Bara

Pawn 4



Pawn 4

0Hanggono menatap kepergian Pak Angga dan Damar yang meninggalkan pekarangan rumahnya. Begitu mobil yang mereka tumpangi melewati pagar rumahnya, Hanggono segera mengeluarkan ponselnya. Ia kemudian menelpon seseorang yang pernah menjadi bawahannya.     
0

"Selamat malam, Dirga," sapa Hanggono ketika bawahannya itu mengangkat panggilannya.     

"Malam, Pak. Tumben sekali Bapak menghubungi saya malam-malam begini. Ada apa, Pak?"     

"Saya dengar, kamu pernah bekerja untuk Tubagus Haryo Pradana. Betul?"     

Dirga terdiam sejenak begitu mendengar pertanyaan yang baru saja diajukan mantan atasaanya itu. Namun sumpah militer membuatnya tidak bisa berkutik. "Betul, Pak."     

"Kamu bisa bantu saya?"     

"Apa yang bisa saya bantu, Pak?" Dirga menjawab dengan sedikit ragu.     

"Kalau kamu pernah bekerja bersama Haryo, pasti kamu juga kenal dekat orang-orang yang selalu ada di sekitarnya, kan. Saya ingin kamu mengirimkan informasi tentang Asisten Pribadi Haryo."     

Dirga menelan ludahnya begitu mendengar permintaan yang diajukan Hanggono.     

"Oh ya, saya juga mau kamu melaporkan semua yang berkaitan dengan Bara dan Damar."     

Sekali lagi Dirga menelan ludahnya. Sekali lagi, sumpah militer membuatnya tidak bisa menolak perintah dari Hanggono karena dia pernah menjadi atasannya. "Baik, Pak."     

"Bagus," sahut Hanggono. "Oh ya, jangan sampai ada yang tahu kalau kamu melapor pada saya. Kalau sampai ada yang tahu, itu artinya kamu sudah berkhianat pada sumpah kamu sendiri."     

"Baik, Pak." Dirga menerima tugas yang diberikan Hanggono padanya. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain menerimanya.     

"Kalau begitu selamat malam. Lakukan tugas kamu dengan baik." Hanggono mematikan ponselnya.     

Pengalamannya di dunia militer membuatnya harus waspada setiap saat untuk menghadapi serangan. Termasuk saat ini. Ia merasa ada yang janggal dengan sikap yang ditunjukkan Damar. Ia harus menyiapkan strategi untuk menghadapi segala kemungkinan. Menurutnya, perubahan sikap Damar membuatnya patut untuk dicurigai.     

----     

"Ada apa?" Tanya Bang Ojal ketika Dirga menutup ponselnya.     

Dirga menggeleng. "Ngga ada apa-apa."     

"Tapi muka lu kusut begitu."     

"Itu tadi mantan atasan gue."     

"Ngapain mantan atasan lu nelpon lu malem-malem begini?" Bang Ojal kembali bertanya.     

Dirga terdiam. Ia sudah disumpah untuk setia. Tidak mungkin ia melanggarnya. Jika melanggar, itu sama saja dengan ia mencoreng namanya sendiri dan ia harus bersiap-siap untuk dijauhi oleh kawan-kawan militernya. Dan, jika itu terjadi, pekerjaannya sebagai Penyidik swasta harus ia pertaruhkan. Karena selama ini, tidak jarang ia meminta bantuan pada rekan-rekannya. "Ngga ada, ngga ada apa-apa."     

Bang Ojal mengernyitkan dahinya mendengar jawaban Dirga. Meski curiga, ia memilih untuk tidak ambil pusing.     

"Lu udah ketemu Pak Haryo?" Tanya Dirga untuk menghentikan Bang Ojal bertanya lebih lanjut.     

Bang Ojal menggeleng. "Mungkin nanti gue mampir ke tempatnya. Terakhir gue ketemu dia waktu di Solo."     

"Kalau Pak Agus?"     

"Sama, dia lagi sibuk ngurusin cucunya Pak Haryo."     

"Terus, kalo Bos lu yang satu lagi gimana?" Dirga kembali bertanya.     

"Maksud lu Pak Angga?"     

Dirga mengangguk cepat.     

"Masih ambisius seperti biasa. Gue heran, mereka berdua itu, kan, Kakak Adik, tapi kenapa malah saling serang begitu."     

Dirga menghela napasnya. "Dan kita terlibat dalam perselisihan di antara mereka berdua."     

"Mereka ngga capek apa, ya?" Bang Ojal menghisap rokoknya.     

Sudah lama Bang Ojal bekerja sebagai tukang pukul Pak Angga. Baru beberapa tahun yang lalu ia menerima tawaran dari Pak Haryo untuk bekerja sama dengannya dan mulai memata-matai Pak Angga. Kala itu Bang Ojal bagai seorang tikus yang terjebak di dalam ember besi panas. Seseorang menjebaknya dalam sebuah transaksi narkoba dan Pak Haryo berhasil mengeluarkannya dari dalam penjara dengan syarat ia harus bekerja untuknya.     

