Bara

Fishing 1



Fishing 1

0Arga berlari ke arah halaman belakang kediaman Pak Haryo untuk menyambut kedatangan Bara dan Pak Agus. Dari kejauhan Arga melihat helikopter yang mengangkut keduanya perlahan mendarat.     
0

"Orang kaya, mah, bebas," gumam Arga.     

Sudah bukan hal yang aneh bagi Arga melihat kedatangan Bara dengan Pak Agus menggunakan helikopter. Arga menunggu di tepi landasan sampai helikopter yang mereka naiki mendarat sempurna. Begitu helikopter itu mendarat, Arga segera berjalan mendekatinya.     

Bara muncul dari dalam helikopternya dan tersenyum pada Arga. "Gimana keadaan Eyang?" Tanya Bara.     

Arga mendekatkan telinganya karena suara yang Bara keluarkan teredam deru suara baling-baling helikopter. "Apa?" Teriak Arga.     

Bara tersenyum mafhum. Ia segera merangkul bahu Arga dan mengajaknya untuk kembali masuk ke dalam kediaman Pak Haryo.     

Ketika mereka sudah berada cukup jauh dari landasan helikopter, Bara kembali bertanya pada Arga. "Gimana keadaan Eyang?"     

"Masih sama, belum ada perubahan. Setiap liat Bapak, kayanya dia lagi tidur pules banget," jawab Arga.     

"Gimana di kantor? Aman?"     

"Aman ngga aman," sahut Bara.     

"Di sini aman, kan?"     

"Pasti. Kerjaan gue di sini cuma nemenin Bapak sambil main hp, sesekali gue baca buku klo bosen main hp."     

"Asik ya?" goda Bara.     

"Pekerjaan paling asoy yang pernah gue jalanin. Gaji paling gede. Emak gue di kampung girang banget tiap gue ngirim uang ke sana." Arga bercerita dengan antusias pada Bara.     

"Bagus, lah, kalau begitu." Bara menepuk-nepuk bahu Arga sambil ikut tersenyum riang.     

"Pacar lu ngga ikut?" tanya Arga.     

Bara mengerutkan dahinya. "Pacar?"     

"Bukannya lu udah pacaran sama model? Siapa itu namanya?" Arga tampak berpikir keras mengingat nama seorang model yang kerap dikabarkan sedang dekat dengan Bara.     

"Maya, maksud lu?" sela Bara.     

"Nah, iya. Si Maya Andini. Dia pacar lu, kan? Kok, ngga pernah lu bawa ke sini?"     

Bara tertawa garing menghadapi pertanyaan yang dilontarkan Arga. "Nanti aja, kapan-kapan."     

"Bawa, dong. Siapa tahu Bapak langsung sadar kalo cucunya ke sini bawa pacar," goda Arga.     

Tidak ingin pembahasan soal Maya makin berlanjut, Bara memilih untuk segera menengok Pak Haryo ke kamarnya. "Ya udah, lanjutin nanti aja ngobrolnya. Gue mau lihat Eyang dulu."     

"Sipp." Arga mengacungkan dua jempolnya.     

Bara segera pergi dari hadapan Arga dan berjalan menuju kamar Pak Haryo.     

"Arga!" Panggil Pak Agus begitu Bara pergi meninggalkan Arga seorang diri.     

Arga segera menoleh. "Ada apa, Pak?"     

"Jangan bahas-bahas Maya dulu."     

Arga merasa penasaran dengan pernyataan Pak Agus. "Emang kenapa, Pak?"     

Pak Agus mendekatkan bibirnya ke telinga Arga. "Kayanya tadi abis berantem."     

Arga menatap Pak Agus tidak percaya. "Gosip aja, nih, Bapak."     

"Saya, kan, yang ada di apartemen bersama Bara. Kamu tahu apa?" tantang Pak Agus.     

"Serius mereka berantem, Pak?"     

Pak Agus manggut-manggut dengan wajah serius. Ia kembali berbisik pada Arga. "Tadinya Maya mau ikut, tapi tiba-tiba dia batal setelah habis dari kamar Bara."     

Arga membuka mulutnya, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar dari Pak Agus. "Si Model itu ke kamarnya Bara, Pak?"     

