Bara

Unveil 7



Unveil 7

0Bang Ojal segera bersiap pergi menuju kediaman Pak Haryo, tepat setelah Pak Angga menyelesaikan permainan golfnya. Ia beralasan ingin menjenguk salah satu kerabatnya yang baru saja keluar dari rumah sakit ketika Pak Angga bertanya kemana ia akan pergi setelah menemaninya bermain golf. Pak Angga tidak ambil pusing dan membiarkan Bang Ojal pergi tanpa banyak bertanya.     
0

Setelah Pak Angga membiarkannya pergi, Bang Ojal segera meninggalkan padang Golf yang terdapat di timur Jakarta dan memacu motor Yamaha RX King miliknya secepat mungkin. Ia berusaha untuk tiba di kediaman Pak Haryo sebelum petang.     

----     

Target Bang Ojal untuk tiba di kediaman Pak Haryo sebelum petang ternyata meleset. Ia baru tiba di kediaman Pak Haryo selepas petang. Namun ketika ia tiba di sana, Penjaga rumah Pak Haryo memberitahunya bahwa Pak Haryo sedang pergi keluar dan belum kembali. Bang Ojal memberitahu Penjaga itu, bahwa Pak Haryo yang memintanya untuk datang. Akhirnya setelah penjaga itu menelpon Pak Agus, Bang Ojal diizinkan untuk masuk ke dalam area kediaman Pak Haryo. Bang Ojal kemudian memarkirkan motornya di dekat pos jaga dan duduk menunggu Pak Haryo di pelataran rumahnya.     

Setelah hampir lima belas menit menunggu, Bang Ojal melihat sebuah mobil Jeep berwarna hitam memasuki area kediaman Pak Haryo. Ia menduga Pak Haryo ada di dalam mobil tersebut dan segera bangkit berdiri. Mobil itu berhenti tidak jauh dari tempat Bang Ojal berdiri. Dari dalam mobil tersebut, Pak Haryo sudah melihat Bang Ojal yang menunggunya dan tersenyum. Bang Ojal segera berjalan menghampiri mobil tersebut. Pak Haryo turun dari dalam mobil dan segera menyambut Bang Ojal.     

"Sudah lama, Jal?" sapa Pak Haryo.     

"Belum lama, Pak. Gimana keadaan Bapak?"     

Pak Haryo menepuk-nepuk bahu Bang Ojal. "Kalau bukan karena kamu, mungkin saya bisa terluka lebih parah lagi."     

Bang Ojal merasa sungkan dengan pernyataan Pak Haryo. "Tetap saja, Pak. Itu luka tusuk. Salah-salah nyawa Bapak bisa melayang."     

"Tapi, sekarang saya masih bisa berdiri di depan kamu, kan?"     

Bang Ojal mengangguk pelan. "Syukurlah, kalau Bapak baik-baik saja."     

"Kamu sudah makan?" Pak Haryo kembali bertanya pada Bang Ojal.     

Bang Ojal menggeleng. "Habis main, saya langsung pergi ke sini."     

"Pas, kalau begitu. Hasil tangkapan hari ini lumayan. Kita mau bakar ikan untuk makan malam."     

Bang Ojal mengangguk pelan. Ia kemudian melirik pada Pak Agus dan Bara yang sudah berdiri di belakang Pak Haryo. "Ngomong-ngomong, saya disuruh ke sini, ada apa, Pak?"     

"Oh, iya, hampir lupa. Ada yang mau bertemu kamu," sahut Pak Haryo. Ia kemudian meminta Bara untuk mendekat padanya.     

Bara segera maju dan berdiri di sebelah Pak Haryo. Ia memandangi wajah Bang Ojal dengan seksama. Meski ini bukan pertemuan pertamanya, namun ini adalah kali pertamanya bisa bertatap muka secara langsung dengan Bang Ojal dalam situasi yang normal. Bukan seperti pada pertemuan pertama mereka.     

Bara menjulurkan tangannya pada Bang Ojal. "Saya belum sempat mengucapkan terima kasih waktu itu."     

Bang Ojal segera menangkap tujuan Pak Haryo memintanya untuk datang ke kediamannya. Rupanya Bara yang meminta untuk dipertemukan dengan Bang Ojal.     

Bang Ojal menyambut uluran tangan Bara. "Tidak masalah, itu memang sudah tugas saya."     

"Tetap, saya harus berterima kasih," ujar Bara.     

Bang Ojal mengangguk. "Saya turut berduka untuk Ardan."     

"Ah itu, Bapak sudah tenang sekarang," sahut Bara.     

Bara dan Bang Ojal kemudian melepaskan jabat tangan mereka. Bang Ojal lalu beralih pada Pak Agus yang masih berdiri di belakang Pak Haryo. "Pak." Ia menyapa Pak Agus sambil tersenyum.     