"Kalau salah satu belum mati, mereka ngga bakal berhenti," sahut Dirga.     

"Serem gue sama kakak beradik itu."     

"Eh, Jal. Gue penasaran."     

"Penasaran apa lu?"     

Dirga memajukan sedikit badannya. "Lu, kan, kerja sama dua-duanya, menurut lu lebih sadis yang mana? kakaknya atau adiknya?" tanya Dirga penasaran.     

Bang Ojal berpikir sejenak. "Pak Haryo jelas lebih menyeramkan dari Pak Angga."     

"Kenapa lu bisa mikir begitu, Jal? Bukannya Pak Haryo itu keliatannya sabar banget."     

"Justru yang tenang begitu yang bikin gue takut. Di balik air yang tenang, pasti menyimpan bahaya di dalamnya."     

Dirga hanya manggut-manggut mendengar ucapan Bang Ojal. "Kata-kata lu keren juga."     

"Siapa dulu, Ojal," seru Bang Ojal bangga sambil menepuk-nepuk dadanya.     

Mereka kembali tertawa-tawa sambil bermain kartu. Meski latar belakang keduanya jauh berbeda, namun mereka bisa menjadi tim yang kompak. Dirga yang cenderung bersikap hati-hati dan Bang Ojal yang cenderung bersikap berdasarkan intuisinya. Jika Bang Ojal lebih banyak menggunakan ototnya maka Dirga lebih sering menggunakan otaknya. Dan ketika mereka bekerjasama, mereka bagaikan satu tubuh yang bergerak bersamaan.     

Akan tetapi, saat ini Dirga merasa sedikit gamang. Haruskah ia menuruti perintah mantan atasannya atau tidak. Sumpah militer memaksanya untuk setia kepada satuannya. Namun di sisi lain, yang selama ini menopangnya adalah Pak Haryo. Bukan orang-orang dari kesatuannya. Dia hanya sesekali meminta bantuan pada rekan-rekannya, itu pun tidak gratis, karena ia akan memberikan mereka bayaran yang sangat layak.     

Dirga menghela napas berat. Ia akhirnya memutuskan untuk mendiskusikan permintaaan Hanggono kepada Pak Haryo dan Pak Agus. Ia tidak bisa memutuskan ini seorang diri.     

****     

Pak Angga mengantarkan Damar kembali ke kantor untuk mengambil mobilnya yang masih berada di parkiran gedung.     

"Kamu hati-hati, kalau tidak enak badan, besok kamu bisa cuti terlebih dahulu," pesan Pak Angga sebelum meninggalkan Damar.     

"Iya, Eyang," sahut Damar.     

"Ya sudah, kalau begitu." Pak Angga melambaikan tangannya pada Damar. Damar membalasnya dengan menganggukkan kepalanya. Pak Angga kemudian mengalihkan perhatian pada Supir pribadinya. "Jalan, Pak."     

Damar menyaksikan mobil Mercedes Benz yang ditumpangi Pak Angga melaju perlahan meninggalkan gedung MG Group. Otaknya masih terus memikirkan apa rencana yang disimpan Pak Angga.     

"Oh ya, gue harus ke tempat Bara sekarang," seru Damar pada dirinya sendiri. Ia kemudian segera berjalan menuju parkiran gedung untuk mengambil mobilnya.     

----     

"Bad news," seru Damar ketika berjalan masuk ke dalam apartemen Bara dengan sedikit panik.     

Bara yang terheran-heran dengan sikap Damar segera bertanya. "Bad news apa?"     

"Eyang gue juga bakal nyalonin Pak Agus buat gantiin Papa."     

"HAH! Gue ngga salah denger?" ujar Bara terkejut.     

"No, dia benar-benar bakal nyalonin Pak Agus. Ada yang aneh disini." Damar nampak cemas dan terus berjalan mondar-mandir di dalam apartemen Bara. "Dia pasti udah ngerencanain sesuatu, gue yakin," lanjut Damar.     

"Padahal Bokap lu udah setuju buat dukung Pak Agus. Apa perlu kita batalin aja?"     

Pak Agus yang mendengar percakapan yang terjadi antara Bara dan Damar dari dalam kamarnya, memutuskan untuk keluar dari kamarnya dan bergabung bersama Bara dan Damar.     

"Ada apa Damar? Kamu kelihatan cemas," ujar Pak Agus seraya berjalan menghampiri Damar.     

"Eyang juga mau mencalonkan Bapak untuk menggantikan Papa," terang Damar.     

"Lantas?"     

"Saya yakin, Eyang pasti punya maksud tersembunyi."     

"Apa kita batalkan saja, Pak?" Tanya Bara pada Pak Agus.     

"Ngga perlu. Kita tetap pada rencana semula," jawab Pak Agus.     

"Tapi, Eyang pasti sedang merencanakan sesuatu untuk menyingkirkan Bapak," timpal Damar.     

