Bara

Manuver 2



Manuver 2

0Dirga berdiri di depan jendela lantai dua kediaman pribadinya sambil sesekali menoleh ke arah bawah. Entah sudah berapa batang rokok sudah ia habiskan sambil menunggu tamu yang sangat ia tunggu kehadirannya itu.     
0

"Akhirnya kita akan bertemu," gumam Dirga ketika melihat sebuah mobil Jeep Wrangler hitam berhenti di gerbang depan rumahnya.     

Seorang Asisten rumah tangga berjalan mendekati gerbang dan segera membukanya. Melihat mobil itu masuk ke dalam pelataran rumahnya, Dirga pun segera melangkah keluar dari dalam ruang kerjanya.     

----     

Bara melangkah keluar dari dalam mobilnya dan memperhatikan rumah yang saat ini ia datangi. Seorang pria muncul dari dalam rumah dan segera menyambut Bara.     

"Akhirnya kita bertemu," pria itu mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Bara.     

Bara segera menyambut jabat tangannya. "Saya juga penasaran pada penyidik yang berhasil menemukan jejak saya dan membawa saya kembali pada keluarga saya. Saya harus berterima kasih sama Bapak."     

Dirga tersenyum mendengar ucapan Bara. "Tidak perlu dibesar-besarkan. Mari masuk." Dirga membimbing Bara dan Arga untuk masuk ke dalam rumahnya.     

"Eyang titip salam," ujar Bara ketika ia melangkah di sebelah Dirga.     

"Bagaimana keadaan Bapak? Saya belum dengar kabar beliau dari Pak Agus."     

"Kondisi Eyang cukup bagus. Dia banyak menghabiskan waktu untuk memancing."     

Dirga tertawa pelan. "Siapa korbannya kali ini?"     

"Ini." Bara merangkul Arga. "Hampir setiap hari mereka mancing bersama."     

"Wah, bagus. Itu tandanya Bapak nyaman sama kamu," sahut Dirga.     

Arga yang mendengarnya hanya bisa tersenyum kikuk. Dirinya hampir mati bosan karena diajak memancing setiap hari oleh Pak Haryo, tetapi pria di hadapannya malah memujinya bahwa itu tanda Pak Haryo nyaman dengan kehadiran Arga.     

"Sebaiknya kita langsung ke ruang kerja saya," seru Dirga. Ia lalu berjalan menuju lantai dua rumahnya. Bara dan Arga berjalan mengikutinya.     

Setibanya di lantai dua, mereka kemudian masuk ke dalam ruangan yang pintunya sedikit tersembunyi. Awalnya Bara dan Arga mengira itu adalah lemari pajangan. Namun, ketika Dirga membukanya, ternyata itu adalah pintu menuju ruang kerja Dirga.     

Begitu masuk ke dalam ruang kerja Dirga, Bara dan Arga mengedarkan pandangannya dan takjub dengan ruang kerja Dirga yang sangat rapi. Tidak seperti ruang kerja penyidik yang selalu ditampilkan dalam film yang berantakan dengan berkas-berkas yang tergeletak di sana-sini.     

Hanya ada satu set meja tamu, meja kerja, dan beberapa lemari kaca berisi buku-buku dan piagam penghargaan.     

Bara lalu duduk di depan meja kerja Dirga dan memperhatikan sekeliling meja kerjanya. Pandangannya kemudian tertuju pada lemari berisi piagam penghargaan yang pernah diraih Dirga yang terletak tepat di samping meja kerja Dirga. Bara kembali berdiri dan menghampiri lemari tersebut. Ia ingin melihatnya lebih dekat. "Boleh saya lihat itu?"     

"Silahkan." Dirga mempersilahkan Bara untuk mendekat pada lemari kaca berisi piagam miliknya.     

Bara memperhatikan satu per satu piagam yang pernah diraih Dirga. "Sepertinya Bapak bukan prajurit biasa," ujar Bara ketika melihat semua piagam milik Dirga.     

"Itu semua tidak terlalu berharga sekarang," sahut Dirga. "Mereka tetap memaksa saya untuk keluar dari kesatuan."     

"Kalau saya boleh tahu, kenapa Bapak dipaksa keluar dari kesatuan Bapak?" tanya Bara.     

Dirga menghela napasnya. "Semua karena preferensi seksual saya."     

"Jadi maksud Bapak?"     

Dirga mengangguk. "Ya, persis seperti apa yang kamu pikirkan. Awalnya saya menyembunyikan hal itu, tapi salah satu rekan saya mengetahuinya lalu melaporkannya kepada atasan. Beruntung mereka masih memberikan saya pilihan untuk mundur secara sukarela mengingat saya prajurit yang cukup berprestasi. Dan, akhirnya saya mundur."     

