Bara

Vengeance 4



Vengeance 4

0Maya memperhatikan Bara yang langsung buru-buru menyantap makanannya. Setelah mendapat telpon dari seorang Pengacara, Bara berubah menjadi serius. Ia langsung menghubungi beberapa orang untuk menyampaikan informasi yang baru saja ia dapatkan.     
0

Dari pembicaraan yang Maya dengar, ia dapat menyimpulkan ada seseorang yang sudah menjadi korban pembunuhan.     

"Lu harus pergi lagi?" tanya Maya begitu Bara menyelesaikan makannya.     

Bara menggelengkan kepalanya. "Gue cuma mau turun satu lantai."     

"Kayanya ada sesuatu yang serius." Maya menatap Bara dengan tatapan penuh selidik.     

"Ceritanya panjang, tapi gue belum bisa cerita sekarang. Karena cerita itu masih berlanjut," ujar Bara.     

"Someone has been killed, right?" tanya Maya.     

Bara mengangguk. "Dia dibunuh karena dia tahu bisnis ilegal Hanggono yang ada di desanya."     

Maya terkesiap. "Pembunuhnya sudah tertangkap?"     

"Sudah, tapi kemungkinan kita ngga akan bisa mengukumnya. Karena orang yang dibunuh ngga punya keluarga yang bisa menuntut tentang pembunuhan ini."     

Mendengar penjelasan Bara, membuat Maya ikut mendengus kesal. "Kenapa selalu ada orang yang ngga bisa disentuh oleh hukum."     

"Padahal, tadinya gue udah berniat bahwa kasus bisnis ilegal Hanggono bisa gue jadikan senjata untuk menyeret Hanggono. Tapi, ternyata dia berani bertindak sejauh itu untuk melepaskan diri," ujar Bara sembari menghela napas panjang. Kini rencananya hanya tinggal rencana. "Gue harus putar otak lagi." Bara kemudian menyeruput teh hangat miliknya.     

Melihat Bara yang terlihat lesu, Maya lantas berjalan ke belakangnya dan memeluk Bara dari belakang. "Gue yakin, lu bisa menyelesaikan ini."     

Bara meraih tangan Maya dan menggenggamnya. Ia mengangguk. "Gue pasti bisa buat dia dihukum."     

"Nah, itu baru semangat." Maya mempererat pelukannya.     

Bara tersenyum sambil menepuk-nepuk lengan Maya yang ia kalungkan di lehernya dan menciumnya sekilas.     

----     

Adrian duduk terpaku di tempat tidurnya setelah mendapatkan telpon dari Ale tentang penyebab pasti kematian Abu Syik.     

"Hari ini, gue bakal ambil jenazah Abu, terus gue makamin di pemakaman desa." Suara Ale terdengat bergetar. "Lu masih inget sama janji lu kemarin, kan?"     

"Iya gue inget. Lu mau minta apa?"     

"Tetrodotoxin," jawab Ale.     

Adrian terdiam sejenak. "What's that?"     

"Itu racun yang dipakai untuk membunuh Abu."     

Mata Adrian membulat. "Lu mau apa sama racun itu?"     

Ale menghela napas panjang. "Lu cukup cari itu. Selebihnya itu urusan gue." Ale kemudian mematikan sambungan telponnya dan membuat Adrian terpaku sendiri di tempat tidurnya.     

"What's wrong?" tanya Hazel yang tiba-tiba muncul dikamarnya dan melihat Adrian sedang duduk terpaku.     

Adrian terperangah lalu mengalihkan perhatiannya pada Hazel. "Dimana gue bisa dapetin tetrodotoxin?"     

Hazel mengerutkan dahinya. "Ha?"     

Adrian mengangguk. "Tetrodotoxin. Itu racun yang membunuh Abu."     

Mata coklat Hazel membulat tidak percaya. "Terus lu mau apa sama racun itu?"     

"Ale mau membalas orang yang sudah ngeracunin Abu," jawab Adrian.     

"Oh my God." Adrian menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. "Kalo gue nyariin racun itu buat dia, berarti secara ngga langsung gue terlibat dalam pembunuhan."     

"It's fair enough," ujar Hazel.     

Adrian mendongakkan kepalanya dan menatap Hazel tidak percaya.     

Hazel mengangguk. "Gue yakin lebih baik Ale membalas untuk kematian Abu Syik, ketimbang dia menyerahkan orang itu ke kantor Polisi. Ngga ada yang jamin dia bakal aman di kantor Polisi. Buktinya aja, Abu diracun di kantor Polisi."     

Adrian mengangguk. Ia tidak bisa tidak setuju dengan apa yang baru saja diucapkan Hazel. Pembunuh itu bisa menyelinap masuk ke kantor Polisi pasti karena ada seseorang yang membiarkan masuk ke dalam. "Terus sekarang, dimana gue bisa nyari apa yang Ale minta?"     

Hazel terdiam dan berpikir sejenak. "Lu percaya sama gue?"     

Adrian mengenyitkan dahinya.     

Hazel tertawa pelan. "Just wait and see. Lu butuh itu buat kapan?"     

"As fast as you can," jawab Adrian.     

