Bara

Kiss The Dream 2



Kiss The Dream 2

0Bara merasakan udara dingin yang berhembus menyentuh wajahnya. Ia mencoba untuk membuka matanya. Cahaya lampu yang menyilaukan menyambutnya. Bara mengerjap-ngerjapkan matanya menghadapi cahaya yang menyilaukan matanya. Awalnya ia mengira dirinya masih berada di ruang putih di dalam mimpinya. Namun begitu ia sayup-sayup mendengar bunyi beep tidak jauh dari ranjangnya. Bara yakin dirinya kini sudah kembali dari mimpinya.     
0

Bara memperhatikan sekelilingnya. Ia tersenyum pelan. Teringat ketika dirinya pertama kali terbangun setelah diserang oleh para penagih hutang. Ia merasa seperti mengalami Deja vu. Bara kemudian merasakan sesuatu di dekat lengannya dan menoleh. Bara tersenyum pelan melihat seseorang yang duduk di samping ranjangnya dan kepalanya tertidur di dekat lengannya. Bara membelai kepala tersebut.     

Maya merasakan sesuatu yang membelai kepalanya. Ia membuka matanya dan segera mengangkat kepalanya. Ia tidak mampu menyembunyikan kebahagiaanya begitu melihat Bara sedang tersenyum ke arahnya.     

"Hi," ujar Bara pelan.     

Maya serta merta bangkit dari duduknya dan memeluk Bara.     

"Lu ngga tahu betapa takutnya gue," bisik Maya.     

"I'm sorry, gue udah bikin lu khawatir." Bara mengelus lembut punggung Maya.     

Maya menghela napas lega dan mempererat pelukannya. Beberapa saat mereka saling berpelukan. Maya kemudian melepaskan pelukannya. Ia menatap Bara.     

"Jangan begitu lagi. Lu bikin kita semua takut, terutama Tante Rania," ucap Maya.     

"Nyokap gue dimana?"     

"Dia lagi ke bawah sama Pak Agus. Jangan menghindar lagi, dia ngga nyangka reaksi lu sampai seperti itu. Diantara kita semua, dia yang paling terpukul."     

Bara mengangguk. "Gue ngga mungkin bisa menghindar sekarang. Ngomong-ngomong berapa lama gue di sini?"     

Maya berpikir sembari menghitung dengan jarinya. Melihat Maya yang menghitung dengan jarinya Bara khawatir jika dirinya tidak sadarkan diri terlalu lama. Maya lalu mengerling jahil pada Bara. "Cuma sebentar, kok. Ini hari pertama lu dipindahin ke sini. Dua hari kemarin lu ada di ICU."     

"Ya, setidaknya rekor lama gue belum pecah," ujar Bara seraya mencoba untuk tertawa. Ia kemudian meringis pelan karena kepalanya masih terasa sedikit pening.     

Maya tersenyum-senyum melihat Bara. Kini ia bisa menghela napas lega karena sepertinya keadaan Bara sudah membaik.     

"Tante Rania pasti senang banget liat lu udah sadar. Selama lu ada di ICU dia terus nungguin lu di luar," terang Maya.     

"Kayanya lu udah mulai akrab juga sama Nyokap gue?"     

Maya tersenyum seraya mengangkat bahunya. Beberapa hari ini Maya sudah mengobrol banyak dengan Rania tentang hubungan yang saat ini sedang ia jalani bersama Bara.     

----     

Rania yang baru tiba di rumah sakit bersama Raya, tidak mengetahui bahwa Bara sudah dibawa dari ruang UGD menuju ruang ICU. Ia kemudian mencari-cari Pak Agus di sekitar ruang UGD. Pada saat sedang mencari, Raya tidak sengaja mengenali Arga yang sedang melintas di lobi rumah sakit.     

"Arga?" seru Raya ketika melihat Arga yang sedang melangkah cepat di lobi.     

Arga menoleh dan mencari sumber suara yang memanggilnya. "Loh, Mbak Raya?"     

Raya tampak sedikit takjub dengan penampilan Arga yang sudah sangat berubah dengan Arga yang dulu ia kenal. "Kok, lu ada di sini?"     

Arga menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. "Ehm, gue sekarang kerja sama Bara," jawab Arga.     

Rania yang ada di sebelah Raya, langsung beralih pada Arga. "Dimana Bara?"     

Arga menatap wanita paruh baya yang ada di sebelah Raya dengan keheranan. Raya yang menyadari keheranan Arga segera menyahut. "Ini Ibu Rania, mamanya Bara."     

Arga membelalak begitu mendengar ucapan Raya.     

Rania kembali mendesak Arga. "Dimana Bara?"     

Sambil mengerjap tidak percaya Arga menjawab pertanyaan Rania. "Bara baru aja dibawa ke ICU."     

"Pak Agus. Pak Agus dimana?" Setengah panik Rania kembali bertanya.     

Arga menunjuk telunjuknya ke atas. "Pak Agus ada di ruang Direktur, dia lagi bicara sama Dokternya Bara."     

"Kamu bisa antar saya kesana?" pinta Rania.     

