Bara

Bang Jali 2



Bang Jali 2

0Bara memarkirkan mobilnya di ujung gang tidak jauh dari rumah kontrakannya yang lama. Selanjutnya, dia dan Bang Jali harus berjalan kaki sambil membawa barang-barang milik Bang Jali menuju rumah kontrakannya.     
0

Pada saat tiba di depan rumah kontrakan Bara, Bang Jali merogoh-rogoh sakunya untuk mencari kunci rumah kontrakan tersebut. Wajahnya tiba-tiba terlihat panik.     

"Ada apa, Bang?" tanya Bara yang menyadari ekspresi panik Bang Jali.     

"Kuncinya ngga ada, Bar." Jawab Bang Jali sambil terus merogoh-rogoh saku celananya secara bergantian.     

"Abang terakhir naro kuncinya di mana?"     

Bang Jali terdiam sejenak. Berusaha mengingat-ngingat apa yang dilakukannya sebelum penggusuran tadi siang terjadi.     

"Astagfirullah!" pekik Bang Jali. Ia menepuk jidatnya. "Kuncinya gue taro di lemari kecil yang ada di belakang."     

"Terus gimana ini, Bang?"     

"Balik ke sana buat nyari kuncinya juga bakalan percuma. Ibu yang punya kontrakan jam segini kira-kira masih bangun, ngga?"     

Bara mengangkat bahunya.     

"Coba kita ke rumahnya dulu. Siapa tahu dia punya kunci cadangan," ajak Bang Jali.     

Bara menuruti ajakan Bang Jali dan keduanya kemudian berjalan kaki menuju rumah pemilik kontrakan.     

Bang Jali mengetuk pintu rumah pemilik kontrakan beberapa kali. Tidak ada sahutan. Bang Jali juga mencoba untuk mengintip ke dalam rumah. Bagian dalam rumah tersebut gelap. Ia pun kembali mencoba untuk mengetuk pintunya.     

"Ibu Kokomnya lagi pergi," teriak seorang tetangga yang rumahnya bersebelahan dengan pemilik kontrakan Bara. Ia merasa terganggu karena suara pintu rumah di sebelahnya terus di ketuk.     

"Oh, anaknya juga ikut pergi?" tanya Bang Jali pada tetangga Ibu Kokom.     

"Situ liat aja, rumahnya kosong ngga ada orang." Tetangga Ibu Kokom menanggapinya dengan ketus.     

"Oh, iya. Makasih Bu." Bang Jali berusaha untuk tersenyum pada tetangga rumah Ibu Kokom.     

Tetangga Ibu Kokom kembali berjalan masuk ke dalam rumahnya sambil mendumel.     

"Terus gimana, Bang?"     

"Ya udah, kita balik aja ke kontrakan lu."     

"Ya udah," sahut Bara.     

Bara dan Bang Jali berjalan kembali menuju rumah kontrakan Bara.     

"Mau didobrak aja pintunya?" tanya Bang Jali kepada Bara ketika keduanya sudah tiba di depan rumah kontrakan Bara. "Kalo pintu ini rusak, lu bisa gantiin, kan?" Bang Jali melanjutkan pertanyaannya.     

"Ya, bisa-bisa aja, Bang." Bara sedikit ragu dengan usul Bang Jali untuk mendobrak pintu rumah kontrakannya.     

"Ya udah klo gitu." Tanpa menunggu persetujuan Bara, Bang Jali mengambil ancang-ancang untuk mulai mendobrak pintu rumah kontrakan Bara.     

"Tunggu, Bang," Pekik Bara yang melihat Bang Jali sudah maju untuk mendobrak pintu rumah kontrakannya.     

Bang Jali menatap Bara heran. "Kenapa?"     

"Tunggu bentar." Bara teringat sebuah trik yang pernah ia gunakan ketika ia kehilangan kunci rumah kontrakannya tanpa merusak pintu. Ia hanya membutuhkan sebuah kartu yang cukup lentur untuk membuka pintu tersebut. Trik ini cukup berhasil ia lakukan karena model kunci yang digunakan di rumah kontrakannya adalah kunci model lama.     

Bara mengeluarkan dompetnya dan mengambil sebuah kartu dari dalam dompetnya. Bara kemudian berjalan mendekat ke pintu. Ia menyelipkan kartu tersebut di antara kusen dan daun pintu. Bara memposisikan kartu tepat diatas posisi kunci yang masuk ke dalam kusen. Perlahan tapi pasti, Bara menekankan kartu tersebut sembari menggerakkan gagang pintu.     

"klik." Pintu rumah kontrakan Bara akhirnya terbuka.     

Bang Jali terpukau dengan hasil kerja Bara. "Kalau lu bisa buka pintu pake kartu, kenapa dulu ngga nyoba jadi maling aja?" goda Bang Jali sambil menepuk bahu Bara.     

"Ngga kepikiran, Bang," sahut Bara sambil mulai memasukkan barang-barang milik Bang Jali ke dalam rumah kontrakannya.     

