Bara

Guilty Feeling 3



Guilty Feeling 3

0Pak Bima memutuskan untuk pergi meninggalkan kediaman Pak Haryo dan pergi menemui Damar. Ia harus membicarakan rencana yang tadi ia bicarakan bersama Pak Haryo. Sembari mengendarai mobilnya Pak Bima menghubungi Damar.     
0

Damar segera mengangkat telponnya begitu melihat nama Pak Damar yang menghubunginya. "Ada apa, Pa?"     

"Kamu lagi dimana?"     

"Aku masih di rumah sakit, jenguk Bara. Papa mau ke sini?"     

Pak Bima diam sejenak. "Apa tantemu juga ada di sana?"     

"Tante Rania masih di sini."     

Pak Bima menghela napas sesaat. "Lain kali saja Papa kesana. Papa mau mampir ke apartemen kamu."     

"Ngga akan ada lain kali, Pa. Besok Bara sudah diizinkan untuk pulang," sahut Damar sembari tertawa pelan.     

"Ya, gampang lah itu. Yang jelas sekarang ada yang mau Papa bicarakan sama kamu."     

"Oh, ya udah. Aku tunggu Papa di apartemen."     

"Salam untuk semua yang ada di sana," ujar Pak Bima sebelum menutup sambungan telponnya.     

----     

"Kenapa sama Papa?" tanya Kimmy begitu Damar mematikan sambungan telponnya.     

"Papa mau mampir," jawab Damar.     

"Tadi Bima yang telpon kamu?" tanya Rania.     

Damar mengangguk.     

"Bima mau kesini?"     

"Ngga, Papa mau mampir ke apartemen saya. Papa titip salam."     

Rania menghela napasnya.     

"Kalau gitu saya pamit dulu, Tan. Kapan-kapan kita kumpul lagi."     

Rania menganggukkan kepalanya. "Iya."     

"Lu masih mau di sini atau ikut gue?" tanya Damar pada Kimmy.     

"Gue di sini aja dulu," sahut Kimmy.     

"Ya udah kalo gitu. Gue duluan. Semuanya gue balik dulu, ya." Damar berpamitan pada semua yang ada di ruang rawat Bara.     

----     

Pak Bima tiba di apartemen Damar. Ia segera memasukkan kode kunci apartemen Damar. Apartemen Damar terasa sangat sepi. Pak Bima lalu mengecek ke semua ruangan yang ada di apartemen Damar. Ia menarik napas dan merebahkan dirinya di sofa yang ada di ruang tamu apartemen Damar. Rupanya Damar masih belum pulang.     

Pak Bima menatap langit-langit apartemen Damar. Ia mulai mengkhawatirkan situasi Damar saat ini. Apa yang akan menimpanya jika Hanggono tahu bahwa Damar selama ini sengaja mendekatinya untuk memperoleh informasi darinya.     

Tidak lama kemudian, pintu apatemen Damar terbuka. Damar melangkah masuk ke dalam apartemennya. Ia sedikit terkejut begitu melihat Pak Bima sudah duduk di dalam apartemennya tanpa menyalakan lampu. Ia duduk seorang diri di dalam kegelapan.     

Damar menyalakan lampu apartemennya dan menghampiri Pak Bima. "Apa yang mau Papa bicarakan?"     

Pak Bima berdecak pelan sebelum memulai pembicaraan mereka. "Apa Hanggono sudah meminta kamu untuk menjual kembali saham yang dia berikan ke kamu?"     

Damar mengernyitkan dahinya mendengar pertanyaan Pak Bima. Ia lalu menggeleng. "Kami ngga pernah membicarakan tentang menjual saham."     

"Kalian belum pernah membahas itu?"     

Damar menggeleng. "Belum."     

Pak Bima tampak berpikir sejenak. "Sepertinya ada yang tidak biasa di sini. Padahal ini hampir mendekati waktu ia harus mengeluarkan uangnya untuk mendukung orang-orangnya yang maju di pemilu."     

"Apa yang aneh?" tanya Damar penasaran.     

Pak Bima menatap Damar. "Saham pemberian Hanggono ke kamu, itu adalah hasil pencucian uang yang sudah dilakukan Hanggono bersama rekan-rekannya."     

Damar membelalakkan matanya. Ia menghela napas panjang. "Dan sekarang jumlah saham sebanyak itu semuanya atas nama saya?" Damar tertawa pelan. "Kalau sampai ini tercium saya yang akan diselidiki. Eyang memang luar biasa."     

"Biasanya menjelang pemilihan umum, Hanggono akan mencairkan sebagian sahamnya."     

"Memang apa yang mau Papa lakukan dengan saham-saham itu?"     

