Bara

Fade Away 2



Fade Away 2

0Bara akhirnya menyerah dan kembali menyeret langkahnya untuk masuk ke dalam gedung apartemennya. Ia sadar sikapnya pada Maya tadi sangat kekanakan dan keterlaluan. Tidak seharusnya ia bersikap demikian pada Maya.     
0

"Hei, Bara." Seorang wanita berpakaian ala timur tengah menyapanya ketika Bara melewati lobi.     

Bara menoleh. Hanya ada satu wanita asing yang sering menyapanya. "Oh, hai Rania."     

Rania segera berjalan menghampiri Bara. "Tadi saya lihat kamu berlari keluar, apa kamu sedang mengejar sesuatu?" Tanya Rania dengan bahasa Indonesia yang sedikit kaku.     

"Saya pikir kamu ngga bisa bahasa," ujar Bara yang terkejut karena kenalannya itu berbicara dalam bahasa Indonesia.     

Rania sedikit merunduk. "Saya bisa bahasa Indonesia, tapi belum terlalu lancar."     

"Oh," gumam Bara.     

"Mungkin kamu bisa bantu saya." Mata Rania berbinar-binar menatap Bara.     

"Apa yang bisa saya bantu?"     

"Bantu saya meningkatkan kemampuan bahasa saya."     

"Caranya?"     

"Cukup dengan mengobrol, itu sudah membantu," jawab Rania. "Bagaimana kalau sekarang? Kamu ada waktu?" Lanjut Rania.     

Bara sedikit terkejut dengan ajakan Rania yang tiba-tiba. "Sekarang?"     

Rania mengangguk cepat. Bara seperti mempertimbangkan tawaran Rania. Ia mengangkat tangannya untuk melihat jam. Namun begitu melihat tangannya Bara teringat, tadi ia terburu-buru untuk segera menyusul Maya hingga tidak sempat memakai jam tangannya. Bara lantas mengeluarkan ponselnya untuk melihat jam. Masih ada waktu satu jam sampai kendaraan yang akan mengantarnya ke kediaman Pak Haryo datang menjemput.     

"Oke, tapi saya tidak bisa lama-lama," ujar Bara.     

"Sebentar juga tidak masalah," sahut Rania. "Saya traktir kamu minum kopi," lanjut Rania.     

Rania segera berjalan menuju kedai kopi yang ada di dalam gedung tersebut. Bara berjalan mengikuti di belakangnya. Mungkin ia bisa meminta saran pada Rania bagaimana caranya untuk meminta maaf secara pantas pada Maya. Bara berpikir dirinya saat ini tidak ubahnya seperti lelaki brengsek yang sudah melukai hati dua orang wanita secara bersamaan.     

----     

Rania memesankan dua gelas kopi untuknya dan untuk Bara. Selagi memesan kopi, Rania memperhatikan Bara yang sedang duduk di sudut ruangan kedai kopi yang mereka datangi. Bara terlihat sedang mencoba untuk menghubungi seseorang. Namun, setiap kali ia mendekatkan ponsel ke telinganya, tidak sampai satu detik ia kembali menatap ponsel yang ada di tangannya.     

Kopi yang Rania pesan akhirnya siap dan ia segera membawa kopi tersebut ke tempat Bara sedang menunggunya. Rania segera meletakkan kopi yang ia bawa ke hadapan Bara.     

"Thank you," ujar Bara ketika Rania menyorongkan kopi ke hadapannya.     

Rania menyesap es kopi miliknya. "Sepertinya kamu lagi ada masalah?"     

Bara menghela napasnya. "Ya begitulah." Bara merunduk memandangi layar ponselnya yang masih menampilkan nomor kontak Maya. Maya benar-benar menolak panggilannya. Bahkan mungkin Maya sudah memblok nomornya.     

"Masalah wanita atau pekerjaan kalau boleh saya tahu?"     

"Yang pertama."     

Rania manggut-manggut. "Jadi, masalah wanita?"     

Bara mengangguk ragu.     

"Kalau mau, kamu bisa cerita ke saya."     

Bara berpikir sejenak sebelum memutuskan untuk bercerita pada Rania. Ia dan Rania belum lama berkenalan, itu pun karena sebuah ketidaksengajaan. Apakah wajar jika ia bercerita pada Rania dan meminta pendapatnya. Ia adalah urusan pribadinya dengan Maya.     

"Lain kali saja saya ceritakan." Bara menolak tawaran Rania untuk bercerita dengan halus.     

"Tapi, kita perlu bahan pembicaraan," sahut Rania.     

"Kamu bisa cerita tentang kegiatan kamu selama di sini," timpal Bara.     

