Bara

Reminisce 2



Reminisce 2

0Rania tiba di galeri tempatnya biasa menghabiskan waktu setelah mengantar Bara ke sekolah. Galeri seni ini adalah hadiah yang diberikan Mahesa bersamaan dengan kelahiran putra pertama mereka, Bara. Semakin hari, rumor kedekatan Mahesa dan istri Bima semakin merajalela. Rania bahkan mulai merasa jengah karena para karyawannya mulai berani membicarakan tentang hal itu di hadapannya.     
0

Rania yang mulai gerah karena rumor tersebut terus bergaung di dalam galerinya, akhirnya mengumpulkan seluruh karyawannya. "Kalian ini terlalu banyak waktu senggang atau gimana? Belakangan ini, saya lebih sering lihat kalian bergosip ketimbang mengurusi koleksi di galeri ini, kalian sudah bosan kerja disini?" Rania mulai meluapkan amarahnya.     

Rania memandangi satu per satu karyawannya yang saat ini hanya bisa tertunduk. Mereka tidak menyangka Rania bisa menjadi semarah itu.     

"Kalau kalian masih mau terus membahas rumor tentang suami saya, kalian boleh lakukan itu di tempat lain. Tapi, kalau sampai saya dengar kalian membahas itu di sini, saya tidak segan-segan untuk mencari karyawan baru untuk menggantikan kalian semua. Mengerti?" ucap Rania tegas.     

Para karyawannya mengangguk-angguk sambil terus menundukkan kepalanya. Mereka tidak berani menatap Rania yang sedang marah.     

"Sudah, kalian boleh keluar. Ingat kata-kata saya tadi."     

Satu per satu karyawannya pergi meninggalkan ruang kerja Rania. Ternyata sedari tadi Mahesa mendengarkan kemarahan yang diutarakan Rania pada para karyawannya. Mahesa menguping di luar ruang kerja Rania. Para karyawan Rania menunduk ketika berjalan melewati Mahesa yang berdiri di luar ruang kerja Rania. Setelah semuanya keluar, Mahesa segera masuk ke dalam ruang kerja Rania. Rania terkejut melihat kedatangan Mahesa pada jam kerja seperti ini.     

"Tumben kamu datang pada saat jam kerja. Ada apa?" tanya Rania sambil menghampiri Mahesa.     

Mahesa segera memeluk erat istrinya.     

"Sudah tenang sekarang?" Mahesa bertanya lembut pada Rania.     

Rania mengangguk sambil memeluk Mahesa.     

Mahesa kemudian melepaskan pelukannya dan memegang wajah Rania dengan kedua tangannya.     

"Kamu lebih cantik seperti ini, daripada marah-marah seperti tadi," ujar Mahesa.     

"Saya sudah ngga tahan sama omongan mereka tentang kamu," keluh Rania.     

"Kamu ngga perlu memusingkan omongan orang, yang penting kamu tahu saya tidak akan bertindak seperti apa yang dibicarakan orang."     

Rania menatap mata Mahesa. Bagaimana bisa suaminya bisa sangat tenang menghadapi rumor tentang dirinya sendiri. Sementara Rania justru malah terpancing emosinya dan memarahi para karyawannya. Rania jadi merasa malu dengan apa yang baru saja dilakukannya.     

"Ada yang mau saya bicarakan ke kamu, tapi sebaiknya kita bicarakan ini di luar," ujar Mahesa.     

"Okay."     

Rania segera mengambil tasnya dan kemudian menggandeng lengan Mahesa. Mereka keluar dari galeri sambil bergandengan tangan dan tidak mempedulikan tatapan beberapa karyawan yang kebetulan berpapasan dengan mereka.     

-----     

Mahesa membawa Rania ke sebuah restoran mewah yang terdapat di sebuah hotel berbintang lima.     

Rania begitu terkejut, ketika mendapati istri Bima juga sedang berada disana.     

"Kamu ajak Grace kesini?" tanya Rania sambil berbisik pada Mahesa.     

"Sebenarnya Grace yang meminta kita berdua untuk ke sini," aku Mahesa.     

"Oh," gumam Rania.     

Mahesa dan Rania segera mendatangi Grace yang sudah menunggu mereka berdua. Rania menyapa Grace dan saling bertanya kabar tentang anak mereka masing-masing.     

"Ada apa kamu minta kami berdua ke sini?" tanya Mahesa tanpa berbasa-basi pada Grace.     

"Ada yang harus kalian lihat," jawab Grace.     

Grace kemudian melirik jam tangannya. "Sebentar lagi mereka tiba," ucap Grace yang membuat Mahesa dan Rania semakin kebingungan dengan maksud kedatangan mereka ke sini.     

Grace terlihat seperti sedang menunggu-nunggu sesuatu. Pandangannya terus tertuju pada pintu masuk restoran.     

"Nah, itu dia," seru Grace.     

Mahesa segera menoleh dan mengikuti arah tatapan mata Grace, begitu pula dengan Rania. Terlihat beberapa orang pria paruh baya sedang berjalan memasuki restoran. Mahesa mengenal beberapa orang dalam kelompok tersebut yang adalah pejabat negara. Mata Mahesa terbelalak begitu melihat Pakdenya juga ada dalam kelompok tersebut.     

