Bara

Pawn 3



Pawn 3

0Bara tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya dengan apa yang dikatakan Pak Agus ketika mereka sedang bersantap sarapan bersama. "Jadi, Bapak bersedia untuk mengisi posisi yang ditinggalkan Om Bima?"     
0

Pak Agus meneguk tehnya dan menganggukkan kepalanya. Ia kemudian meletakkan cangkirnya pada lepek dan mulai menatap Bara. "Kita harus segera menemui Bima sebelum rapat itu diadakan."     

"Saya akan sampaikan pada Damar. Terima kasih, Pak."     

"Tapi, saya hanya sebentar mengisi posisi itu. Saya tidak betah lama-lama di kantor."     

"Untuk itu, nanti kita bicarakan lagi. Yang terpenting sekarang Bapak sudah bersedia."     

Kesediaan Pak Agus untuk mengisi posisi yang ditinggalkan Pak Bima seolah membawa angin sejuk bagi Bara.     

----     

Damar membaca pesan yang dikirimkan Bara untuknya. Kini ia harus menjadi perantara untuk pertemuan antara Pak Agus, Pak Bima dan Bara tanpa mengundang perhatian dari Pak Angga. Damar segera mengambil ponselnya dan menghubungi Pak Bima.     

"Halo, Pa. Papa ada waktu nanti sore?" Seru Damar ketika Pak Bima menjawab panggilannya.     

"Papa luang nanti sore. Ada apa?"     

"Saya mau ajak Papa ke suatu tempat, ada yang mau bertemu sama Papa."     

"Oh, oke."     

"Oke, kita bertemu di parkiran nanti. Papa hari ini masih ke kantor, kan?"     

"Ya, Papa masih ke kantor sampai tiga puluh hari ke depan."     

"Oke, see ya."     

Damar mematikan sambungan telponnya. Ia berharap Pak Bima bisa memahami apa yang ia rencanakan bersama Bara dan mau bekerja sama dengan mereka.     

****     

Sepulang jam kantor, Damar bergegas pergi dari ruang kerjanya untuk segera menjemput Pak Bima di parkiran kantor. Akan tetapi, begitu ia keluar dari ruangannya ia mendapati Pak Angga sudah ada di luar ruangannya.     

"Kamu mau ke mana? Sepertinya buru-buru sekali," tegur Pak Angga.     

Damar terkejut dengan kehadiran Pak Angga yang tiba-tiba itu. "Saya mau pulang."     

"Tumben kamu pulang jam segini?"     

"Saya sedikit ngga enak badan." Damar mencoba untuk beralasan. Untuk meyakinkan Pak Angga, Damar memegangi perutnya sambil sesekali meringis menahan sakit.     

"Wah, sayang sekali. Padahal saya mau ajak kamu ke tempat Hanggono."     

Damar mendelik penasaran ketika Pak Angga menyebut nama Hanggono. "Ada urusan apa Eyang ke sana?"     

"Ada yang harus saya bicarakan. Ya sudah, kalau kamu ngga bisa ikut. Saya pergi sendiri." Pak Angga kemudian pergi meninggalkan Damar di depan ruangannya.     

Damar tampak menimbang-nimbang ajakan Pak Angga. Ia kemudian mengejar Pak Angga yang sudah berjalan di depannya. Damar menepuk bahu Pak Angga. "Biar saya temani Eyang."     

Pak Angga menoleh pada Damar, ia tersenyum menyambut Damar yang bersedia mengantarnya. "Katanya kamu tidak enak badan."     

"Ngga apa-apa, nanti di jalan saya minum obat."     

"Yakin, tidak apa-apa?"     

Damar mengangguk yakin.     

"Baiklah kalau begitu."     

Pak Angga merangkul Damar. Mereka berjalan beriringan meninggalkan kantor MG Group. Selama perjalanan menuju kediaman Hanggono, Pak Angga sesekali menoleh pada Damar yang duduk di sebelahnya. Damar sedang menyandarkan kepalanya, matanya terpejam. Pak Angga kembali mengalihkan perhatiannya pada jalanan yang ada di luar. Mencoba memikirkan apakah Damar mempunyai agenda tersendiri ketika ia memilih untuk bergabung dengannya.     

Damar membuka matanya. Ia menyadari sedari tadi Pak Angga sesekali melirik padanya. Mereka berada di satu mobil yang sama, namun tujuan mereka berdua sesungguhnya berbeda. Damar tidak habis pikir dengan Pak Angga yang sangat berambisi untuk menyingkirkan Pak Haryo dan Bara. Padahal keduanya adalah kerabat dekatnya. Apa alasan di balik ambisi Pak Angga tersebut.     

"Eyang," ujar Damar.     