Bang Jali turut memasukkan barang-barangnya ke dalam rumah kontrakan Bara. Selesai memasukkan barang-barang tersebut, Bara dan Bang Jali beristirahat sambil duduk di depan pintu rumah kontrakan Bara.     

"Makasih ya, Bar." Bang Jali sekali lagi berterima kasih pada Bara.     

"Ah, ngga apa-apa, Bang."     

Tatapan mata Bang Jali menerawang menembus atap rumah kontrakan Bara yang lapisan tripleknya mulai lepas dari tempatnya. Ia harus kembali mengumpulkan uang untuk memulai kembali usahanya. Belum lagi, ia harus mengirim uang untuk istri dan anaknya yang tinggal di Jonggol. Bang Jali kembali menghela napas berat.     

Ia kemudian melirik Bara yang sedang duduk di depannya. Bara sedang sibuk mengetik sesuatu di ponselnya.     

"Bar," panggil Bang Jali.     

Bara mengalihkan perhatian dari layar ponselnya ke Bang Jali. "Kenapa, Bang?"     

Bang Jali menatap Bara sejenak. "Ah, ngga jadi deh." Bang Jali mengurungkan niatnya untuk berbicara dengan Bara.     

"Ada apa, Bang?"     

"Ngga, ngga ada apa-apa."     

Bara menatap Bang jali penuh selidik.     

"Ah, bodo lah kalau gue dibilang ngga tahu malu," batin Bang Jali.     

"Gue boleh minta tolong lagi sama lu?" tanya Bang Jali ragu-ragu.     

"Abang mau minta tolong apa? Gue pasti nolongin Abang."     

"Gue malu banget ini ngomongnya." Bang Jali menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Dia benar-benar merasa malu karena banyak meminta pada Bara.     

"Abang ngomong aja."     

"Lu kira-kira ada kerjaan buat gue, ngga? Gue perlu ngumpulin modal lagi. Kalau pakai uang yang ada sekarang, nanti gue ngga bakal bisa ngirim uang buat istri sama anak gue. Itu kalau lu ada, kalau ngga ada juga ngga apa-apa. Nanti gue tanya-tanya ke yang lain." Bang Jali menghela napas lega. Ia mengutarakan permintaannya pada Bara.     

"Oh, Abang mau cari kerja?"     

Bang Jali mengangguk. "Ada ngga kira-kira?"     

Bara berpikir sejenak. Ia kemudian terpikir sebuah ide. Bata menatap Bang Jali dengan berbinar-binar.     

"Abang mau kerja di kantor gue? Gue perlu orang yang bisa jadi mata dan telinga gue di kantor," ungkap Bara pada Bang Jali.     

"Maksud lu?"     

"Kalau Abang mau, sekarang juga gue telpon Pak Agus."     

"Ya udah gue mau. Kerja apa aja lah, asal gue bisa ngumpulin duit lagi."     

"Oke."     

Bara kembali meraih ponselnya dan menghubungi Pak Agus.     

----     

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam ketika Pak Agus menghubungi Gilang. Ia menghubungi Gilang untuk menyampaikan permintaan Bara untuk memasukkan seseorang untuk bekerja di kantor. Gilang merupakan Manager yang menangasi masalah yang berhubungan dengan sumber daya yang ada di perusahaan. Bukan perkara sulit bagi Gilang untuk memasukkan satu orang ke dalam perusahaan.     

"Baik, terima kasih atas bantuannya. Maaf merepotkan malam-malam." Pak Agus menutup sambungan telponnya dengan Gilang.     

Pak Agus kemudian kembali menelpon Bara. Baru satu kali nada panggil, Bara sudah mengangkat telponnya.     

"Besok dia bisa langsung bekerja."     

Terdengar Bara berseru kegirangan ketika mendengar kabar yang disampaikan Pak Agus. Bara berulang kali mengucapkan terima kasih pada Pak Agus.     

"Dasar, dia memang benar-benar cucunya Haryo." ucap Pak Agus di dalam hatinya.     

Pak Agus sudah sangat mengenal Pak Haryo. Setelah belakangan ini mendampingi Bara, Pak Agus mulai melihat kemiripan sifat antara Pak Haryo dan Bara. Salah satunya adalah mereka adalah teman yang setia dan loyal.     

"Iya, tidak perlu banyak berterima kasih. Jangan pulang terlalu larut, besok kita masih punya banyak jadwal." Pak Agus mengingatkan Bara.     

"Ya, hati-hati di jalan." Pak Agus segera mematikan sambungan telponnya.     

----     

"Besok Abang bisa mulai kerja," seru Bara.     

"Serius lu?" tanya Bang Jali tidak percaya.     

Bara mengangguk cepat.     

"Wah, makasih banyak, Bar."     

"Makasih sama Pak Agus juga, Bang. Dia yang udah ngubungin Manager Personalia."     