Arga segera mengangguk.     

"Kalau begitu antar saya sekarang," ujar Rania.     

Arga kemudian berjalan mendahului Rania menuju ruang Direktur rumah sakit sementara Rania dan Raya mengekor di belakang Arga.     

Begitu tiba di depan pintu ruang Direktur rumah sakit, Arga segera mengetuk pintu tersebut lalu masuk ke dalamnya. Rania langsung menghambur masuk ke dalam ruangan tersebut dan segera menghampiri Pak Agus yang sedang berbicara dengan Dokter yang menangani Bara.     

"Pak, bagaimana keadaan Bara?"     

Dokter yang sedang menjelaskan pada Pak Agus seketika menghentikan ucapannya dan menatap heran pada Rania yang kini bergabung bersama mereka. Dokter itu sudah bertahun-tahun melayani keluarga Pak Haryo sebagai Dokter pribadi keluarga mereka. Ia nampak tidak asing dengan wanita yang kini ada di hadapannya.     

Dokter itu melirik pada Pak Agus.     

Pak Agus yang menyadari tatapan penuh tanya dari Dokter tersebut segera mengangguk. "Benar, dia Rania. Rania yang kita semua kira sudah meninggal dalam kecelakaan."     

Tanpa sadar Dokter itu membuka mulutnya. Ia kembali menoleh pada Rania. "How?"     

"It was a long story," sahut Rania. "Sekarang bagaimana keadaan Bara, Dok?"     

"Kamu bisa beritahu apa yang baru saja kamu sampaikan pada saya," ujar Pak Agus.     

Dokter itu pun kembali mengulang penjelasannya pada Rania.     

Sementara Pak Agus, Rania dan Dokter yang menangani Bara berbicara bertiga, Raya diam-diam duduk di sofa kosong yang ada di sebelah Maya. Sedari tadi, Raya memperhatikan Maya hanya terdiam sementara tiga orang di depannya sedang berbicara serius.     

Raya memegang tangan Maya yang terasa dingin. Maya seketika menoleh melihat ada tangan seorang wanita yang menggenggam tangannya. Begitu melihat Raya yang memegang tangannya, Maya kembali tertunduk. Jelas sekali Maya seperti orang yang baru saja mengalami hal yang menakutkan. Raya menyadari itu dari tatapan yang diberikan Maya.     

Rania tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya begitu mendengar Bara sempat mengalami henti jantung beberapa saat. Matanya berkaca-kaca mendengar apa yang dikatakan Dokter tersebut. Ia tidak menyangka bahwa kemunculannya membuat Bara begitu terguncang.     

"Ini salah saya, harusnya saya tetap bersembunyi," gumam Rania sambil terisak.     

Pak Agus mencoba untuk menenangkan Rania. "Ini bukan salah siapa-siapa, ini juga bukan pertama kalinya Bara seperti itu semenjak dia kembali."     

"Maksud Bapak?" tanya Rania.     

Dokter yang ada di hadapan kemudian menjawab. "Saya beberapa kali dipanggil karena Mas Bara tiba-tiba tidak sadarkan diri. Tapi, bisa dibilang kejadian hari ini yang paling mengancam nyawanya."     

Rania terkejut mendengar pernyataan Dokter tersebut. "Apa ada lagi yang harus saya dengar terkait dengan kondisi Bara saat ini?"     

Pak Agus dan Dokter yang menangani Bara saling lirik.     

"Apa Pak Ketut bercerita bagaimana kondisi Bara ketika kami menemukannya?" Pak Agus bertanya pada Rania.     

Rania kembali terkejut karena kali ini Pak Agus tiba-tiba membawa nama Pak Ketut. Rania menggeleng pelan. "Bapak cuma mengatakan kalau Bara sudah ditemukan."     

Pak Agus menghela napasnya. Dia kemudian menoleh pada Dokter Seno. "Kamu saja yang jelaskan."     

Dokter itu menghela napas sebelum memulai penjelasannya. "Kondisi Mas Bara waktu itu sangat mengkhawatirkan, dia kehilangan banyak darah akibat dua buah luka tusuk di bagian perut. Saat itu kami memutuskan untuk membuatnya masuk ke dalam kondisi koma untuk beberapa saat, karena khawatir akan ada kerusakan pada otaknya. Kerusakan otaknya bisa dicegah, namun, akibat dari kejadian itu kinerja jantungnya sedikit terganggu akibat aliran darah yang hilang secara drastis. Ditambah dia memiliki trauma akibat kecelakaan di masa lalu yang membuatnya sering terkena serangan panik. Dua kombinasi yang cukup mematikan jika dia tiba-tiba terguncang."     

Rania menggeleng tidak percaya mendengar penjelasan Dokter tersebut.     

"Dan, malam ini kelihatannya dia cukup terguncang," lanjut Dokter tersebut.     

Rania tertunduk dan menahan air matanya. Ia kembali menyesali keputusannya untuk muncuk secara tiba-tiba dalam acara tahunan MG Group. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa keputusannya ini membuat Bara dalam bahaya.     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.