Bara

Vengeance 6



Vengeance 6

0"Ga," panggil Bara.     
0

Arga menoleh. "Kenapa?"     

"Senjata yang waktu itu gue kasih, itu udah lu ambil dari Ale, kan?" tanya Bara sedikit khawatir.     

Mata Arga membesar. "Gue cek dulu." Arga buru-buru berlari ke kamarnya.     

----     

"Ren, Reno," Arga menepuk Reno yang masih tertidur.     

"Hmmm," Reno mengerang pelan.     

"Lu liat senpi punya gue, ngga?" tanya Arga setengah panik.     

"Ngga," jawab Reno masih dengan mata yang terpejam. Ia kemudian memalingkan tubuhnya dan menutupi kepalanya dengan bantal.     

Arga menghela napas pasrah. "Mati gue. Kayanya kemarin udah gue masukin ke dalam tasnya." Arga memandangi koper kecil berwarna silver yang menjadi tempat penyimpanan senjata api miliknya. Kini koper tersebut kosong. Hanya ada lapisan busa berwarna hitam dengan cekungan yang membentuk senjata api miliknya.     

Reno membuka matanya dan langsung memalingkan kembali tubuhnya lalu duduk menghadap Arga. Ia kemudian menatap koper kecil yang sedang dipegang Arga. "Bukannya udah lu simpen, setelah itu diambil sama Ale?"     

Arga mengangguk. "Tapi sekarang udah kosong lagi." Ia kemudian menarik napasnya. "Kayanya Ale diem-diem ngambil senjata punya gue."     

Arga dan Reno saling tatap.     

"Emangnya ada apa? Kok, lu tiba-tiba bongkar itu?" tanya Reno. "Lu pasti bongkar bukan karena iseng pengen ngesek isinya, kan?" Reno menatap Arga penuh selidik.     

Arga berdecak pelan. "Anak buahnya Hanggono berhasil kabur. Sekarang dia lagi dikejar sama Ale."     

Mata Reno membulat. "Lu takut Ale bakal make senjata api punya lu buat nembak orang itu?"     

Arga mengangguk.     

Reno menepuk bahu Arga yang terlihat sangat khawatir. "Tenang aja, senjata punya lu itu dibeli dari pasar gelap. Butuh waktu buat Polisi tahu siapa pemiliknya, karena banyak kepemilikan senjata sejenis tanpa surat izin dari Kepolisian."     

Arga tersenyum masam. "Thanks pemberitahuannya."     

Reno mengangguk. "You're welcome."     

Arga kemudian berdiri dan meletakkan kembali koper kecil miliknya di dalam lemari. Ia lalu berjalan keluar dari kamarnya. Reno ikut turun dari tempat tidurnya dan menyusul Arga.     

----     

"Bad news, Bar," ujar Arga pasrah.     

Bara segera menoleh dan melihat ekspresi masam Arga. "Senjata lu masih di Ale?"     

Arga menganggukkan kepalanya. "Ale udah ngambil senjata itu tanpa sepengetahuan gue."     

Bara menatap Arga tidak percaya, ia lalu menghela napas panjang. "Ya udah lah, mau gimana lagi."     

Arga pun hanya bisa menghela napas pasrah.     

Bara kemudian duduk di sebelah Ben sambil memperhatikan Ben yang sudah mengambil alih sambungan telponnya dengan Ale dan sedang membimbing Ale menuju tempat persembunyian anak buah Hanggono.     

"Ren, cepet lihat CCTV di sekitar pelabuhan. Lokasinya udah gue kirim ke komputer lu," seru Ben begitu ia melihat Reno sudah keluar dari kamarnya dan terlihat masih berdiri terpaku di depan kamar.     

Sambil mengucek-ngucek matanya, Reno segera berjalan menuju mejanya. Ia menguap lebar, ketika jemarinya mulai menari pada papan ketik yang ada di atas meja kerjanya. Ia memasukkan koordinat lokasi yang dikirimkan oleh Ben ke komputernya. Dan tidak perlu menunggu waktu lama sampai layar monitornya menampilkan suasana di sekitar pelabuhan yang akan digunakan sebagai pelarian anak buah Hanggono.     

"Oke, kamera pelabuhan udah gue awasin," seru Reno.     

Bara menggeser kursi yang sedang ia duduki, dan kini ia sudah berada di sebelah Reno. Arga turut berdiri di sebelah meja kerja Reno. Ia memberikan segelas kopi yang baru ia buat pada Reno.     

"Thanks, Ga," ujar Reno sambil menerima kopi pemberian Arga tanpa memalingkan wajahnya dari layar monitornya.     

Bara dan Arga ikut menperhatikan suasana di sekitar pelabuhan dari kamera pengawas. Keduanya harap-harap cemas mengetahui Ale masih memegang senjata api milik Arga.     

"I'm watching you, Ale," ujar Bara pelan. Ia melihat wajah Ale yang tertangkap kamera pengawas sedang berjalan di dekat loket pembelian tiket di pelabuhan.     

----     

Anak buah Hanggono duduk di dalam gudang penyimpanan peralatan yang ada di pelabuhan. Seorang kenalannya sudah memberikannya sebuah tiket penyebrangan dan ia akan berangkat sekitar satu jam dari sekarang.     