Pak Agus menanggapinya dengan sebuah anggukan pelan.     

"Ayo, kita masuk dulu," ajak Pak Haryo.     

Bang Ojal mengangguk. Pak Haryo segera melangkah masuk ke dalam kediamannya. Bang Ojal dan yang lainnya segera melangkah mengikutinya.     

Pak Haryo meminta Bang Ojal untuk menunggunya di teras dekat kolam renang. Sementara Pak Haryo dan yang lainnya pergi ke kamar masing-masing untuk membersihkan diri.     

Selagi menunggu, Bang Ojal berkeliling di sekitar teras. Ada yang menganggu pikirannya ketika ia akhirnya bertatap muka secara langsung dengan Bara. Tanpa sadar ia menyentuh bekas luka yang ada di dahinya. "Apa dia sudah ingat kejadian itu?" Bang Ojal membatin sambil mengusap-usap bekas lukanya.     

*     

Sementara anak buahnya pergi mengejar Sang Ibu, Bang Ojal memilih untuk menunggu di tepi jembatan penghubung antar desa. Ia menduga, Sang Ibu sudah menyembunyikan putranya tidak jauh dari tempat mereka mengejarnya. Ia melakukannya karena tadi ia melihat wanita tersebut berlari seorang diri ke arah yang berlawanan. Dengan sabar Bang Ojal menanti di dalam mobilnya. Meski hujan di luar semakin deras. Ia lalu menyalakan rokoknya untuk mengusir rasa bosan sambil terus memandang ke arah jembatan.     

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Ketika hendak menyalakan rokok keduanya, samar-samar Bang Ojal melihat seorang anak laki-laki merangkak keluar dari celah-celah jembatan. Bang Ojal menyeringai senang dan kembali memasukkan rokok yang sudah ia keluarkan ke dalam bungkusnya. Ia pun segera berjalan keluar.     

Bang Ojal melihat anak laki-laki itu melangkah takut-takut di tengah guyuran hujan. Diam-diam Bang Ojal mengikutinya. Menyadari ada yang mengikutinya, anak laki-laki tersebut mempercepat langkahnya. Bang Ojal pun ikut mempercepat langkahnya. Ketika anak itu hendak berlari, Bang Ojal segera menarik bagian belakang baju anak laki-laki itu hingga ia jatuh terpelanting ke tanah.     

Bang Ojal terkekeh melihat anak itu kembali berusaha untuk berdiri. "Jadi, kamu mau bermain-main dulu." Anak itu memandang wajah Bang Ojal dengan penuh ketakutan. Bang Ojal membalasnya dengan menyeringai lebar. "Silahkan kalau kamu mau lari."     

Anak laki-laki itu bangkit berdiri dan berusaha lari dari Bang Ojal. Akan tetapi, begitu ia berhasil berdiri, Bang Ojal kembali menariknya hingga ia kembali terpelanting ke trotoar jalan. Berulang kali Bang Ojal membiarkan anak laki-laki mencoba untuk berdiri, dan berulang kali pula Bang Ojal membuat tubuhnya terjerembap mencium aspal.     

Anak laki-laki itu meringis menahan rasa sakit di tubuhnya. Bang Ojal berjongkok di samping tubuhnya. "Bagaimana? Kamu sudah menyerah?"     

Di tengah ketidakberdayaannya, Bang Ojal bisa merasakan mata anak laki-laki tersebut yang menatapnya penuh amarah. "Atau kamu mau saya habisi sekarang?"     

Anak itu kembali mencoba untuk bangkit. "Oh, masih mau coba lari." Bang Ojal menatapanya sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Keras kepala sama bodoh memang beda tipis." Dalam satu hentakan, Bang Ojal kembali membuat tubuh anak laki-laki itu kembali terjatuh.     

Bang Ojal segera menindihnya. "Saya sudah bosan bermain-main, ini saatnya kamu menjemput ajal kamu." Bang Ojal kemudian mencekiknya. Tidak mau menyerah, anak laki-laki itu terus berusaha melawan. Tiba-tiba sebuah batu menghantam dahi Bang Ojal dengan cukup keras. Bang Ojal terkejut dan melepaskan leher anak laki-laki tersebut.     

"Bocah sialan," maki Bang Ojal sambil memegangi dahinya yang kini berlumuran darah. "Saya habisi kamu." Bang Ojal murka dan hendak kembali mencekik anak laki-laki itu. Namun anak laki-laki itu segera menghindar. Bang Ojal terdiam di tempatnya begitu menyadari tubuh bocah tersebut yang hilang dari jangkauannya.     

"Bocah bodoh," gumam Bang Ojal ketika ia menyadari bocah itu sudah menghindar ke arah yang salah. Bang Ojal berdiri dan melihat aliran sungai di bawah jembatan. Di tengah aliran yang deras itu, Bang Ojal melihat sekilas kepala anak laki-laki itu yang timbul tenggelam di telan aliran sungai.     