Pak Angga bergumam dan menoleh pada Damar. "Ada apa?"     

Damar tampak sedang memikirkan kata-katanya. Ia sangat penasaran dengan alasan Pak Angga yang sangat ingin menyingkirkan Pak Haryo. "Ah, ngga jadi. Saya lupa mau ngomong apa." Damar beralasan, sebenarnya ia tidak menemukan kata-kata yang pas untuk bertanya pada Pak Angga.     

Pak Angga mengangkat sebelah senyumnya. "Dasar." Pak Angga kembali memandangi jalanan yang ada di luarnya.     

****     

Pak Bima bertanya-tanya ketika ia melihat Pak Agus dan Bara sudah duduk di dalam ruang restoran yang sudah dipesankan oleh Damar. "Jadi, Damar meminta saya ke sini untuk bertemu dengan kalian?"     

"Damar kemana?" Pak Agus balik bertanya pada Pak Bima.     

Pak Bima melangkah ke kursi yang ada di depan Pak Agus dan duduk di depannya. "Damar mendadak ada urusan. Jadi, ada apa ini sebenarnya?"     

Bara memajukan tubuhnya. "Saya mau minta kerjasama Om untuk mendukung Pak Agus menempati posisi yang Om tinggalkan."     

Pak Bima mengangkat sebelah senyumnya setelah mendengar pernyataan Bara. "Wah, kamu tidak suka basa-basi, ya."     

"Saya cuma menjawab pertanyaan yang Om ajukan," sahut Bara.     

"Kalian ini, kan, Om sama keponakan. Kenapa percakapan kalian terasa sangat tegang sekali?" sela Pak Agus. "Saya sampai merasa seperti berada di tengah perang dingin," lanjut Pak Agus.     

Pak Bima menoleh pada Pak Agus. "Bukannya kita memang sedang berada di tengah peperangan?"     

"Saya pikir kamu sudah memilih untuk keluar dari medan perang."     

Pak Bima hanya menyeringai mendengar ucapan Pak Agus. "Jadi, sekarang kalian berharap saya mau membantu kalian?"     

"Saya tidak memaksa Om untuk membantu saya atau Pak Agus. Tapi, saya mau Om tahu, kalau saya dan Damar berada di perahu yang sama. Jadi, kalau saya tenggelam, Damar pasti akan ikut tenggelam, begitu pun sebaliknya."     

"Jadi, kamu sudah memanfaatkan Damar untuk kepentingan kamu?" tanya Pak Bima.     

Bara menggeleng. "Damar sendiri yang mau melakukannya. Sedari awal Damar sudah menentukan sikapnya. Harusnya Om tahu itu."     

Pak Bima terdiam mendengar perkataan Bara. Sejenak ia mengingat kembali perubahan sikap Damar. "Jadi, kalian berdua sudah merencanakan ini dari awal? Kalian benar-benar tidak tahu siapa lawan kalian."     

"Mereka berdua sudah cukup dewasa Bima," sahut Pak Agus. "Tugas kita yang lebih tua tinggal mengawasi dan mendukung mereka. Awalnya saya juga mengira mereka berdua sudah bermusuhan seperti yang digosipkan di kantor. Tapi ternyata itu semua untuk mendukung rencana mereka." Pak Agus melirik pada Bara yang duduk di sebelahnya.     

"Jadi, gimana? Om mau membantu kita atau tidak?"     

"Kamu ini memang tidak sabaran, ya," timpal Pak Bima.     

"Bukankah sifatnya mirip dengan seseorang?" Pak Agus mencoba untuk memancing Pak Bima.     

Pak Bima tertawa pelan. "Ya, kalian berdua memang sangat mirip." Ia kemudian menatap mata Bara. "Saya akan bantu kalian."     

"Yes," seru Bara. "Terima kasih, Om."     

Pak Bima manggut-manggut seraya tersenyum pada Bara. Melihat dan berbicara dengan Bara benar-benar mengingatkannya pada Mahesa. Dahulu mereka berdua sangat dekat, namun akibat kabar miring kedekatan Mahesa dan Grace, hubungan keduanya semakin menjauh. Bahkan, Pak Bima sendiri yang mengancam orang-orang yang sudah berpihak pada Mahesa untuk berkhianat dan bekerja untuknya.     

Kini ia mulai menyesali keputusannya tersebut. Seharusnya waktu itu ia mempercayai Grace dan Mahesa bukannya malah mempercayai apa yang dikatakan Pak Angga. Waktu sudah tidak bisa diputar kembali. Menyesal pun tidak ada gunanya kini. Yang bisa ia lakukan untuk menebusnya adalah dengan bergabung di perahu yang sama dengan Bara dan Damar.     