"Ada apa ini?" Mahesa kembali menoleh pada Grace.     

"Mereka akan melakukan transaksi di sini," Grace memberitahukan maksud kedatangan para pejabat dan Pak Angga ke restoran tersebut.     

"Transaksi?" tanya Rania.     

"Transaksi untuk memuluskan para pejabat itu di pemilihan umum, dan sebagai gantinya mereka akan membantu Papa untuk menguasai seluruh MG group," terang Grace. "Saya mencuri dengar percakapan Papa dan Mas Bima kemarin," lanjutnya.     

"What?" Mahesa tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.     

"Saya ngga bisa membiarkannya," Mahesa bangkit dari duduknya dan hendak menghampiri sekumpulan pejabat dan Pakdenya itu. Namun Rania segera melarangnya.     

"Kita kumpulkan dulu semua buktinya, setelah itu kita berikan ke Bapak," ujar Rania mencoba menenangkan Mahesa. Kali ini, Rania yang bersikap lebih tenang daripada Mahesa.     

"Benar apa yang dikatakan Rania, kamu harus bersikap tenang dulu," Grace turut meminta Mahesa untuk bersikap lebih tenang.     

Mahesa memandangi keduanya bergantian, kemudian menuruti kata-kata mereka dan kembali duduk di kursinya. Rania langsung memegang tangan Mahesa untuk membuatnya lebih tenang.     

Grace mengeluarkan sebuah amplop coklat besar dari dalam tasnya. "Ini yang kamu minta," ujar Grace sambil menyodorkan amplop coklat tersebut pada Mahesa.     

Rania menatapnya dengan tatapan keheranan. Mahesa membuka amplop tersebut dan segera mengeluarkan isinya. Mahesa membaca isinya. Rania yang penasaran, mendekatkan tubuhnya dan ikut membaca isi amplop tersebut. Ternyata isinya adalah rekening koran perusahaan. Mahesa melihat banyak kejanggalan dalam aliran dana yang keluar.     

"Jadi ini, yang sedang kalian berdua selidiki?" tanya Rania.     

Mahesa dan Grace mengangguk.     

"Thanks Grace," ucap Mahesa.     

"Kalau begitu saya pergi dulu, lain kali saya akan main ke rumah bersama Damar dan Kimmy," ujar Grace sambil tersenyum.     

"Saya tunggu kalian di rumah, Bara pasti senang," sahut Rania antusias.     

Grace mengangguk dan kemudian pergi meninggalkan Mahesa dan Rania berdua.     

"Kenapa Grace mau bantu kamu?" tanya Rania penasaran pada Mahesa.     

"Dia mau tahu sejauh mana Bima terlibat, dan dia ingin menghentikannya sebelum Bima terlibat semakin jauh," jawab Mahesa.     

"Oh, saya pikir karena dia punya perasaan sama kamu."     

Mahesa mengangkat wajahnya dari lembaran kertas rekening koran yang sedang ditelitinya dan menatap Rania.     

"Dulu, kami memang sempat menjalin hubungan," ujar Mahesa yang membuat Rania membelalakan matanya.     

"Kamu cemburu?" tanya Mahesa.     

"Buat apa cemburu, kalau itu sudah berlalu."     

"Kalau kamu ngga cemburu, kenapa wajah kamu jadi begitu?"     

"Memangnya ada yang salah sama wajah saya?" Rania memegangi wajahnya.     

"Ada," jawab Mahesa.     

"Apa yang salah?"     

"Kamu salah karena wajah kamu terlalu cantik," goda Mahesa.     

Wajah Rania bersemu merah mendengar apa yang diucapkan suaminya itu. Mahesa yang melihat wajah Rania memerah, segera merangkul kepala Rania dan mengecup pangkal kepalanya.     

Dari kejauhan Grace memandangi keduanya dengan tatapan khawatir. Grace tahu bagaimana sifat ayah mertuanya dengan sangat baik. Jika dia sudah mempunyai sebuah tujuan, dia akan melakukan segala upaya untuk mencapai tujuannya.     

"Semoga kalian bisa membongkarnya secepat mungkin," Grace berbalik arah dan segera meninggalkan area restoran itu.     

-----     

Rania sedang menggambar bersama dengan putranya sebelum Mahesa datang dengan tergesa-gesa dan mengajaknya untuk berbicara empat mata.     

"Mama, tinggal sebentar ya," ujar Rania lembut sambil membelai rambut Bara.     

Bara yang sedang serius menggambar untuk tugas prakarya sekolahnya mengangguk tanpa memalingkan wajahnya dari buku gambar di hadapannya.     

Mahesa segera menggandeng lengan Rania dan membawanya ke ruang baca yang ada di kediaman mereka.     

"Ada apa?" tanya Rania ketika mereka sudah berada di ruang baca tersebut.     

Mahesa berjalan mondar-mandir di dalam ruang baca seperti orang kebingungan.     

"Ada apa, Mas?" Rania kembali bertanya.     

Mahesa menoleh pada Rania. Ada kesedihan dalam sorot matanya.     

