Bara

Vengeance 2



Vengeance 2

0Ale dan Abang tiba di pinggir sebuah desa. Mereka masuk ke sebuah rumah yang ada di desa tersebut. Anak buah Hanggono yang tadi mereka lumpuhkan sedikit melawan ketika dibawa masuk ke rumah tersebut meskipun kedua tangannya terikat. Ale juga menyumpal mulut orang tersebut dengan lakban agar tidak menimbulkan keributan.     
0

Anak buah Hanggono hanya bisa memandang Ale dengan tatapan penuh kebencian. Mulutnya terus bergumam tidak jelas karena tertutup lakban. Tetapi Ale menebak dia sedang bersumpah serapah padanya.     

Ale mendorongnya masuk ke dalam kamar kosong. Orang itu sedikit mengerang kesakitan begitu Ale melepaskan lakban yang menutup mulutnya dengan sangat kasar.     

"Lihat saja, Bapak tidak akan membiarkan ini," teriaknya dengan napas yang naik turun.     

Ale menggeleng. "Gue ngga peduli lagi sama Bapak. Sekarang bukan saatnya lu mikirin Bapak, ini saatnya lu khawatir sama nyawa lu."     

Orang itu menantang mata Ale. Ia kemudian meludahi wajah Ale. "Kalau berani, hadapi gue."     

Ale tersenyum padanya. "Gue tahu lu cuma mancing gue biar gue ngelepas ikatan lu. Tapi, tenang aja, gue ngga bakal terpengaruh." Ia menepuk-nepuk pipi pria tersebut lalu pergi meninggalkannya sendiri di dalam kamar tersebut dengan tangan yang masih terikat.     

"Oh iya, ngga usah repot-repot buat teriak. Ngga bakal ada yang denger teriakan lu," ujar Ale dari bibir pintu sembari tersenyum simpul.     

Ale kemudian keluar dari kamar tersebut dan menutup pintunya.     

-----     

Abang menghampiri Ale yang baru saja keluar dari kamar tempat mereka menyembunyikan orang suruhan Hanggono.     

"Kamu mau apakan dia?" tanya Abang.     

Ale mengangkat bahunya. "Saya mau tunggu hasil keterangan Dokter."     

"Terus selama kamu menunggu, dia mau diapakan?"     

"Biarin aja begitu," sahut Ale. Ia lalu berjalan ke arah kursi yang berada tidak jauh dari mereka.     

Ale menjatuhkan tubuhnya pada kursi yang sudah terlihat tua itu kemudian menyandarkan kepalanya. "Sampai sekarang saya sebenarnya belum tahu apa yang akan saya lakukan."     

Abang terlihat keheranan. "Lantas kenapa kamu sampai melakukan semua ini?"     

"Saya takut dia akan menemukan saya dan akhirnya benar-benar membunuh saya."     

"Saya pikir kamu melakukan itu karena mau balas dendam kematian Abu."     

"Itu juga. Membayangkan dia sudah membunuh Abu, membuat saya ingin membunuhnya juga. Keinginan untuk membunuhnya begitu kuat, sampai saya tidak tahu bagaimana cara melawan hasrat tersebut." Ale memandangi kedua tangannya. "Tangan ini sudah banyak melakukan hal kotor. Saya ingin sekali saja tangan ini saya gunakan untuk melakukan hal yang benar."     

"Kalau begitu, kamu tidak perlu membunuhnya," sahut Abang.     

"Lalu bagaimana saya membalasnya? Saya tidak mungkin menyerahkan dia ke kantor Polisi dan diproses hukum. Sebelum itu terjadi, Bapak pasti mengirim orangnya yang lain untuk menyingkirkannya, sama seperti apa yang dia lakukan pada saya."     

"Kita pikirkan itu nanti. Lebih baik kita istirahat sekarang," ujar Abang sembari menepuk bahu Ale. Ia kemudian menyerahkan sebuah bantal pada Ale. "Pilih saja tempat yang nyaman untuk kamu tidur. Saya ke kamar dulu."     

Ale tersenyum pada Abang. "Terima kasih banyak, Bang."     

Abang balas tersenyum lalu berjalan menuju kamarnya. Begitu ia sampai di bibir pintunya, Abang kembali menoleh pada Ale. "Le."     

Ale kembali menoleh.     

"Saya yakin kamu berbeda dengan Hanggono dan anak buahnya." Abang lalu melangkah masuk ke dalam kamarnya.     

Ale memandangi pintu kamar Abang menutup sambil tertawa pelan. Ia kemudian meletakkan bantal pemberian Abang di ujung kursi panjang yang sedang ia duduki, lalu ia merebahkan tubuhnya. Sambil tersenyum, Ale memejamkan matanya.     

-----     

Bara mengerang ditempat tidurnya sambil meregangkan tubuhnya. Ia merasa seluruh tubuhnya berubah menjadi sepotong kayu karena tubuhnya terasa sangat kaku. Ia kemudian meraba-raba ke sebelahnya. Matanya setengah membuka begitu menyadari tidak ada orang di sebelahnya.     

