Bara

Gambling 1



Gambling 1

0Damar berulang kali melirik pada jam tangannya. Ia ingin segera pergi meninggalkan kediaman Hanggono karena suasananya sangat membuatnya tidak nyaman.     
0

"Ada apa Damar? Kamu sepertinya dari tadi terus memperhatikan jam tangan kamu," ujar Hanggono.     

Damar tersenyum pelan. "Kalau sudah tidak ada yang mau Bapak bicarakan, sebaiknya saya pamit undur diri."     

"Loh, kenapa buru-buru sekali?"     

"Besok pagi saya harus pergi mengunjungi salah satu anak perusahaan MG Group." Damar mencoba untuk beralasan.     

"Oh, begitu. Kalau begitu, saya antar kamu keluar." Hanggono bangkit berdiri dari tempat duduknya.     

Damar berpamitan ala kadarnya dengan orang-orang yang baru saja Hanggono kenalkan padanya lalu berjalan bersama Hanggono menuju pelataran rumahnya.     

"Saya pamit, Pak. Terima kasih untuk malam ini," ujar Damar sembari menyalamin Hanggono.     

"Terima kasih juga kamu mau datang. Saya harap kamu bisa mempertimbangkan permintaan saya tadi."     

Damar hanya menanggapinya dengan sebuah senyuman dan menggeleng pelan. "Sekali lagi terima kasih." Damar melepaskan jabat tangannya. Ia membungkuk sedikit sebelum akhirnya berjalan menuju mobilnya.     

Damar segera masuk ke dalam mobilnya dan menyalakan mesin kendaraannya. Ia melonggarkan dasinya dan mulai menginjak pedal gas. Melihat para anak muda berpengaruh yang ada dalam bayang-bayang Hanggono, membuat Damar semakin tidak nyaman.     

Hanggono benar-benar sudah menancapkan kekuasaannya dimana-mana. Akan sangat sulit baginya dan bagi Bara untuk mengalahkan Hanggono jika hanya mengandalkan kekuatan yang mereka miliki sekarang. Secepatnya mereka harus mencari cara memperoleh informasi yang bisa digunakan untuk menundukkan Hanggono.     

----     

Hanggono kembali menemui anak-anak didiknya yang sangat setia padanya. Bagi anak-anak didiknya Hanggono bagaikan seorang malaikat penolong yang menyelamatkan mereka dari jurang kesengsaraan dan membawa mereka ke atas bukit indah yang dipenuhi dengan berbagai macam tanaman dan bunga-bunga indah. Karena hal itu, mereka semua kompak dalam mendukung Hanggono. Kapan pun Hanggono butuh bantuan, mereka pasti segera datang.     

"Apa benar, dia anak yang hilang itu?" tanya salah seorang anak didiknya.     

Hanggono menggeleng. "Saya belum bisa memastikannya. Itu semua sudah terjadi lama sekali. Anak yang hilang merupakan yang termuda di antara kalian semua."     

----     

Damar tiba di apartemennya. Ia segera ke kamarnya dan menuju kamar mandinya dan segera menyiapkan air pada bak mandinya. Damar merendam tubuhnya pada bak mandi berisi air hangat.     

Damar berdiam diri di dalam bak berisi air hangatnya. Pikirannya kembali tertuju pada foto milik Hanggono yang tadi sempat ia lihat. Ada sesuatu yang mengganjal dihatinya.     

Damar memejamkan matanya seraya mengetuk-ngetukkan jarinya pada pinggiran bak mandinya. Mencoba menyelami kembali ingatan masa kecilnya. Masa sebelum ia bertemu dengan Pak Bima.     

"Argh," ringis Damar.     

Ia terduduk di dalam bak mandinya seraya meraba pinggangnya yang tiba-tiba terasa nyeri. "Gue harus bisa bertahan sedikit lagi."     

Sembari memejamkan mata dan mengatur napasnya, Damar berusaha untuk mengabaikan rasa sakitnya. Ia lalu keluar dari dalam bak mandinya. Damar meraih obat pemberian dokternya yang ia simpan di dalam salah satu laci yang ada di ruang gantinya dan segera pergi menuju ruang makan.     

Damar cepat meminum obat miliknya. Beberapa saat kemudian rasa sakitnya sedikit mereda. Damar kemudian duduk bersandar pada lemari kabinetnya. Ia terdiam memandangi ruangan apartemennya yang setengah gelap.     

"Am I dying?" gumam Damar pelan pada dirinya sendiri.     

"What if I die alone?"     

"I don't want to die alone."     