Bara menganggukkan kepalanya mendengar penjelasan yang dikatakan Dirga. "Maaf, saya sudah mengungkitnya."     

"Ah, itu bukan masalah lagi sekarang. Tidak perlu meminta maaf. Lagipula saya lebih menikmati hidup saya yang sekarang."     

Bara kembali menyapukan pandangannya pada isi lemari kaca milik Dirga. Pandangannya kemudian tertuju pada sebuah foto. "Itu foto kesatuan Bapak?"     

Dirga membuka lemari kacanya dan mengambil foto tersebut. Ia memandangi sekilas foto tersebut dan memberikannya pada Bara. Bara menerimanya dan memperhatikan satu per satu wajah yang ada di dalam foto tersebut.     

"Ini?" Bara menunjuk pada salah satu wajah yang ada di dalam foto tersebut. "Hanggono?"     

Dirga mengintip pada foto yang sedang dipegang Bara. Ia lalu menatap Bara. "Ya, dia dulu atasan saya di kesatuan."     

"Eyang tahu?"     

"Dia tahu."     

Bara seketika bisa memahami maksud perkataan Pak Haryo tentang kemungkinan mereka bisa mengusik Hanggono.     

"Karena kamu sudah datang kesini, mari saya tunjukkan sesuatu." Dirga meminta Bara untuk mendekat ke arah meja kerjanya.     

Bara segera melangkah kembali menuju meja kerja Dirga. Ia lalu meletakkan foto milik Dirga diatas meja kerjanya.     

Dirga mengeluarkan sebuah diska lepas dari laci mejanya. Ia lalu menyambungkan diska lepas tersebut ke laptop miliknya dan menyerongkan laptopnya agar Bara bisa melihat isinya.     

Bara melihat isi diska lepas yang ditunjukkan Dirga. Ia terheran-heran karena isi diska lepas itu mengenai orang-orang yang ada di sekitar Pak Haryo termasuk dirinya.     

"Ini laporan yang saya siapkan untuk Hanggono," ujar Dirga.     

Bara mengernyitkan dahinya. Ia tidak mengerti kenapa Dirga mengatakan itu semua. "Kenapa Bapak memberitahu semua ini ke saya?"     

"Saya harus dapat persetujuan dari kamu sebelum saya memberikan ini untuk Hanggono."     

"Persetujuan saya?" tanya Bara terheran-heran.     

Dirga mengangguk. "Meskipun dia mantan atasan saya, tapi saya lebih memilih untuk memberikan kesetiaan saya pada keluarga Pak Haryo. Pak Haryo yang selama ini membantu saya melewati masa-masa setelah saya keluar dari kesatuan, bukan mereka. Kalau pun mereka membantu saya, itu semua tidak gratis. Kamu tahu, lah, maksud saya."     

"Ya, saya mengerti," sahut Bara.     

"Lalu bagaimana? Apakah informasi ini sudah cukup untuk saya berikan pada Hanggono?"     

Bara sekali lagi membaca informasi yang dituliskan Dirga.     

"Oh iya, saya menemukan sesuatu yang menarik tentang sepupu laki-laki kamu," seru Dirga.     

"Damar?"     

"Iya, Damar. Hanggono juga meminta saya untuk menyelidiki Damar."     

"Ada apa dengan Damar?"     

"Kamu pasti terkejut dengan apa yang saya temukan." Dirga kemudian membuka informasi tentang Damar.     

Bara membacanya dengan seksama. "Bapak menyelidiki sampai ke catatan medis milik Damar?"     

"Semuanya saya selidiki, sampai saya berkesimpulan bahwa Damar bukanlah anak kandung Pak Bima. Dari hasil catatan medis ini bisa dilihat bahwa golongan darah yang dimiliki Damar tidak cocok dengan keluarga Pak Bima. Saya bahkan sampai menyelidiki mendiang istri Pak Bima."     

Bara terbelalak tidak percaya.     

"Kamu lihat ini." Dirga membuka berkas berisi informasi tentang Pak Bima, mendiang istri Pak Bima, Kimmy dan Damar. "Kamu lihat golongan darah Pak Bima dan Grace istrinya?"     

Bara membaca cepat informasi yang ditunjukkan Dirga. "Golongan darah mereka A." Bara kemudian beralih membaca informasi tentang Kimmy. "Kimmy juga A, tapi Damar--" Bara terpaku melihat informasi tentang Damar. "Golongan darah Damar O." Bara terdiam sesaat, ia menatap Damar. "Ngga mungkin."     

