Bara

Reminisce 5



Reminisce 5

0Setelah perjalanan darat yang panjang, menjelang siang, Rania tiba di pulau Dewata, Bali. Rania segera pergi ke rumah guru lukisnya yang berada di kawasan Ubud. Sang guru begitu terkejut ketika melihat Rania muncul di depan rumahnya. Pak Ketut tidak percaya dengan apa yang dilihatnya dan terpaku di serambi rumahnya, sementara Rania langsung berlari memeluk Pak Ketut. Tangisnya kembali pecah.     
0

"Ada apa ini? Kok kamu ada di sini? Bukannya kamu--" tanya Pak Ketut kebingungan.     

"Mahesa, Bara," ujar Rania sambil menangis tersedu-sedu.     

Seorang asisten Pak Ketut keluar membawa baki berisi teh hangat dan terdiam membeku di bibir pintu begitu melihat Pak Ketut sedang dipeluk oleh Rania. Baki yang dibawanya tanpa sengaja terjatuh. "Rania?" ujarnya tidak percaya.     

Rania melepaskan pelukannya dari Pak Ketut dan menghapus air matanya.     

"Iya, saya harusnya mati dalam kecelakaan itu," ujar Rania lirih.     

Asisten Pak Ketut tergagap begitu mendengar ucapan Rania. "Bagaimana bisa?" ujarnya penuh tanya.     

"Ada apa ini sebenarnya?" Pak Ketut semakin kebingungan.     

Rania diam tidak menjawab pertanyaan Pak Ketut dan asistennya. Rania justru jatuh terduduk di hadapan Pak Ketut dan kembali mengeluarkan tangisnya. Tangisnya terdengar sangat menyayat hati. Melihat itu, asisten Pak Ketut kemudian ikut duduk di sebelah Rania dan memeluknya erat. Pak Ketut semakin bingung dengan apa yang sedang terjadi. Dia menatap asistennya dengan tatapan penuh tanya. Namun, asistennya memberi isyarat pada Pak Ketut untuk tetap diam dengan mengacungkan telunjuk di depan bibirnya. Pak Ketut hanya mengangguk pasrah. Dia percaya apa yang dilakukan oleh asistennya itu pasti beralasan.     

Setelah tangis Rania mulai mereda, asisten Pak Ketut segera membawa Rania masuk ke dalam rumah Pak Ketut. Dia kemudian membiarkan Rania untuk beristirahat di dalam kamarnya. Setelah itu, dia kembali keluar untuk menemui Pak Ketut. Pak Ketut sudah menunggunya di serambi rumah.     

Pak Ketut segera memberondongnya dengan pertanyaan. "Apa Rania sudah tenang? Apa dia cerita sesuatu?"     

Asisten Pak Ketut hanya menggeleng.     

"Pasti ada sesuatu di balik kecelakaan itu," ujar Pak Ketut penasaran.     

Asisten Pak Ketut mengangguk setuju. "Apa kita perlu menelpon mertuanya, Pak?" tanyanya.     

Pak Ketut terdiam sejenak sebelum menjawab pertanyaan yang diajukan asistennya, "Saya rasa kita harus tunggu sampai Rania menceritakan semuanya."     

"Ya sudah kalau begitu, saya keluar dulu, Pak."     

"Kamu mau kemana?"     

"Saya mau panggil Balian kesini, Rania sepertinya perlu diobati."     

Pak Ketut menghela napasnya. "Biar saya yang panggilkan Balian. Kamu di sini saja jaga Rania."     

Asistennya tidak membantah. "Inggih, Pak."     

Pak Ketut segera keluar dari rumahnya untuk menuju rumah salah satu Balian kenalannya.     

-----     

Asisten Pak Ketut mengetuk pintu kamarnya yang kini ditempati Rania untuk mengajaknya makan malam. Rania diam tidak menjawab. Setelah di obati oleh seorang Balian kenalan Pak Ketut, Rania tertidur pulas di dalam kamar. Seluruh luka-lukanya sudah di obati menggunakan ramuan tradisional racikan Sang Balian.     

