Bara

Manuver 1



Manuver 1

0"Brak!" Kimmy membuka pintu ruang kerja Damar dengan keras, hingga membuat Damar mendongakkan kepalanya yang sedang ia sandarkan di meja kerjanya.     
0

Damar menghela napas pasrah melihat Kimmy yang berjalan masuk dengan wajah kesal.     

"Lu abis ngapain semalem, Mas?" tanya Kimmy tanpa berbasa-basi.     

Damar menggeleng pelan. "Cuma minum seperti biasa."     

"Minum seperti biasa, kok, sampai dijemput Papa segala," cibir Kimmy.     

"Itu kerjaannya si Rico aja," sahut Damar.     

"Lu kenapa belakangan ini sering minum, sih, Mas? Lu lagi banyak pikiran?"     

"Ngga, kok. Mungkin karena kerjaan gue lagi banyak, gue jadi agak stres dan butuh sesuatu buat ngilangin stres. Lu makanya bantuin gue, dong." Damar mencoba untuk menggoda Kimmy.     

"Suruh siapa, lu nurutin kemauan Eyang."     

"Ya, gue juga ngga bisa nolak. Emangnya lu mau jadi CEO? Kalau lu mau, gue bakal mundur saat ini juga."     

"Lu jangan mulai, deh, Mas," ujar Kimmy. Ia tidak ingin memulai kembali pembahasan tentang posisi Damar.     

"Gue serius. Kalau lu mau gantiin gue, gue bersedia mundur sekarang juga," sahut Damar.     

Kimmy memperhatikan ekspresi wajah Damar ketika mengucapkan kata-katanya. Tidak ada gurat canda di wajahnya. Damar benar-benar serius dengan ucapannya.     

"No," jawab Kimmy singkat.     

"Kalau lu ngga mau, jangan mulai mengungkit kenapa gue mau ada di posisi gue saat ini. Paham?"     

Melihat Damar yang tiba-tiba berubah tegas membuat Kimmy sedikit merasa tidak enak. Ia lalu mengangguk pelan.     

"Good, ngomong-ngomong, tumben, hari senin lu ke kantor?" tanya Damar penasaran yang melihat kedatangan Kimmy di kantor.     

"Gue gantiin Bara di meeting hari ini," aku Kimmy.     

"Dia ngga ke kantor?"     

Kimmy menggeleng. "Kemarin Pak Agus bilang, Bara tiba-tiba sakit. Jadi, gue diminta buat gantiin dia hari ini."     

Damar mengernyitkan dahinya mendengar penjelasan Kimmy. Tadi Bara menelponnya dan dari nada bicaranya tidak ada tanda-tanda kalau Bara sedang sakit. Bara justru terdengar sangat bersemangat.     

"Ngomong-ngomong, Mas," sela Kimmy.     

Damar segera kembali mengalihkan perhatiannya pada Kimmy. "Kenapa?"     

"Lu mau ke Jerman?"     

"Siapa yang bilang?" Damar balik bertanya pada Kimmy.     

"Papa."     

"Kapan gue bilang mau ke Jerman?"     

"Semalem. Kata Papa, lu bilang, lu mau liburan panjang di Jerman."     

Damar berdecak heran. "Pasti gue ngomong begitu pas lagi mabuk. Omongan orang mabok, kok, dipercaya."     

"Biasanya apa yang diomongin orang mabok itu bener-bener dari dalam hatinya. Karena ngga bisa bilang pada saat mereka sadar, akhirnya keinginan mereka ngga sengaja terucap pas mereka lagi mabuk," timpal Kimmy.     

"Sok tahu, lu," sahut Damar.     

"Gue ikut, ya, kalau lu beneran mau liburan ke Jerman," pinta Kimmy.     

Damar segera menggeleng. "Nein, ich mochte geht alleine."     

"Bitte, ja?" Kimmy sedikit merajuk pada Damar.     

"Nein," sahut Damar tegas.     

Kimmy memonyongkan bibirnya. "Du bist schlecht, sehr schlecht."     

"Es ist mir egal." Damar menjulurkan lidahnya pada Kimmy.     

Kimmy semakin memonyongkan bibirnya. Sementara Damar menahan tawanya melihat tingkah laku adik perempuannya itu ketika sedang merajuk.     

"Mein Schweinen," ujar Damar sambil mengacak-acak rambut Kimmy. "Warum siehst du so gross aus?" Damar kemudian beralih mencubit kedua pipi Kimmy.     

"Ich hasse dich," ujar Kimmy kesal. "Ich gehe jetzt."     

Kimmy kemudian pergi meninggalkan ruang kerja Damar.     

Damar tersenyum memandangi Kimmy yang berjalan keluar dari ruang kerjanya. "Ich liebe dich so sehr, meine Schwester."     