Damar berbicara dengan dirinya sendiri. Ia mulai memikirkan penyakit yang perlahan-lahan menggerogotinya tanpa seorang yang tahu bahwa ia sedang sakit. Damar memilih untuk menyimpannya seorang diri karena ia tidak mau Kimmy dan Pak Bima mengkhawatirkannya.     

Damar menghela napasnya. Ia tertawa memikirkan nasibnya sendiri. Tawanya memecah kesunyian ruang apartemennya. Tawa itu semakin lama semakin terdengar menyedihkan dan akhirnya berubah menjadi sebuah isakan. Damar memeluk kedua kakinya dan menenggelamkan wajahnya pada kedua lututnya.     

----     

Pagi-pagi di kediaman Pak Haryo, Bara mendengarkan semua hasil pembicaraan Damar dengan Hanggono dan video yang berhasil di rekam oleh penyadap yang ada di ponsel Damar.     

"Gue harus ketemu mereka sekarang," ujar Bara.     

Bara segera bangkit dari meja kerja yang ada di dalam kamarnya dan segera bersiap-siap untuk pergi menuju bar Millenium. Begitu sudah selesai bersiap, Bara segera keluar menuju parkiran mobil yang ada di kediaman Pak Haryo.     

Saat hendak membuka pintu mobilnya. Sebuah suara mengagetkan muncul dan mengagetkan Bara. "Kamu mau kemana?"     

Bara menoleh untuk menengok suara yang tiba-tiba bertanya padanya.     

"Eh, Eyang?"     

"Kamu mau kemana? Bukannya kamu masih harus istirahat?" Pak Haryo kembali bertanya pada Bara.     

Bara menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal sambil tersenyum canggung pada Pak Haryo. "Itu--"     

Pak Haryo menyilangkan kedua tangan di depan dadanya. Ia menunggu Bara menjawab pertanyaannya.     

"Aku harus pergi sebentar, ada urusan mendadak," jawab Bara.     

"Urusan mendadak apa, sampai kamu sembunyi-sembunyi begitu? Pekerjaan kamu di kantor juga sudah di pegang Pak Agus."     

"Mau ketemu Arga." Bara buru-buru menyahut.     

"Arga?" Pak Haryo kemudian menatap Bara penasaran. "Ngomong-ngomong, Arga ada dimana sekarang? Saya sudah beberapa hari ngga lihat Arga."     

Bara tersenyum pada Pak Haryo. "Arga ada di suatu tempat."     

"Ya, di tempat apa?"     

"Nanti saya suruh dia pulang, kalau Eyang mau ketemu dia," ujar Bara.     

Pak Haryo menggeleng. "Saya penasaran apa yang sedang kamu kerjakan." Ia kemudian berjalan mendekat pada Bara. Pak Haryo menatap Bara penuh penasaran. "Coba kamu ceritakan, apa yang sedang kamu kerjakan."     

Bara menghela napas pasrah. Ia menatap Pak Haryo yang kini tengah memandang kearahnya dengan penuh rasa penasaran. "Oke."     

Pak Haryo tersenyum penuh kemenangan.     

"Agak susah kalo diceritain, mending Eyang ikut langsung," ajak Bara.     

"Kamu sengaja ajak saya biar kamu punya alasan untuk keluar?"     

Bara cepat-cepat menggeleng. "Ngga."     

Pak Haryo mendelik pada Bara.     

"Eyang mau tahu apa ngga? Kalau Eyang penasaran apa yang aku kerjain sekarang, mending Eyang ikut aku."     

"Oke, kalau kamu memaksa saya ikut. Mana kunci mobilnya?" Pak Haryo meminta kunci mobil yang sedang Bara pegang.     

"Aku aja yang nyetir," sahut Bara cepat.     

"Sudah sini kunci mobilnya." Pak Haryo segera merebut kunci mobil Bara. Ia segera masuk ke dalam mobil dan duduk di belakang kemudi.     

Sambil sedikit berdecak kesal Bara berjalan menuju sisi lain mobilnya dan masuk ke dalamnya.     

"Sabuk pengaman jangan lupa," ujar Pak Haryo.     

Sambil menghela napasnya, Bara memasang sabuk pengamannya.     

"Kita ke mana?" tanya Pak Haryo.     

"Millenium," jawab Bara.     

"Millenium bar?"     

Bara segera mengangguk. "Tapi, kita bukan mau minum kesana."     

"Oke, hari ini Eyang bakal jadi supir kamu," sahut Pak Haryo.     

"Ya, terserah Eyang aja, lah," timpal Bara.     

Pak Haryo tertawa pelan dan segera melajukan kendaraannya meninggalkan halaman parkir rumahnya.     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.