"Mbok boleh masuk?" tanya Asisten Pak Ketut dari luar kamar.     

Tetap tidak ada jawaban dari dalam kamar.     

"Apa dia masih tidur?" gumam Asisten Pak Ketut pada dirinya sendiri.     

Asisten Pak Ketut kemudian mencoba untuk mendorong pintu kamarnya. Ternyata pintunya tidak terkunci. Ia pun segera membukanya dan melangkah masuk ke dalam kamar. Begitu masuk ke kamar, dia mendapati Rania sedang duduk bersandar pada kepala ranjang sambil memeluk kedua lututnya.     

Asisten Pak Ketut segera menghampirinya. "Kita makan dulu, nggih?" bujuknya.     

Rania menggeleng pelan.     

Rania menatap Mbok yang sudah duduk di pinggir ranjang. "Kemarin saya berusaha untuk makan, tapi hasilnya, saya malah memuntahkan kembali makanan yang sudah saya makan," ujar Rania pelan.     

"Bagaimana kamu bisa bertahan kalau kamu tidak makan, setidaknya kamu harus makan sedikit."     

"Bagaimana saya bisa makan, Mbok? Dalam semalam, Suami saya meninggal dan anak saya satu-satunya entah bagaimana nasibnya sekarang. Harusnya saya tidak meninggalkan dia hanya demi mengecoh para pengkhianat itu." Rania mulai kembali terisak dan menggelamkan kepalanya pada diantara kedua lututnya.     

Asisten Pak Ketut kemudian membelai lembut kepala Rania. "Mbok tahu kamu sangat sedih, kamu boleh menangis berhari-hari bahkan berbulan-bulan kalau kamu mau, tapi ingat, tidak selamanya kamu bisa seperti itu. Setiap yang hidup harus kembali melangkah maju, kehilangan bukanlah akhir dari dunia. Selama matahari masih bersinar besok pagi, masih ada janji kehidupan yang lebih baik bagi kita semua. Setidaknya kamu harus bertahan untuk menanti kabar dari Bara."     

Rania menengadahkan kembali kepalanya dan dengan serta merta memeluk Mbok yang sudah ia anggap seperti Kakak perempuannya itu. "Ya, saya akan bertahan demi Bara. Tapi, biarkan saya menangis sedikit lagi, Mbok."     

Rania kemudian memeluk Mbok dengan erat. Bulir-bulir air mata kembali membasahi pipinya. Ya, dia harus bertahan. Seberat apa pun itu, dia akan bertahan demi putranya.     

Mbok mengangguk pelan dan membiarkan Rania kembali menangis di pelukannya.     

Pak Ketut yang menunggu seorang diri di meja makan, akhirnya memutuskan untuk menyusul asistennya ke kamar yang saat ini sedang di tempati Rania. Pintu kamarnya terbuka, Pak Ketut sedikit mengintip ke dalam. Rania dan Mbok sedang berpelukan. Melihat itu, Pak Ketut kembali ke meja makan dan kembali duduk menunggu keduanya.     

Ingin rasanya dia segera menelpon Pak Haryo untuk memarahi bahkan mencacinya karena sudah membiarkan Rania terlunta sendirian ke Bali di saat ia baru saja kehilangan Suami dan anaknya. Namun, ia urungkan niatnya. Pak Haryo saat ini juga pasti sedang sangat berduka karena kehilangan putra semata wayangnya sekaligus cucu kesayangannya. Pak Ketut juga tidak habis pikir mengapa di semua berita, disebutkan bahwa Rania turut menjadi korban kecelakaan tersebut.     

Pada saat sedang memikirkan berita yang mengatakan bahwa Rania sudah tiada, Mbok dan Rania muncul di meja makan.     

"Akhirnya kalian berdua datang, saya hampir makan duluan," ujar Pak Ketut.     