*     

Bang Ojal terus mengingat peristiwa itu sampai tidak menyadari kehadiran Arga yang berdiri di belakangnya.     

"Permisi, Bang," seru Arga.     

Bang Ojal terkaget dan segera menggeser tubuhnya. Rupanya ia sudah berdiri menghalangi pintu menuju teras. "Oh, maaf."     

"Ngga apa-apa, Bang." Arga segera berjalan melewatinya sambil membawa beberapa piring kosong. Arga kemudian meletakkan piring yang ia bawa di meja yang ada di pinggir kolam renang. Setelah itu, ia kembali berjalan masuk ke dalam rumah.     

"Perlu saya bantu?" tanya Bang Ojal ketika Arga kembali berjalan melewatinya. "Kebetulan saya juga ngga ngapa-ngapain, cuma nunggu Bapak dan yang lainnya."     

Arga menyambut tawaran Bang Ojal dengan senang hati. "Oh, boleh, Bang. Kebetulan, ikan-ikannya masih di belakang."     

"Saya bantu kalau begitu." Bang Ojal menghampiri Arga.     

Arga berjalan di depan Bang Ojal untuk menuju dapur tempat ikan-ikan hasil tangkapan mereka dibersihkan oleh Staff dapur. Sementara Bang Ojal berjalan mengekor di belakang Arga.     

----     

Pada saat Arga dan Bang Ojal sedang menyiapkan alat panggang yang akan digunakan untuk membakar ikan. Pak Agus muncul dan segera ikut membantu. Arga mulai menyalakan api pada tungku pemanggang. Bang Ojal sibuk melumuri badan ikan dengan mentega. Dan, Pak Agus sibuk mengaduk-aduk bumbu yang akan digunakan sebagai olesan pada saat membakar ikan-ikan tersebut.     

"Wah, sepertinya sudah siap," seru Pak Haryo yang baru saja datang bersama Bara.     

Keduanya segera bergabung. Bara ikut membantu Bang Ojal untuk mengolesi tubuh ikan dengan mentega. Pak Haryo meletakkan ikan-ikan yang sudah diolesi mentega ke atas pemanggang. Setelah Pak Haryo meletakkan ikan-ikan tersebut di atas panggangan, Pak Agus dengan sigap mengolesinya dengan bumbu yang sudah ia racik. Setelah semua tubuh ikan selesai diolesi bumbu, Arga bertugas untuk mengipasi ikan-ikan tersebut. Sesekali ia bergantian mengipasi dengan Bang Ojal.     

-----     

Setelah semua ikan selesai dibakar, mereka segera menikmati ikan bakar tersebut di tepi kolam renang. Lengkap dengan cocolan sambal dan lalapan. Sambil menyantap ikan-ikan bakar tersebut, sesekali mereka saling bertukar canda.     

Saat sedang menikmati makanannya, Bara tidak sengaja memperhatikan tato bergambar kepala elang yang ada di lengan kiri Bang Ojal. Tato itu baru terlihat setelah Bang Ojal melepaskan jaket kulit yang ia kenakan. Entah mengapa Bara merasa tidak asing dengan tato kepala elang tersebut. Ia mencoba untuk mengingat-ingat di mana ia pernah melihat tato tersebut.     

Tiba-tiba muncul potongan-potongan ingatan samar seperti mimpi buruk yang sering dialaminya. Bara meringis menahan sakit kepala yang kembali ia rasakan ketika ia kembali mencoba menggali ingatan lamanya.     

Suara seseorang yang mengatakan ingin menghabisi nyawanya. Dirinya yang berulang kali terpelanting ke aspal. Dan sepasang tangan yang mencengkeram erat lehernya hingga membuatnya kesulitan untuk bernapas. Semuanya muncul dalam kepingan-kepingan ingatan samar.     

Bara terus berusaha menggali ingatannya meskipun sakit yang ia rasakan semakin menyiksa hingga tanpa sadar tubuhnya merosot terjatuh.     

Semua yang ada di meja makan segera menghampiri Bara yang tiba-tiba terjatuh. Bara masih setengah sadar ketika ia melihat Pak Haryo mulai mengguncang tubuhnya. Ia tetap berusaha menggali ingatannya tentang malam itu. Pada saat itu, Bang Ojal meraih kepala Bara dan meninggikannya agar Bara tidak kesulitan bernapas. Akan tetapi, apa yang dilakukan Bang Ojal justru membuat Bara bisa melihat tato yang dimilikinya dari jarak yang sangat dekat. Bara mendongak pelan menatap siluet Bang Ojal yang mulai mengabur dari pandangannya. Bara sudah mencapai kesimpulannya. Tato itu tato yang sama dengan yang dimiliki orang yang pernah berusaha membunuhnya malam itu.     

----     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.