Hazel menengadahkan tangannya pada Adrian. "minjem kunci mobil lu."     

Adrian kembali terheran-heran dengan maksud Hazel. "Lu mau kemana?"     

"Gue mau ke tempat kenalan gue. Lu duduk manis aja disini."     

Adrian menatap Hazel ragu-ragu. "Lu punya kenalan yang punya barang kaya gitu?"     

"Lu ngga tahu sejauh apa pergaulan gue. Gue boleh pake mobil lu yang mana?"     

Adrian akhirnya menghela napasnya. "Pilih aja yang lu suka."     

Hazel tersenyum lebar dan segera berjalan ke tempat penyimpanan kunci mobil Adrian.     

"Lu punya SIM, kan?" seru Adrian sambil berjalan menghampiri Hazel yang sedang menimbang-nimbang mobil mana yang akan dia gunakan.     

Hazel mengangguk pelan. "Tapi udah mati. Belum gue perpanjang."     

Adrian melongo. Ia kemudian meraih kunci mobilnya yang sudah dipegang oleh Hazel.     

Hazel kembali merebut kunci mobil tersebut dari tangan Adrian. "Udah, tenang aja." Ia kemudian melenggang pergi meninggalkan Adrian tanpa mempedulikan Adrian yang meratap memandanginya pergi dengan SIM yang sudah tidak berlaku.     

----     

Hazel tersenyum lebar di depan sebuah mobil sport berwarna merah dengan lambang kuda jingkrak di depannya. Ia menekan kunci mobil tersebut dan segera membuka pintunya. Matanya berbinar-binar melihat mobil Ferrari yang ada di garasi Adrian. Ia kemudian menyalakan mesin mobil tersebut.     

Suara raungan mesin mobil tersebut membuat Hazel semakin bersemangat. "Ada untungnya juga punya sugar daddy." Ia tertawa sambil membelai kemudi mobil tersebut.     

Adrian mengetuk jendela mobilnya. Hazel segera menurunkan kaca jendelanya.     

"Please, hati-hati," pinta Adrian.     

Hazel mengerling jahil. "Don't worry, gue ngga bakal bikin mobil ini ringsek."     

Adrian terlihat ketakutan karena mobil kesayangannya kini ada di tangan Hazel. "I beg you. Jangan sampe kenapa-kenapa."     

"Ini lu sebenarnya khawatir sama gue atau sama mobil lu?" tanya Hazel.     

"Dua-duanya," jawab Adrian cepat.     

Hazel menepuk-nepuk pipi Adrian. "Don't worry, Dad. I'll keep your car save."     

Adrian memicingkan matanya. "Dad? Lu barusan manggil gue dad?"     

Hazel mengangguk. "Iya, lu kan, sugar daddy gue." Hazel tertawa lalu mengubah posisi persneling mobil Adrian ke dalam posisi drive. "Bye." Hazel menutup jendela mobil mobil Adrian dan membuatnya mau tidak mau menyingkir dari mobilnya sendiri.     

Hazel melambaikan tangannya dari dalam mobil, lalu menginjak gas. Mobil itu pun akhirnya keluar dari garasi Adrian.     

Adrian hanya bisa menatap pasrah mobilnya yang baru saja pergi meninggalkan garasi mobilnya.     

----     

Disinilah Ale kembali berada. Di depan lemari penyimpanan jenazah Abu Syik. Ia mengangguk kepada Petugas jaga, dan Petugas itu segera mengeluarkan jenazah Abu Syik dari dalam lemari pendingin.     

Petugas itu kemudian membawa jenazah Abu Syik ke ruangan lain untuk dimandikan dan dikafani. Ale menyaksikan semua proses itu dengan didampingi Abang.     

Begitu jenazah Abu Syik sudah selesai dikafani, sebuah ambulance sudah menunggu untuk membawa jenazah Abu Syik ke tempat peristirahatan terakhirnya. Dengan sedikit bantuan dari Pengacara yang disewa Bara untuk mendampingi Abu Syik, Ale bisa membawa pulang jenazah Abu Syik.     

Mobil ambulance hanya bisa mengantar jenazah sampai ke pinggir hutan. Selanjutnya mereka membawa sendiri jenazah Abu Syik ke desa tempatnya berada selama ini. Begitu Ale dan Abang tiba di desa tersebut, anak buah Abang sudah menyiapkan liang lahat di sebelah rumah kayu milik Abu Syik.     

Dengan bantuan Abang dan anak buahnya, Ale menguburkan Abu Syik di tanah yang selama ini ia jaga.     

"Selamat berisitirahat Abu." Ale menancapkan sebuah batang pohon kamboja di makam Abu Syik. Ia membelai gundukan tanah yang masih basah itu. Ia merunduk seraya memejamkan matanya.     

Abang dan anak buahnya berdiri memandang Ale. Tidak lama kemudian Abang menghampiri Ale dan menepuk punggungnya. "Sudah waktunya kita pulang. Sebentar lagi gelap."     

Ale menoleh pada Abang dan mengangguk. Ia pun bangkit berdiri dan berjalan meninggalkan pusara Abu Syik.     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.