"May," panggil Bara.     

Ia menoleh ke kanan kirinya. Tidak ada Maya di sekitarnya. Bara kemudian meraih ponselnya yang ada di atas meja nakas di sebelah tempat tidurnya. Ia melihat jam pada ponselnya. Bara mendengus pelan. Sudah hampir pukul sepuluh. Ia kemudian kembali meletakkan ponselnya.     

Bara berusaha duduk di tempat tidurnya sambil mengucek-ngucek. Ia mengeluarkan kakinya dari dalam selimut dan hendak berdiri dari tempat tidurnya, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka.     

"Eh, udah bangun," seru Maya sambil berjalan menghampiri Bara yang masih duduk di tempat tidurnya.     

Bara mengerjap-ngerjapkan matanya dan menatao Maya. "Kenapa ngga bangunin gue?"     

Maya tertawa pelan. "Lu tidur kaya bayi, nyenyak banget. Gue ngga tega buat bangunin."     

"Masa gue begitu tidurnya begitu?" tanya Bara tidak percaya.     

Maya mengangguk pelan.     

Bara cengar-cengir pada Maya sambil mengelus-elus perutnya. "Laper."     

Maya mencubit pipi Bara. "Mau makan apa?"     

"Apa aja. Mbok Inah udah masakin apa?"     

"Bukan Mbok Inah yang masak," ujar Maya.     

Bara menatap Maya tidak percaya.     

"Lu ngga percaya gue bisa masak juga?"     

Bara tertawa pelan. "Percaya, kok."     

"Ya udah, tunggu sini sebentar. Biar gue bawain kesini makanannya." Maya kembali berjalan keluar dari kamar Bara.     

Sementara Maya keluar untuk mengambilkan makanan, Bara turun dari tempat tidurnya dan melangkah ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya.     

Setelah membasuh wajahnya, Bara kembali ke kamarnya. Maya sudah berada di kamarnya sambil membawa baki berisi makanan dan teh hangat. Ia meletakkan makanan yang ia bawa di meja kerja Bara.     

Bara berjalan mendekati meja kerjanya. Ia menyeruput teh hangat yang dibawakan Maya sebelum menyantap makanannya.     

"Apa nih, May?" tanya Bara sembari memperhatikan makanan yang sudah dibuatkan oleh Maya.     

"Omurice," jawab Maya.     

Bara kemudian membelah telur yang terlihat sangat gemuk itu. Begitu dibelah, ternyata bagian dalam telur tersebut berisi nasi goreng.     

"Ooh, nasi goreng." Bara manggut-manggut lalu menyuapkan sesendok penuh nasi goreng tersebut ke mulutnya.     

"Nasi goreng ala jepang," lanjut Maya sambil tertawa. Ia sudah menduga Bara akan memberikan respon seperti itu. Meskipun ia mengatakan itu adalah omurice, namun Bara akan mengambil kesimpulan cepat bahwa itu adalah nasi goreng.     

Maya memperhatikan Bara yang makan dengan sangat lahap. "Makanan bikinan gue yang enak, atau emang lu yang lagi laper? Lahap banget makannya."     

"Dua-duanya," sahut Bara dengan mulut penuh nasi goreng.     

Maya tersenyum dan kembali memperhatikan Bara yang sedang makan.     

----     

Selesai makan, Bara mendapat telpon dari Pengacar yang menangani kasus Abu Syik. Mata Bara membulat begitu mendengarkan penjelasan Pengacara tersebut.     

"Sepertinya kematian Abu Syik bukan disebabkan oleh serangan jantung, melainkan diracun. Ada yang sengaja meracuni Abu Syik," terang Pengacara tersebut.     

Bara menghela napas tidak percaya. "Racun apa yang digunakan?"     

"Menurut hasil laboratoriumnya, terdapat tetrodotoksin dalam jumlah yang cukup banyak dalam tubuh Abu Syik. Itu racun yang biasa ditemukan dalam ikan fugu, dan memang gejalanya lanjutannya seperti serangan jantung."     

"Bajingan," gumam Bara pelan. "Lalu apa tanggapan Kepolisian atas hasil otopsi itu?"     

"Mereka sepertinya tidak mau ambil pusing. Ditambah lagi Abu Syik tidak mempunyai sanak saudara. Sepertinya mereka akan tetap menganggap ini sebagai serangan jantung."     

Bara mengepalkan tangannya dan tanpa sadar menggebrak meja kerjanya. Maya yang sedari tadi ikut mendengarkan terkejut dengan sikap Bara yang berubah tiba-tiba.     

"Oke, Pak. Terima kasih informasinya," ujar Bara. Ia lalu mematikan sambungan telponnya.     

Ia kemudian menelpon seseorang.     

"Ale," seru Bara ketika Ale mengangkat telponnya.     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.