"Biasanya juga Bapak makan duluan, tumben sekali menunggu kami berdua," sindir Mbok pada Pak Ketut.     

"Kan, sudah lama kita tidak makan bertiga seperti ini." Pak Ketut tidak menanggapi sindiran Mbok, meskipun dirinya sudah gatal sekali ingin membalas sindirannya.     

Pak Ketut kemudian segera menyendokkan makanan ke dalam piringnya. Pak Ketut melihat Rania yang duduk di sebelahnya diam dan tidak menyentuh piring yang ada di hadapannya. Pak Ketut mengisi piring makannya dengan semua lauk yang tersaji di meja makan.     

"Kamu harus makan banyak, karena setelah ini kamu harus memberitahu saya apa yang sebenarnya terjadi," ucap Pak Ketut sambil memberikan piring yang sudah berisi penuh makanan pada Rania.     

"Nggih, Pak." Rania mengangguk. Rania tahu, Pak Ketut bukanlah orang yang terlalu suka berbasa-basi. Bertahun-tahun tinggal bersama Pak Ketut membuat Rania paham dengan sifatnya. Pak Ketut akan langsung bertanya dan meminta penjelasan jika ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Menyadari Pak Ketut yang tidak banyak bertanya saat dirinya baru tiba saja sudah menjadi prestasi tersediri bagi seorang Pak Ketut.     

-----     

Selepas makan malam, mereka bertiga pindah ke serambi rumah. Sambil ditemani seduhan teh beras merah dan ubi rebus, Rania mulai bercerita tentang apa yang sudah menimpanya dan keluarga kecilnya.     

Rania memulai ceritanya. "Ini semua rencana Mahesa."     

"Apa maksud kamu?" tanya Pak Ketut terkejut begitu Rania mengatakan bahwa apa yang terjadi adalah rencana Mahesa.     

"Tapi apa yang sudah direncanakan Mahesa tidak berjalan sesuai rencana awalnya, orang-orang itu berbalik mengkhianati Mahesa."     

Rania berhenti sejenak dan menyesap teh beras kesukaannya. Rania berusaha menenangkan hatinya untuk kembali bercerita pada Pak Ketut dan asistennya.     

"Kamu tidak perlu ceritakan semuanya sekarang kalau kamu belum siap," ujar Mbok sambil mengusap-usap bahu Rania.     

Pak Ketut melirik pada Mbok. Tidak biasanya Mbok bersikap seperti ini. Pak Ketut bahkan sering menyebut Mbok sebagai seorang sosiopat sejati, karena biasanya Mbok tidak pernah mempedulikan perasaan orang lain. Mbok bahkan tidak punya rasa takut pada Pak Ketut. Kalau bukan karena kemampuan negosiasinya yang mumpuni, ingin rasanya Pak Ketut mengganti Asisten pribadinya itu.     

"Ngga apa, Mbok. Saya akan ceritakan semuanya malam ini," ucap Rania mantap.     

Rania kembali melanjutkan ceritanya, dimulai dari penyelidikan yang dilakukan Mahesa sampai rencana gila yang disusun Mahesa. Kalau bukan karena salah seorang di dalam mobil yang membuntutinya mengeluarkan senjata tajam, rencana gila itu tidak akan di jalankan oleh Mahesa. Rencana gila yang kini berakhir menjadi sebuah tragedi.     

Rania juga menceritakan tentang orang-orang yang datang ke kediamannya untuk mencari hasil penyelidikan milik Mahesa. Beruntung hasil penyelidikan Mahesa sudah dipegang oleh Kepala Asisten rumah tangganya dan saat ini sudah ada di tangan Rania.     

"Manusia-manusia keparat," maki Pak Ketut ketika Rania selesai bercerita.     

"Kalau saya jadi kamu, Geg. Saya akan kirimkan santet paling sakti ke mereka semua. Saya akan menusuk mereka mulai dari kemaluan, dada, mata, lalu yang terakhir saya hantam kepala mereka tanpa ampun. Seperti ini," dengan berapi-api Mbok memukul-mukul bantal yang sedang dipegangnya.     