----     

"Sekarang kita mau ke mana lagi?" Tanya Arga ketika mereka mulai memasuki kawasan Jakarta Timur.     

"Nanti juga lu tahu," jawab Bara.     

Bara lalu memandu Arga untuk membawa kendaraan mereka menuju sebuah kawasan perkampungan. Tidak jauh dari pintu masuk kawasan tersebut, ada sebuah tanah lapang yang biasa digunakan anak-anak untuk bermain sepak bola. Saat Bara memasuki tanah lapang tersebut, ada beberapa anak muda yang sedang duduk-duduk di warung kecil yang ada di seberang tanah lapang tersebut.     

"Titip, ya," ujar Bara ketika melewati anak-anak muda tersebut.     

"Tenang aja, Bos," sahut salah satu anak muda yang ada di sana.     

Bara kemudian kembali melanjutkan langkahnya untuk masuk ke dalam sebuah gang kecil dengan deretan kontrakan-kontrakan yang nampak sesak berjejalan di sana. Bara sesekali tersenyum pada ibu-ibu yang kebetulan sedang duduk di depan kontrakannya.     

"Ini mau ke tempat siapa, sih, Bar?" tanya Arga yang sedikit curiga dengan tempat yang ia datangi. "Tampangnya pada kaya preman semua."     

Bara terkekeh pelan. "Kita mau ketemu preman yang pernah ngeroyok gue dulu."     

Arga terperanjat mendengar jawaban Bara. "Ah, lu, gila. Mau ngapain kita dateng ke sarang preman begini."     

"Lu tenang, aja." Bara berusaha untuk menenangkan Arga.     

"Kalo di keroyok, kita pasti kalah jumlah," sahut Arga.     

"Ngga bakal ada yang berani ngeroyok kita."     

"Sok tahu, lu."     

Bara terkekeh. "Ya, tahu, lah. Tuh liat." Bara meminta Arga untuk menoleh ke arah salah satu rumah kontrakan yang ada di sudut gang tersebut. Rumah kontrakan itu nampak lebih besar jika dibandingkan dengan rumah kontrakan yang lain.     

Arga melongo begitu melihat Bang Ojal sudah berdiri di depan rumah kontrakan tersebut. "Kok, Bang Ojal bisa ada di sini?"     

"Nah, itu rumahnya Bang Ojal."     

"Katanya kita mau ketemu preman yang pernah--" Arga menghentikan ucapannya.     

Bara menoleh sembari memainkan alisnya. "Mereka udah di rumah Bang Ojal."     

Arga melongo.     

Bara mengangkat bahunya dan berjalan menghampiri Bang Ojal. "Gimana, Bang?"     

"Tuh," Bang Ojal menunjuk pada preman yang sedang terduduk di lantai rumahnya. Ada lima orang preman yang sedang terduduk di lantai rumah Bang Ojal. Mereka duduk berhimpitan dengan kedua tangan yang terikat.     

Bara berjongkok dan memperhatikan para preman itu satu per satu. Ia kemudian menyeringai ketika melihat seorang preman yang sedang memalingkan wajahnya. "Akhirnya kita ketemu lagi."     

Preman itu menoleh dan menatap Bara. "Mau apa lu? Lu mau bales dendam sama gue?"     

Bang Ojal yang berdiri di belakang Bara, segera menoyor kepala preman tersebut. "Hati-hati kalo ngomong."     

Preman itu mendongak dan menatap tajam pada Bang Ojal. Seketika preman tersebut kembali merundukkan kepalanya ketika Bang Ojal balas menatapanya dengan tatapan seakan Bang Ojal siap untuk melahapnya setiap saat.     

"Gue ngga mau balas dendam," ujar Bara. "Gue justru mau lu semua kerja buat gue."     

Bara menatap mata preman yang pernah menusuknya lamat-lamat. Ia tidak pernah menyangka akan kembali bertemu dengan preman itu. Ia kemudian tersenyum dan menepuk bahu preman tersebut. "Sejujurnya, gue harus bilang terima kasih sama kalian. Kalau bukan karena kalian, gue ngga bakal ada disini sekarang."     

Preman itu terkejut dengan ucapan Bara dan mulai kembali menatap Bara. "Siapa lu sebenernya?"     

"Gue?" Bara menunjuk dirinya sendiri. "Gue Bara."     

Preman itu menatap Bara tak percaya. Pria muda yang ada di hadapannya saat ini memang Bara. Namun, ia juga tidak percaya pemuda itu seratus persen Bara yang pernah ia kenal. Mereka berdua seperti dua sisi koin yang berbeda. Bara yang dahulu ia kenal adalah Bara yang bisa dengan mudah ia tekan, tidak berdaya, tidak punya apa pun, bahkan ia memohon hanya untuk memperpanjang pembayaran hutangnya.     