"Ah, kegiatan saya sangat membosankan. Saya hanya melukis, melukis dan melukis. Saya lebih penasaran dengan cerita kamu."     

"Tidak ada yang spesial dari cerita saya. Saya hanya ke kentor, ke kantor dan ke kantor lagi."     

"Bukan Itu. Saya tertarik dengan permasalahan wanita yang tadi kamu bilang." Rania sangat berharap Bara bisa segera menceritakan masalah yang sedang ia hadapi kepadanya.     

----     

"Siapa, sih, jam segini udah gedor-gedor apartemen orang?" gerutu Kimmy ketika ia melangkah untuk membukakan pintu apartemennya. "Iya, iya sebentar."     

Kimmy membuka pintu apartemennya. Maya sedang berdiri di depan pintu apartemennya dengan wajah yang memerah. Mata Maya seperti berkaca-kaca. "Maya? Lu kenapa?"     

Maya segera memeluk Kimmy.     

"Ada apa May?"     

Maya diam tidak menjawab. Ia hanya memeluk Kimmy erat sambil sesekali terisak.     

"It's okay, it's okay," ujar Kimmy sambil mengelus-ngelus punggung Maya.     

Maya melepaskan pelukannya. Ia kemudian menyeka ujung matanya.     

Kimmy segera menggandeng Maya dan membawanya masuk ke dalam apartemen. "Masuk dulu, ngga enak kalau ada yang lihat."     

Maya mengikuti langkah Kimmy ke dalam apartemennya.     

"Lu mau minum apa?" tanya Kimmy ketika Maya sudah duduk nyaman di sofa yang ada di ruang keluarganya.     

"Apa aja yang lu punya. Alkohol juga ngga apa-apa," jawab Maya.     

"Oh, okay." Kimmy segera berjalan ke minibarnya. Ia melihat-lihat minuman yang ia miliki di dalam lemari kabinetnya.     

Kimmy kembali pada Maya dengan membawa dua gelas berisi anggur merah.     

"Thank you." Maya langsung menyambut gelas yang disodorkan Kimmy padanya dan langsung meminumnya.     

Kimmy menunggu sampai Maya selesai meminum anggur merahnya. "Jadi, lu lagi ada masalah apa?" Tanya Kimmy ketika Maya selesai meminum anggurnya.     

Maya menghela napasnya dan meletakkan gelas yang ia pegang. "Tadi Bara nyium gue."     

"Wah, bagus dong. Bukannya emang itu yang lu mau?."     

Maya melirik kesal pada Kimmy.     

Kimmy keheranan dengan tatapan yang diberikan Maya padanya. "Ada yang salah?"     

"Lu tahu, kan, gue udah bukan anak kemaren sore kalo soal begituan."     

"Iya, lu pro player. Terus?"     

"Cara Bara nyium gue, tatapannya, bikin gue ngerasa kaya Lonte, tau ga?."     

"Dia kasar sama lu?"     

"Jangankan kasar. Napsu aja ngga ada. Ciumannya sama sekali ngga ada feel-nya, Kim. Dia kaya cuma terpaksa nyium gue. Padahal gue suka beneran sama dia."     

Kimmy memperhatikan wajah Maya yang terlihat kecewa. Baru kali ini ia melihat Maya sungguh-sungguh menyukai pria. Biasanya ia menyukai pria hanya untuk bermain-main, dan ketika ia sudah merasa bosan, ia akan dengan mudahnya mengakhiri hubungan mereka. "Lu kena karma, May. Kayanya lu dikutuk sama mantan-mantan lu yang sakit hati."     

Maya berdecak mendengar ucapan Kimmy. "Susah banget sih, Kim, deketin sepupu lu. Padahal gue udah usaha banget buat deketin dia."     

"Kan, dari awal gue udah bilang, kalau dia udah suka sama cewe lain." Kimmy menangapi keluh kesah Maya dengan santai. "Dan lagi, kayanya dia kurang suka sama cewe yang agresif."     

Maya memonyongkan bibirnya. Ia setuju bahwa Kimmy memang sudah memperingatinya. Tetapi ia terus berusaha untuk menempel pada Bara. "Terus gue harus gimana?"     

"Ya mau gimana, dia udah secara halus nolak lu. Ya, lu tinggal say goodbye terus cari gebetan baru."     

"Gitu ya? Terus ini daritadi dia masih usaha buat hubungin gue?" Maya menunjukkan panggilan yang masuk ke ponselnya kepada Kimmy.     

"Ya, paling dia mau minta maaf sama lu," sahut Kimmy.     

Maya menekan lambang ponsel berwarna merah dan panggilan itu terhenti. "Tapi gue belum mood ngomong sama dia."     