Rania tersenyum sedikit karena merasa terhibur dengan apa yang dilakukan Mbok.     

"Kamu ini, kalau urusan menganiaya orang langsung bersemangat," cibir Pak Ketut.     

"Biar saja. Orang-orang seperti itu memang pantas mendapat santet paling kejam. Bahkan mereka sudah ngga pantas disebut orang," balas Mbok.     

"Lalu kalau bukan disebut orang, mereka mau disebut apa?" tanya Pak Ketut.     

"Lelakut. Bahkan Lelakut saja masih lebih baik daripada mereka," jawab Mbok.     

Rania terkikik pelan mendengarkan Pak Ketut dan Mbok saling membalas cibiran. Kedua orang itu memang tampak seperti Tom dan Jerry di mata Rania. Meski sering beradu argumen atau apa pun, namun keduanya tetap bisa bekerja sama dengan baik. Mendengar Rania terkikik pelan, membuat Pak Ketut dan Mbok kembali mengalihkan perhatiannya pada Rania.     

"Lalu apa yang mau kamu lakukan sekarang?" kini Pak Ketut bertanya pada Rania.     

"Saya belum tahu pasti apa yang harus saya lakukan," jawab Rania.     

"Sudah pasti kamu harus segera menyerahkan bukti-bukti itu pada Haryo," ujar Pak Ketut tegas.     

"Saya tidak bisa memberikannya sekarang, saat ini Bapak pasti sedang fokus menyelidiki kecelakaan yang menimpa Mahesa," ujar Rania.     

"Lalu kapan kamu mau memberitahunya?" tanya Pak Ketut tak sabar.     

"Saya akan menyimpan ini untuk sementara waktu, jika waktunya sudah tepat, saya akan hancurkan mereka sampai rata dengan tanah," jawab Rania.     

"Lalu bagaimana dengan Bara?" giliran Mbok yang bertanya.     

"Kalau itu tidak perlu khawatir. Dari yang saya dengar, Haryo sedang mengerahkan pasukan kepolisian untuk mencari Bara," Pak Ketut menjawab pertanyaan yang diajukan Mbok.     

"Sungguh, Pak?" Rania bertanya antusias pada Pak Ketut.     

Pak Ketut mengangguk mantap, "Saya yakin, Haryo mampu menemukan Bara."     

Rania menggenggam erat kedua tangannya di depan dada. Mbok menepuk-nepuk punggung Rania. Melihat Rania yang kembali bersemangat membuat Mbok bisa bernapas lega. Kini Rania sudah benar-benar menemukan alasannya untuk bertahan.     

Setelah selesai membicarakan apa yang sudah menimpanya pada Pak Ketut dan Mbok, Rania pamit untuk pergi ke pantai. Meskipun hari sudah semakin larut, Rania ingin duduk berdiam diri mendengarkan lantunan suara ombak dan hembusan angin. Sejak kecil, saat dirinya ditimpa masalah, Rania selalu mencari ketenangan dengan duduk berjam-jam menikmati perpaduan suara debur ombak dan angin di pinggir pantai.     

Rania meminjam motor milik Mbok untuk menuju pantai. Setibanya di pantai, Rania segera duduk memandangi lautan luas nan gelap di hadapannya. Rania memejamkan matanya dan merasa seakan Mahesa sedang memeluknya dari belakang.     

"Saya akan menunggu matahari terbit bagi kita semua, kematian kamu tidak akan sia-sia, mereka akan mendapat ganjarannya. Setelah itu, saya akan segera menyusul kamu."     

Rania membuka matanya dan memandangi ribuan bintang yang menghiasi langit malam itu. Jajaran bintang-bintang itu seperti menggambarkan wajah Mahesa yang tersenyum. Rania tersenyum dan berjanji akan melewati malam-malam panjang penantiannya dengan tersenyum.     

*****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.