"Ternyata masalah ini lebih besar daripada dugaan saya sebelumnya," ujar Mahesa.     

Rania berpikir sejenak untuk mencerna maksud ucapan suaminya itu.     

"Maksud kamu?"     

Mahesa mengangguk. "Pakde Angga benar-benar sudah menyalahgunakan jabatannya," jawab Mahesa.     

"Bapak sudah kamu beritahu?"     

"Saya belum beritahu bapak," Mahesa terdiam.     

"Tunggu apalagi? Kamu harus segera beritahu bapak, sebelum Pakde Angga bertindak semakin jauh lagi."     

"Tidak semudah itu."     

"Apa yang kamu takutkan?"     

"Ini bukan hanya tentang Pakde Angga."     

"Lalu?"     

"Ini juga tentang keluarga kita, mereka tidak akan tinggal diam jika mengetahui kita merencanakan sesuatu untuk membongkar kebusukan mereka."     

"Lalu kamu mau kita bagaimana?"     

Mahesa terdiam sejenak dan memikirkan beberapa rencana untuk membongkar kejahatan yang dilakukan Pakdenya sendiri dan beberapa orang Pejabat negara.     

"Entahlah, saya belum tahu apa yang harus saya lakukan, saya tidak mau kamu dan Bara berada dalam bahaya karena apa yang sudah saya lakukan." Mahesa duduk di meja kerjanya dan memijat-mijat keningnya yang kini terasa pening. Beragam skenario mulai bermunculan di kepalanya.     

Rania menghampiri Mahesa dan merangkulnya, "Kamu lakukan saja apa yang menurut kamu benar, saya akan selalu mendukung kamu," ujar Rania.     

Mahesa menatap Rania. Rania mengangguk meyakinkan Mahesa.     

"Saya akan memikirkan rencana untuk membongkar itu semua," ujar Mahesa.     

"Saya percaya kamu sanggup melakukannya," sahut Rania.     

Mahesa menggenggam tangan Rania yang sedang melingkar di lehernya dan menciumnya lembut. "Terima kasih kamu sudah mempercayai saya," ucap Mahesa lembut sambil tersenyum.     

"Bukankah itu yang seharusnya dilakukan oleh pasangan," Rania balas tersenyum pada Mahesa dan mencium bibir Mahesa.     

-----     

Hari demi hari, penyelidikan yang dilakukan Mahesa semakin mendapat banyak bukti tentang kecurangan yang dilakukan Pak Angga. Bukti-bukti itu juga menunjukkan siapa saja pejabat yang mendapat suap dari Pak Angga. Seiring dengan itu, Mahesa mulai sering menerima teror ancaman pembunuhan. Mahesa membiarkan teror yang terjadi, selama itu tidak berkaitan dengan Rania dan Bara.     

Hingga suatu ketika, Mahesa dan Rania terkejut mendengar Bara yang berteriak kencang dari arah halaman depan rumah mereka. Mahesa bergegas bangkit dari kasur dan berlari keluar kamar untuk menghampiri Bara. Mahesa terperangah begitu mendapati Bara yang sedang terduduk di rumput dengan ekspresi ketakutan. Tidak jauh dari sana, Mahesa melihat kucing kesayangan Bara yang sudah mati bersimbah darah. Mahesa segera memeluk Bara yang ketakutan. Rania datang menghampiri keduanya dan mengecek keadaan kucing kesayangan Bara. Kondisi kucing itu sangat mengenaskan.     

"Biadab," umpat Rania begitu melihat keadaan kucing kesayangan Bara yang mati mengenaskan.     

Rania segera memanggil petugas rumah tangganya untuk mengubur kucing tersebut.     

Mahesa menenangkan Bara yang terlihat syok melihat kucingnya mati mengenaskan.     

"Ini sudah keterlaluan," batin Mahesa.     

Rania menghampiri Mahesa yang sedang menemani Bara dan menyelipkan sesuatu di tangan Mahesa.     

"Apa ini?" tanya Mahesa keheranan.     

"Saya temukan ini ketika sedang memeriksa kondisi kucing Bara," jawab Rania.     

Mahesa membuka telapak tangannya dan membaca sebuah potongan kertas berisi pesan ancaman. Darah Mahesa seakan mendidih, karena ancaman kali ini ditujukan untuk putra semata wayangnya. Mahesa meremas pesan berisi ancaman tersebut dengan penuh amarah.     

"Lalu sekarang kita harus bagaimana?" tanya Rania.     

"Apa lagi? kita harus segera memberitahu Bapak," jawab Mahesa.     

Mahesa memeluk Bara erat, "Kamu sama Mama dulu ya, Papa mau keluar sebentar," bisiknya.     

Bara mengangguk pelan.     

"Kamu mau kemana?"     

"Saya mau ambil beberapa berkas di kantor," jawab Mahesa sambil tersenyum.     

Mahesa kemudian pergi meninggalkan Rania dan Bara. Rania Memandangi Mahesa yang berjalan keluar rumah. Rania tahu, dibalik senyumnya Mahesa sedang merencanakan sesuatu.     

*****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.