"Satu lagi, Damar alergi terhadap wortel. Saya menyelidiki riwayat alergi yang dimiliki keluarga kalian. Tidak ada yang memiliki riwayat alergi serupa. Bahkan tidak ada yang alergi terhadap serbuk sari di keluarga kalian."     

"Saya kurang paham maksud Bapak."     

"Alergi terhadap wortel hampir mirip dengan alergi terhadap serbuk sari atau bunga. Kalau di keluarga kalian tidak ada yang memiliki alergi tersebut. Lantas kenapa hanya Damar yang memiliki alergi tersebut. Saya tahu, alergi itu tergantung banyak faktor. Tetapi, tetap saja ada korelasinya dengan faktor genetik."     

Bara terkesiap dengan penjabaran yang diberikan Dirga. Hal ini benar-benar di luar dugaannya.     

"Eyang sudah tahu tentang ini?"     

Dirga menggeleng.     

"Kalau begitu, simpan ini diantara kita berdua saja."     

"Halo, ada gue di sini. Gue bukan pajangan, kan?" Arga tiba-tiba menyela.     

Bara dan Dirga menoleh bersamaan ke arah Arga yang sedari tadi duduk di kursi yang ada di sebelah Bara. Namun, keduanya seperti melupakan kehadiran Arga ketika mulai membicarakan tentang Damar.     

"Kalau begitu, informasi ini cuma diantara kita bertiga aja." Bara mengoreksi ucapannya.     

Dirga dan Arga menganggukkan bersamaan.     

Arga sama terkejutnya dengan Bara ketika mendengar penjelasan Dirga tentang Damar. Dan kini, ia turut memegang rahasia tersebut.     

Bara kembali mengalihkan perhatiannya pada laptop Dirga. Ia kembali membaca informasi tentang Damar. Bara nampak tidak tenang dengan informasi yang baru saja diberikan Dirga.     

"Kira-kira siapa lagi yang mengetahui hal ini?" tanya Bara pada Dirga.     

"Sepertinya hanya Bima yang tahu. Saya sendiri tidak yakin siapa lagi yang tahu. Kalau Pak Haryo saja tidak mengetahuinya, kemungkinan Bima menyimpan rahasia ini sendirian."     

"Apa ada bukti adopsi atau surat-surat lainnya, Pak?"     

"Tidak ada. Pada akte kelahiran milik Damar tertulis dia anak Bima dan Grace istrinya. Tapi, saya jadi meragukan keaslian akte lahir tersebut."     

"Apa yang ngga bisa dibikin kalau punya duit, yang ngga ada pun, bisa dibikin jadi ada," timpal Arga.     

"Nah." Dirga menyetujui apa yang baru saja dikatakan Arga.     

"Ini jadi makin berbahaya buat Damar," gumam Bara. "Gue harus bicara empat mata sama dia." Bara kemudian mengeluarkan ponselnya dan mengirim pesan pada Damar.     

----     

Ditengah-tengah dirinya sedang berbicara tentang keputusan untuk mengatasi masalah dengan supplier bahan baku untuk produk terbaru yang akan dikeluarkan anak perusahaan MG Group, sebuah pesan masuk ke ponselnya. Damar melirik sejenak dan melihat nama pengirim pesan.     

"Bara?" batin Damar.     

Damar terdiam sejenak. Para anggota rapat yang lain memperhatikan Damar yang tiba-tiba terdiam. Kimmy ikut memperhatikan Damar yang tiba-tiba terdiam.     

Pak Angga berdeham lalu berdeham hingga membuat Damar kembali tersadar. "Oh, maaf."     

Damar lalu kembali melanjutkan penjelasannya meski ia sedikit penasaran dengan isi pesan dari Bara, karena ia belum sempat membuka pesan tersebut. Bara tidak akan mengirimkan pesan padanya jika bukan karena ada sesuatu yang ingin ia bicarakan.     

----     

Melihat Damar yang belum membalas pesannya, Bara menduga Damar masih berada di tengah-tengah rapat bulanan.     

"Saya serahkan informasi tentang Mas Damar pada Mas Bara." Dirga memberikan sebuah diska lepas pada Bara.     

"Bagaimana dengan informasi yang Hanggono minta?" tanya Bara.     

"Tenang saja, saya tinggal mengakalinya sedikit. Hanggono ngga akan tahu tentang ini," sahut Dirga.     

"Tapi, untuk berjaga-jaga, saya mau Bapak juga mencari tahu, apakah Hanggono punya informan lain atau tidak," ujar Bara.     

"Serahkan saja pada saya," timpal Dirga.     

Bara menerima diska lepas pemberian Dirga dan segera memasukannya ke dalam kantung jaketnya. Ia menggenggam erat diska lepas itu. Informasi ini bisa menghancurkan Damar dalam sekejap.     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.