Bara yang kini berhadapan dengannya terlihat lebih kuat. Ia bahkan bisa mengendalikan Bang Ojal yang terkenal sebagai preman bengis. Tatapan matanya bukan lagi tatapan mata Bara yang memohon padanya malam itu. Melainkan tatapan seseorang yang sangat dingin dan terlihat sanggup melakukan apa pun hanya dalam sekali perintah.     

"Gue harus ngapain?" tanya preman itu pada Bara.     

"Gue cuma perlu lu buat ngawasin orang. Gampang, kan?"     

"Siapa?"     

Bara menoleh pada Bang Ojal dan memberinya isyarat untuk melepaskan ikatan yang melilit tangan preman-preman tersebut. Bang Ojal segera menuruti perintah Bara dan menggunting kabel tis yang sedari tadi mengikat tangan preman tersebut.     

Preman itu kembali terpaku melihat Bang Ojal yang segera menuruti perintah yang Bara berikan dengan hanya sebuah anggukan pelan. Ia lalu mengusap pergelangan tangannya yang memerah akibat ikatan yang tadi membelenggu tangannya. Tiba-tiba ia mengayunkan tinjunya ke arah Bara. Ia tidak tahan melihat Bara. Harga dirinya sedikit terluka karena ia tidak berdaya berhadapan dengan Bara.     

Dengan cepat Bang Ojal menangkap tangan preman tersebut. Ia mencengkeramnya dengan kuat. "Mau macem-macem lu?"     

Preman itu mulai mengaduh kesakitan. Bara segera memegang lengan Bang Ojal yang sedang memegangi tangan preman yang hendak meninjunya. Bang Ojal segera melepasnya. Begitu Bang Ojal melepas tangan preman tersebut, dengan cepat Bara memiting tangan preman itu dan menariknya hingga tubuh preman itu mendekat ke arahnya. Bara kemudian meraih leher preman tersebut dengan satu tangannya yang masih bebas.     

Arga yang melihat Bara kembali berubah beringas hanya bisa menahan napasnya. Berharap Bara tidak akan melakukan sesuatu di luar kendalinya.     

"Kayanya, sikap gue tadi masih terlalu baik," ujar Bara sembari menekan kuat leher preman tersebut. "Kalau mau, gue bisa bikin lu menghilang selamanya."     

Preman itu kini menatap Bara dengan penuh ketakutan. Pemuda di hadapannya benar-benar sudah bukan Bara yang ia pernah ia kenal. Ia mengangguk. "Gue bakal kerja buat lu."     

Sekali lagi Bara menekan leher Preman tersebut. "Jangan sekali-kali lu coba buat kabur."     

Preman itu kembali mengangguk dengan penuh ketakutan.     

"Bagus." Bara melepaskan cengkramannya dan sedikit mendorong tubuh Preman itu hingga membentur tembok yang ada di belakangnya.     

"Abang aja yang urus sisanya," ujar Bara pada Bang Ojal. Keduanya menatap pada Preman itu.     

"Biar gue yang urus mereka," sahut Bang Ojal. Ia memelototi para Preman itu bergantian. Semuanya menunduk takut pada Bang Ojal.     

Bara kembali mengalihkan perhatiannya. "Gue balik dulu, Bang."     

Bang Ojal menganggukkan kepalanya. "Perlu gue anter ke depan ngga?"     

"Ngga usah, Bang. Abang urus mereka aja."     

"Serahin aja sama gue."     

Bara mengangguk pada Bang Ojal lalu segera pergi keluar dari rumah kontrakan Bang Ojal. Arga berpamitan pada Bang Ojal sebelum ia berjalan menyusul Bara.     

Ketika mereka tiba di warung kecil yang ada di dekat tanah lapang tempat mereka memarkirkan mobilnya. Bara memanggil salah satu dari mereka.     

"Makasih, ya. Udah jagain mobil gue," seru Bara sambil menyelipkan selembar uang seratus ribuan pada pemuda tersebut.     

Pemuda itu menyambut uang pemberian Bara sambil tersenyum riang. "Makasih, Bang."     

Bara mengangguk sekilas dan melanjutkan langkahnya menuju kendaraannya. Arga sudah duduk menunggunya di balik kemudi. Sementara pemuda itu kembali menghampiri kawan-kawannya sambil mengibas-ngibaskan uang pemberian Bara.     

"Mau kemana lagi kita?" tanya Arga ketika Bara sudah duduk di sebelahnya.     

"Kita harus ketemu satu orang lagi," jawab Bara.     

"Siap, laksanakan," seru Arga. Mobil yang mereka tumpangi pun akhirnya bergerak meninggalkan tanah lapang tersebut.     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.