Ia menunggu dengan cemas di ruangan tersebut. Takut-takut Ale bisa dengan cepat menemukannya dan akan kembali menangkapnya. Membayangkan Ale akan melakukan hal serupa dengan apa yang dilakukannya pagi tadi, membuat pria itu sedikit merinding. Mungkin Ale akan benar-benar membunuhnya jika ia menemukannya kembali kali ini.     

----     

"Lu yakin dia ada di ruangan yang sekarang ada di depan gue?" tanya Ale begitu Ben mengatakan bahwa orang yang ia cari ada di depan ruangan tempatnya berdiri saat ini.     

"Emang kenapa sama ruangan yang ada di depan lu?" tanya Ben melalui sambungan telponnya.     

Ale memperhatikan pemindai kartu yang ada di depan ruangan tersebut. "Ruangan ini cuma bisa dimasukin sama karyawan pelabuhan. Harus di-tap pake kartu dulu." Ale lalu mengintip ke dalam ruangan tersebut melalui kaca kecil yang terpasang di pintunya.     

"Berarti dia punya orang dalam yang bisa masukin dia kesitu," sahut Ben.     

"Ya udah, gue tutup dulu telponnya. Yang penting gue udah tahu dia ngumpet dimana. Sekarang gue harus cari kartu Pegawai buat buka pintu ini." Ale mematikan sambungan telponnya.     

Ale dan dua orang anak buah Abang yang mengikutinya, berpura-pura sedang berjalan-jalan di sekitar gudang tersebut. Mereka memperhatikan karyawan yang bisa keluar masuk dari ruangan tersebut.     

Ale memperhatikan karyawan wanita yang baru saja keluar dari ruangan tersebut. Ia lalu berjalan ke arah wanita tersebut yang sedang membawa banyak barang.     

"Aduh," gerutu wanita yang tidak sengaja tertabrak tubuh kekar Ale.     

"Maaf, maaf." Ale segera berjongkok dan membantu wanita tersebut memunguit barang bawaannya yang terjatuh.     

Selagi Ale memunguti barang-barang miliknya, wanita yang tertabrak justru memperhatikan wajah Ale. Wajahnya memang terlihat sangat, namun senyum yang diberikan Ale ketika menyerahkan barang-barang miliknya membuat wanita itu terdiam beberapa saat.     

"Oh, ya, makasih." Wanita itu menerima kembali barang-barangnya.     

Ale tersenyum lalu meninggalkan wanita tersebut. Wanita itu masih berdiri terpaku memandangi punggung Ale yang bidang berjalan menjauh darinya.     

----     

Ale kembali menghampiri dua anak buah Abang yang menunggunya. Sambil tersenyum lebar, ja menunjukkan sebuah tanda pengenal karyawan yang baru saja ia dapatkan.     

Ia dan dua orang tersebut kembali menuju ruangan tempat anak buah Hanggono bersembunyi. Ale menempelkan tanda pengenal tersebut pada mesin pemindai. Begitu lampu mesin tersebut berubah hijau, pintu pun terbuka dan mereka masuk ke dalam ruangan tersebut.     

Ale kembali menghubungi Bara untuk sekali lagi memberitahunya dimana anak buah Hanggono bersembunyi.     

"Jalan lurus ke depan," ujar Ben.     

Ale mengikuti arahan dari Ben.     

"Disana banyak rak penyimpanan, kan?" tanya Ben.     

"Iya, rak disini besar-besar," sahut Ale.     

"Ya, I know. Gue juga lihat lu dari CCTV," timpal Ben.     

Ale menghentikan langkahnya sejenak. "Lu juga bisa lihat gue dari CCTV?" Ia pun mengedarkan pandangannya pada ruangan tersebut.     

"Lanjut jalan. Sebelum rak yang terakhir, lu belok kanan. Dia ada di sudut rak," seru Ben.     

Ale akhirnya kembali melanjutkan langkahnya dengan mengikuti apa yang diucapkan oleh Ben. Ia memberi tanda pada anak buah Abang agar mereka sedikit berpencar dan nanti mereka akan menyergap orang itu bersama-sama.     

----     

Pria yang berusaha membunuh Ale sedang duduk bersila dengan bersandar pada ujung rak ketika ia merasakan moncong sebuah senjata menempel dikepalanya. Ia tidak menyadari kehadiran Ale di balik punggungnya. Ia lantas tertawa pelan. "Cepat juga kamu menemukan saya."     

"Jangan coba-coba melawan atau saya akan menarik pelatuknya," ancam Ale.     

"Silahkan tembak saya." Dengan tenangnya pria itu berbalik. Kini moncong senjata itu tepat di keningnya.     

Ale menatapnya dengan tatapan nanar. Sementara pria itu terlihat tenang meskipun ia sedang ditodong senjata api. Ale sudah hendak menarik pelatuk senjata api yang sedang ia pegang ketika akhirnya ia memilih untuk menghantam kepala pria tersebut dengan senjata yang ia pegang.     

Pria itu jatuh terjerembab dengan kepala bersimbah darah.     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.