"Kalian tenang saja. Seperti yang saya bilang pada Bara tadi pagi, saya tidak akan lama mengisi posisi itu."     

"Tapi, Pak. Bagaimana kalau itu nantinya akan membahayakan Bapak?" Bara kembali bertanya pada Pak Agus.     

"Sudah kalian berdua tenang saja. Kalau Angga punya rencana, tentunya saya juga punya rencana."     

Damar dan Bara saling berpandangan.     

"Ya udah, kita ikutin apa kata Pak Agus aja," ujar Bara.     

"Audit sudah sampai di mana?" tanya Damar.     

"Masih perlu beberapa waktu."     

"Hasilnya bagaimana sejauh ini?"     

"Well, terlihat normal meski banyak kejanggalan," jawab Bara.     

Damar menghela napas lega. Ia kemudian merebahkan tubuhnya di sofa besar yanga ada di ruang keluarga apartemen Bara.     

"Lu udah kasih tahu Bokap gue, kan. Kalau Kimmy jangan sampai tahu."     

Bara terdiam. "Belum."     

"Ah, gimana, sih lu," ujar Damar kesal.     

Damar kemudian segera menelpon Pak Bima. Begitu Pak Bima menerima panggilannya, Damar langsung merepet. "Papa jangan sampai kasih tahu Kimmy soal ini. Dia masih berpikir aku sama Bara ngga akur."     

"Iya, iya," sahut Pak Bima tenang.     

"Ya sudah, aku cuma mau ngasih tahu itu aja." Damar segera mematikan telpon genggamnya.     

"Sorry," gumam Bara sembari nyengir kepada Damar.     

Damar melirik Bara kesal. "Ngomong-ngomong gosip lu sama Maya beneran?     

Pak Agus berdeham mendengar pertanyaan yang diajukan Damar kepada Bara. Bara melirik ke arah Pak Agus. "Itu mak comblangnya."     

"Oh, ya, tadi saya dapat telpon dari Maya. Dia minta saya buat bujuk kamu supaya mau datang ke acara tahunan sama dia," terang Pak Agus.     

"Maya dan Bara. Yang satu pewaris MG Group, yang satu pewaris Fleur cosmetics. Sama-sama single. Ditambah Maya model terkenal. Pas, tuh." Damar menggoda Bara.     

Bara sedikit tersipu. "Pas apanya?"     

"Pas, kaya beauty and the beast." Damar tertawa terbahak-bahak.     

Bara meraih bantal sofa yang ada di dekatnya dan melemparkannya pada Damar. "Bangsat!"     

Damar semakin terbahak-bahak dan membalas Bara.     

"Jadi, bagaimana? Mas Bara mau datang bersama Maya atau tidak?" Sela Pak Agus.     

Damar berteriak menjawab pertanyaan Pak Agus. "Mau, lah, Pak. Siapa yang bisa nolak cewe secantik Maya."     

"Ya udah, lu aja sana sama Maya," sahut Bara.     

"Ngga, lah. Gue ngga mau rebutan cewe sama saudara sendiri." Damar kembali terkekeh. "Maya cantik, kan?" Damar kembali menggoda Bara.     

Bara terdiam.     

"Udahlah, ngaku aja?" desak Damar.     

Bara menghela napas. "Iya, cantik. Tapi--"     

"Tapi apa?" lanjut Damar.     

"Tapi dia terlalu agresif," ujar Bara malu-malu.     

"She's an alpha woman, let me tell you something." Damar menyuruh Bara untuk mendekat padanya. Bara segera mendekatkan telinganya ke arah Damar. "Alpha woman is a great partner when you bring her into the bed." Damar mengacungkan dua jempolnya pada Bara.     

Bara menjauhkan badannya dari Damar. "Mesum lu."     

Pak Agus hanya diam saja melihat percakapan antara Bara dan Damar. Sesekali ia tersenyum melihat Bara yang merona ketika Damar membahas Maya.     

----     

Pak Bima baru hendak berbicara menanyakan hasik pertemuan Damar dengan Hanggono ketika Damar mematikan sambungan telponnya. Pada saat itu, tiba-tiba Pak Angga masuk ke dalam ruang kerjanya.     

"Kamu hubungi yang lain, bilang pada mereka, besok akan diadakan rapat untuk membahas pengunduran diri kamu," perintah Pak Angga.     

Selesai memberi perintah pada Pak Bima, Pak Angga segera pergi meninggalkan ruang kerja Pak Bima. Sementara Pak Bima diam terpaku di tempatnya.     

Orang pertama yang Pak Bima hubungi adalah Damar. "Rapat untuk membahas pengunduran diri Papa akan diadakan besok, beritahu Pak Agus dan Bara." Pak Bima memelankan nada bicaranya. Takut-takut Pak Angga masih berdiri di luar ruang kerjanya.     

----     

"What? Besok?" pekik Damar. Ia kemudian menatap Bara dan Pak Agus bergantian.     

Bara mengucap 'ada apa?' tanpa mengeluarkan suara.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.