah pohon besar dari kejauhan. Tiba-tiba angin berhembus dan menggugurkan beberapa helai daun dari pohon tersebut.     

"Bahkan pohon tempat kamu bernaung ikut merasakan apa yang kamu rasakan," gumam Abang pelan.     

Abang langsung menghubungi Bara setelah ia melihat apa yang dilakukan Ale kepada anak buah Hanggono. Bara memberitahu Abang, kalau hasil otopsi Abu Syik sudah keluar dan hasilnya Abu Syik meninggal karena racun.     

Mendengar penjelasan Bara, membuat Abang bisa sedikit mengerti dengan apa yang dilakukan Ale. Selama tidak ada keluarga yang menuntut tentang kejanggalan kematian Abu Syik, selamanya Abu Syik akan dianggap meninggal karena serangan jantung. Dan ini artinya orang yang membunuh Abu Syik bisa bebas berkeliaran.     

Abang perlahan berjalan mendekati Ale. Ia meremas pelan bahu Ale. "Mari, kita kuburkan Abu Syik dengan layak. Kasihan Abu, kalau terus berada di tempat dingin itu."     

Ale menoleh dan melihat tangan Abang yang ada di bahunya dan menghela napas panjang. Meski masih diliputi kemarahan, Ale mengangguk pelan. Ia pun perlahan berdiri kembali.     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.