"Ya, up to you." Kimmy meminum anggur miliknya sembari melirik ke arah Maya.     

-----     

"Dimatiin lagi," ujar Bara pasrah.     

Rania menghela napas panjang. "Kamu tunggu saja sampai dia mau berbicara dengan kamu."     

"Tapi, wajar kalau dia marah. Saya sangat keterlaluan tadi."     

Rania memperhatikan wajah Bara yang tertunduk lesu sambil memutar-mutar jarinya pada layar ponselnya.     

"Kalau saja papamu ada disini, dia pasti bisa memberikan saran yang lebih baik," batin Rania.     

Bara mengalihkan perhatian dari layar ponselnya. "Sepertinya saya sudah harus pergi sekarang."     

"Wah, sayang sekali."     

"Saya harus jenguk Kakek saya."     

"Oh, kalau begitu kamu harus segera pergi. Sepertinya saya sudah membuang waktu kamu."     

"It's okay."     

"Terima kasih sudah mau menemani saya."     

"Saya juga terima kasih atas kopinya."     

Bara kemudian berdiri dari kursinya. "Kalau begitu saya permisi sekarang."     

Rania ikut berdiri. "Salam untuk Kakek kamu, semoga beliau lekas sembuh. Saya akan doakan yang terbaik untuknya."     

Bara mengangguk seraya tersenyum pada Rania dan kemudian berjalan pergi meninggalkan kedai kopi tersebut.     

Rania memandangi punggung Bara yang meninggalkannya. Ia merasa sedih karena belum bisa menemani Bara untuk saat ini. Padahal saat ini Bara membutuhkan seseorang untuk mendukungnya.     

"Tunggulah Bara, setelah acara itu, Mama akan selalu mendampingi kamu. Mama tidak akan membiarkan kamu seorang diri menghadapi semuanya," batin Rania.     

----     

"Kayanya gue harus jaga jarak dulu sama Bara," ujar Maya lesu. "Menurut lu gimana, Kim?"     

"Ya, gue, sih, terserah lu aja. Tapi nanti pas acara gimana? Bukannya lu mau datang bareng Bara?"     

"Nanti gue pikirin lagi soal itu."     

"Maya, Maya. Makanya dari dulu gue udah sering ngasih tahu lu. Tapi lu batu banget, sih."     

"Yah, gimana, Kim. Gue udah suka dari pandangan pertama."     

"Pokoknya kalau sampai lu ngga dateng, gue bakal blok nomor lu."     

"Iya, gue pasti dateng. Tenang aja."     

"Nah, gitu dong." Kimmy menjawil pipi Maya.     

Maya hanya tersenyum masam. "Lu ngga mau kemana-mana, Kim?"     

"Emangnya lu mau ke mana?" Kimmy balik bertanya pada Maya.     

"Kemana aja, gara-gara Bara gue jadi suntuk."     

Kimmy tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Maya. "Terima kasih Tuhan. Akhirnya si Ratu Flirting ini merasakan yang namanya galau. Biasanya dia yang bikin galau anak orang."     

"Sialan, lu." Maya menoyor kepala Kimmy. "Bersenang-senang di atas kegalauan gue."     

"Lu ngga tahu, kan. Tiap kali lu abis mutusin pacar lu, gue yang diteror sama mereka."     

Maya menggeleng. "Ngga, dan gue ngga mau tau." Maya kemudian menjulurkan lidahnya pada Maya.     

"Apa gue kenalin Bara ke mantan-mantan lu aja, ya?" Cetus Kimmy. "Enaknya gue kenalin ke yang mana, ya?"     

"Ya, jangan, lah, Kim."     

Kimmy melirik jahil ke arah Maya. "Dikenalin ke si mantan pembalap seru, tuh, kayanya? Dia masih suka nanyain kabar lu ke gue."     

"Terus lu jawab?"     

"Kadang gue jawab. Emang kenapa?"     

"Ngga usah ladenin dia lagi, Kim. Dari semua mantan gue, cuma dia yang bikin gue bergidik pas kita putus. Cuma dia doang yang sampe gue blok nomornya."     

"Dia cuma terlalu suka sama lu. Kaya sekarang lu sama Bara," sahut Kimmy.     

"Beda, Kim. Cinta sama gila itu beda tipis, Kim. Pokoknya lu jangan sampe berhubungan sama dia lagi, deh."     

"Oke, oke. Terus sekarang kita mau ngapain buat ngilangin galau lu?"     

"Ngapain, ya? Gue juga ngga tahu." Maya mengangkat kedua bahunya.     

Kimmy mulai mendengus kesal. Ia kemudian meraih remote TV. "Ya udah, kita maraton nonton film aja. Lu yang pesen makanan."     

****     

----     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.