"Papa akan membeli semuanya. Dengan begitu, kita bisa meminimalisir jejak Hanggono di perusahaan."     

"Kalau Hanggono ternyata tidak mau menjualnya?"     

"Kita paksa dia menjualnya."     

Damar menatap Pak Bima dengan tatapan tidak percaya. "Jangan bilang, Papa mau sengaja menjatuhkan harga saham perusahaan."     

"Kalau harga saham tiba-tiba jatuh, Hanggono pasti tidak mau rugi terlalu banyak. Dia mau tidak mau akan meminta kamu untuk menjual sahamnya."     

"Tapi, kita juga akan rugi besar."     

"Kita lakukan itu hanya sampai Hanggono meminta kamu melepas sahamnya. Papa yang selanjutnya akan memborongnya. Itu semata-mata agar kepemilikan Hanggono di perusahaan kita semakin sedikit. Dengan demikian, kalau ada penyelidikan yang berkaitan dengan Hanggono, kita tidak akan terlalu dirugikan."     

"Kenapa Papa baru membicarakan ini sekarang? Saya mungkin akan terseret jika Hanggono diselidiki. Sedikit atau banyak, selama saham-saham itu atas nama saya, saya yang mungkin bakal ikut mendekam di penjara."     

Pak Bima menghela napasnya melihat Damar yang mulai marah. "Saya tahu itu. Dari awal Hanggono bersedia memberikan saham-sahamnya untuk kamu, saya sudah merasa tidak enak. Saya tidak percaya akhirnya saya sendiri yang meletakkan kamu ke dalam mulut serigala ketika saya meminta kamu menerima posisi CEO."     

Damar terlihat frustasi. Dengan begini ia tidak bisa begitu saja memulai rencananya untuk menyentuh orang-orang yang berkaitan dengan Hanggono. Karena bisa saja Hanggono sengaja menunggu sampai Bara melakukan tindakan. Dan jika Bara sudah mulai bergerak, ada kemungkinan Hanggono akan menggunakan dirinya sebagai tameng untuk melindungi dirinya sendiri.     

Damar menatap Pak Bima dengan tatapan pasrah. "Papa tahu, saya dan Bara sudah mempersiapkan sesuatu untuk menangkap salah satu orang yang bekerjasama dengan Hanggono. Setelah mendengar apa yang Papa sampaikan, saya memikirkan kembali rencana itu. Bisa saja Hanggono sengaja menunggu Bara untuk bergerak."     

"Maafkan Papa, Damar." Pak Bima mencoba untuk meletakkan tangannya di bahu Damar. Namun dengan cepat Damar menepisnya.     

Damar bangkit berdiri dan berjalan ke arah jendela apartemennya. Ia terdiam sambil memikirkan cara yang mungkin bisa menyelamatkannya sekaligus tetap membuat rencananya dengan Bara tetap berjalan. Damar berjalan modar-mandir sambil menyilangkan kedua tangannya.     

Pak Bima memperhatikan Damar yang nampak kalut. Ia merasa sangat bersalah dengan apa yang sudah terjadi. Tidak pernah terpikir olehnya bahwa Damar akan berada di posisi sulit seperti sekarang.     

"Ah," gumam Damar. Ia seperti menemukan sebuah jalan keluar. Damar kemudian kembali menatap Pak Bima.     

"Apa yang kamu pikirkan?" tanya Pak Bima.     

"Saya berpikir untuk membuat Hanggono menyesal telah memberikan sahamnya untuk saya."     

"Maksud kamu?"     

"Saya akan beritahu Hanggono siapa saya sebenarnya. Dia pasti belum tahu kalau saya ini bukan anak kandung Papa. Saya bukan siapa-siapa di keluarga Pradana. Saya juga akan sedikit mengancamnya dengan membawa kabur saham miliknya. Dia juga pasti tidak akan mengira bahwa saya sanggup membawa kabur saham miliknya."     

"Kamu mau menjadi buronan Hanggono dengan membawa kabur saham milik Hanggono? Kamu tidak akan bisa bersembunyi dari Hanggono."     

"Saya bisa bersembunyi dari Hanggono. Dia tidak akan bisa menemukan saya. "     

Damar berpikir tentang bunker yang ada di bawah bar Millenium. Tidak akan ada yang bisa menemukannya di sana. Kalau ia memilih untuk pergi keluar negeri, Hanggono pasti akan dengan mudah menemukannya. Tetapi, bunker yang ada di bawah bar Millenium adalah tempat persembunyian yang sempurna. Ia juga bisa ikut memantau orang-orang yang sudah bekerja sama dengan Hanggono selama ini.     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.