"Kalau gue ketemu dia, gue pasti ngucapin terima kasih."     

"Tapi, kayanya Abang harus rubah penampilan dikit." Bara memperhatikan penampilan Bang Jali dengan rambut panjangnya. Bara juga khawatir kalau-kalau ternyata Bang Jali juga sudah diawasi oleh seseorang.     

"Gampang itu sih. Besok lu pasti pangling lihat gue," ujar Bang Jali.     

"Tapi, Abang harus hati-hati selama Abang kerja di kantor," ujar Bara memperingatkan Bang Jali.     

"Iya, gue bakal hati-hati."     

"Jangan sampai ada yang tahu kalau gue yang masukin Abang ke kantor."     

"Beres." Bang Jali mengacungkan jempolnya.     

"Satu lagi, Bang."     

"Apa?"     

"Selama di kantor, kita harus pura-pura ngga saling kenal."     

Bang Jali sedikit terperangah mendengar ucapan Bara.     

"Abang jangan salah paham dulu," sergah Bara. "Ini demi keselamatan Abang. Yah, bisa dibilang ngga semua orang di kantor suka dengan keberadaan gue di sana. Ya pokoknya begitu lah," ujar Bara.     

Bang Jali akhirnya mengerti maksud Bara yang memintanya untuk menjadi mata dan telinganya di kantor.     

"Iya, gue paham." Bang Jali menepuk-nepuk bahu Bara. "Lu tenang aja, gue bakalan ekstra hati-hati selama gue jadi mata dan telinga buat lu."     

"Makasih, Bang."     

"Gue yang harusnya terima kasih sama lu. Lu udah repot-repot bantu gue."     

Keduanya sama-sama tersenyum.     

"Abang malam ini mau tidur di sini?"     

"Iya, gue tidur di sini aja. Besok klo Bu Kokom udah datang, gue minta kunci cadangannya sama dia."     

"Ya udah. Kalau gitu gue balik dulu, Bang."     

"Sekali makasih banyak, Bar."     

"Sama-sama, Bang."     

"Perlu gue anter sampe ke depan ngga?"     

"Ngga, gue bisa sendiri kok."     

"Ya udah, lu hati-hati."     

"Yo Bang." Bara berjalan keluar dari rumah kontrakannya.     

"Hati-hati, Bar!" seru Bang Jali.     

Bara kembali menoleh dan melambaikan tangannya pada Bang Jali. Bang Jali memandangi punggung Bara yang semakin berjalan menjauh. Ia menghela napas lega. Hari yang buruk ini bisa berakhir menjadi lebih baik berkat bantuan Bara.     

-----     

Menjelang tengah malam, Bara tiba di gedung apartemennya. Ia segera menuju basement untuk memarkirkan kendaraannya. Selesai memarkirkan kendaraannya, Bara berjalan santai memasuki lift. Ia tidak langsung menuju lantai tuga puluh tempat apartemennya berada, ia harus turun di lobi hotel yang masih satu gedung dengan apartemennya. Karena pada dasarnya, apartemennya masih bagian dari Management hotel tersebut.     

Ia turun di lobi hotel dan berjalan menuju lift yang akan membawanya ke lantai tiga puluh. Saat sedang berjalan menuju lift, Bara tidak sengaja menabrak seorang wanita yang mengenakan pakaian ala timur tengah lengkap dengan penutup wajahnya.     

"Maaf, maaf," ujar Bara seraya membantu wanita tersebut memunguti barang bawaanya yang tercecer.     

"It's oke," ujar wanita tersebut dari balik penutup wajahnya.     

Bara memperhatian barang bawaan wanita tersebut. Ia membawa berbagai macam peralatan menggambar.     

"Suka menggambar?" Bara mencoba berbasa-basi sambil tetap membantu wanita tersebut memunguti perlengkapan menggambarnya yang berserakan.     

Wanita itu diam dan tidak menjawab.     

"Mungkin dia orang asing," batin Bara. Mengingat banyaknya warga negara asing yang tinggal atau menginap di hotel yang satu gedung dengan apartemennya.     

"You don't speak bahasa?" tanya Bara.     

"Just a little," jawab wanita tersebut.     

Selesai membantu memunguti barang-barang wanita tersebut, Bara kemudian mencoba untuk membantu wanita itu untuk berdiri dengan mengulurkan tangannya.     

Wanita itu menyambut uluran tangan Bara dan bangkit berdiri. "Thank you," ujarnya pelan.     

"Do you need any help to carry your things? Bara menawarkan bantuan pada wanita tersebut untuk membawakan barang-barangnya.     

"No, thank you. I can carry it by my self."     

"Are you sure? You don't need my help?"     

"Ya, so thank you for offering your help. You're a such a good man."     

"Oh okay, if you don't need to. Be careful."     

"Okay, Bye." Wanita itu berjalan menjauh dari Bara sambil melambaikan tangannya.     

Bara membalasnya dengan melambaikan tangan sambil tersenyum.     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.