"Semoga ini bisa menebus kesalahan saya di masa lampau," gumam Pak Bima pelan.     

-----     

"Selamat datang."Hanggono tersenyum lebar di serambi rumahnya begitu melihat Pak Angga datang ke kediamannya bersama dengan Damar. "Loh, kalian cuma berdua? Kemana Bima?"     

"Tidak usah bahas Bima. Ada yang harus saya bicarakan dengan kamu," sahut Pak Angga.     

Hanggono memperhatikan Damar yang berdiri di sebelah Pak Angga. "Damar, apa kabar?"     

Damar membalas Hanggono dengan tersenyum. "Baik, Pak."     

"Mulai sekarang Damar yang akan menemani saya," timpal Pak Angga.     

"Memangnya ada apa dengan Bima?" Hanggono bertanya penasaran.     

"Itu yang mau saya bahas saat sekarang," jawab Pak Angga.     

Hanggono menganggukkan kepalanya dan segera mempersilahkan Pak Angga dan Damar masuk ke dalam kediamannya. Hanggono dan Pak Angga berjalan berdampingan sementara Damar mengekor di belakang mereka. Damar memperhatikan keduanya yang tampak sedang berbisik membicarakan sesuatu ketika mereka melangkah masuk. Damar segera mempercepat langkahnya untuk mengetahui apa yang sedang mereka bicarakan.     

Mereka akhirnya di ruang tamu kediaman Hanggono yang berada di dekat taman belakang rumahnya. Tidak lama kemudian seorang Asisten Rumah Tangga menghampiri mereka dan menyajikan teh hangat bersama dengan kudapan.     

"Silahkan dinikmati," seru Hanggono.     

"Saya ingin langsung pada intinya saja," ujar Pak Angga.     

Hanggono segera menoleh pada Pak Angga. Raut wajahnya seolah meminta Pak Angga untuk langsung memberitahu maksud kedatangannya.     

"Bima mundur dari perusahaan."     

Hanggono membelalakkan matanya begitu mendengar berita yang baru saja disampaikan Pak Angga.     

"Kita harus segera menunjuk seseorang untuk menggantikan posisinya," lanjut Pak Angga.     

Hanggono manggut-manggut setuju dengan apa yang dikatakan Pak Angga. "Kamu sudah punya kandidat?"     

"Agus, Asisten Kakak saya yang saat ini sedang mendampingi Bara," jawab Pak Angga.     

Damar terperangah begitu mendengar Pak Angga menyebut Pak Agus untuk mengisi posisi yang ditinggalkan Pak Bima. Ia bertanya-tanya apa tujuan Pak Angga memilih Pak Agus sebagai pengganti Pak Bima. "Pak Agus?"     

Pak Angga berpaling pada Damar. "Iya, saya mau Agus yang menggantikan posisi Papa kamu. Dia orang yang sangat berpengalaman."     

Damar mengerutkan keningnya. Sepertinya ada yang tidak beres. Pak Angga seperti sedang merencakanan sesuatu dengan memilih Pak Agus untu menggantikan Pak Bima.     

"Kenapa kamu memilih dia untuk menggantikan Bima?" Tanya Hanggono.     

"Dia akan berguna nantinya," jawab Pak Angga singkat.     

"Apa yang sedang Eyang rencakan?" batin Damar.     

"Apa dia nanti bisa kita ajak kerjasama?" Hanggono kembali bertanya.     

"Tentunya akan sangat sulit mengajak Agus untuk bekerjasama dengan kita. Dia itu seperti hachiko yang sangat setia pada tuannya. Tapi dia bisa jadi sangat berguna nantinya."     

Hanggono mengalihkan perhatiannya pada Damar yang tengah sibuk dengan pikirannya. "Kalau menurut kamu bagaimana, Damar?"     

"Oh, eh." Damar sedikit tergugup ketika Hanggono tiba-tiba bertanya padanya. "Pendapat saya tentang Pak Agus?"     

Hanggono mengangguk pelan.     

"Menurut saya Pak Agus pilihan yang tepat. Dia pasti sudah sangat mengerti tentang perusahaan karena sudah bertahun-tahun mendampingi Eyang Haryo."     

Pak Angga tersenyum puas dengan penyataan Damar. Namun Damar bersikap sebaliknya. Ia menatap Pak Angga penuh tanya. Ia belum memahami maksud dibaliknya.     

"Kalau begitu saya tidak masalah. Selama kalian berdua bisa mengontrol Agus," pesan Hanggono.     

"Tenang saja," timpal Pak Angga.     

Pak Angga kembali menyunggingkan senyumnya. Damar semakin curiga dengan permainan yang sudah disiapkan Pak Angga untuk Pak Agus.     

"Check mate," gumam Pak Angga pelan.     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.