Pak Agus kembali manggut-manggut.     

"Ngapain mereka di kamar, Pak?" bisik Arga nakal.     

"Heh, jangan mikir macam-macam kamu," sergah Pak Agus.     

"Ya, ngga mikir macam-macam, Pak. Cuma sedikit kepikiran aja, laki-laki sama perempuan kalau sudah di kamar biasanya ngapain," seloroh Arga.     

Pak Agus segera menutup mulut Arga. "Jangan di lanjutin lagi. Nanti malah kemana-mana."     

Arga terkekeh. "Saya, mah, di sini aja Pak, dari tadi. Pikiran Bapak aja, kali, yang kemana-mana."     

Pak Agus menjitak pelan kepala Arga. "Pikiran kamu yang kemana-mana."     

Arga mengaduh berpura-pura kesakitan. "Sakit, Pak."     

"Halah, cuma dicolek sedikit aja."     

Arga kembali terkekeh.     

"Gimana, Bapak aman, kan?" Pak Agus bertanya pada Arga tentang keadaan Pak Haryo.     

Arga mengacungkan satu jempolnya. "Bapak bakal tidur sampe nanti malam."     

"Bagus kalau begitu. Belum saatnya Bara tahu."     

"Iya. Saya tau. Lumayan, lah, Bara datang. Saya jadi bisa santai sebentar."     

"Memangnya selama ini kamu tidak santai? Kamu, kan, cuma menemani si Haryo aja."     

"Santai darimana, Pak? Hampir setiap hari mancing. Itu, ikan di kolam juga bosen kali liat saya sama Pak Haryo setiap hari."     

Pak Agus tertawa pelan mendengar keluhan yang disampaikan Arga. "Sabar, ya." Ia menepuk bahu Arga sebagai dukungan moral untuknya.     

----     

Bara membuka perlahan pintu kamar Pak Haryo. Matanya sayu menatap Pak Haryo yang masih terbaring di kasurnya. Ia berjalan menghampiri ranjang Pak Haryo dan duduk di sebelahnya. Bara membelai lembut kening Pak Haryo dan tersenyum memandang wajah Pak Haryo yang seperti seorang bayi besar yang sedang terlelap.     

"Keadaan di kantor masih bisa saya kendalikan. Eyang tidak perlu khawatir," gumam Bara.     

Bara menghela napasnya. Bukan hal yang mudah bagi orang seusianya untuk memegang tanggung jawab sebesar itu di dalam sebuah perusahaan. Umumnya orang yang memegang tanggung jawab berusia jauh lebih tua dari Bara. Rata-rata mereka masih di lingkaran umur yang sama dengan Pak Haryo. Sedangkan Bara, ia masih butuh banyak belajar untuk mencapai posisi tersebut. Namun, karena kondisi yang tidak terduga, ia harus mengemban tanggung jawab Pak Haryo.     

Bara meletakkan kepalanya di sebelah bahu Pak Haryo. "Ternyata benar apa kata Maya, saya ini punya bakat jadi playboy. Lebih tepatnya bakat untuk menyakiti hati perempuan. Dalam sehari saya sudah menyakiti dua orang wanita secara bersamaan. Saya harus bagaimana?"     

Bara terdiam memejamkan matanya. Berharap akan ada suara yang tiba-tiba memberikan nasihat untuknya. Suara yang sudah ia rindukan dan sangat ingin ia dengar.     

Bara kemudian kembali mengangkat kepalanya. "Eyang tahu, saya punya kenalan seorang wanita arab. Dia bilang dia akan mendoakan kesembuhan untuk Eyang. Namanya Rania. Nama yang tidak asing, bukan? Seketika saya ingat Mama ketika ia memberitahukan namanya."     

Bara kemudian terdiam. Ia memikirkan kembali apa yang baru saja ia ucapkan. "Tunggu, kayanya saya ngga pernah bilang ke dia kalau Eyang sedang sakit?" Bara bingung memikirkan kata-kata yang pernah diucapkan Rania padanya. "Saya, kan, cuma bilang, saya mau jenguk Eyang. Kenapa dia bisa langsung bilang akan mendoakan kesembuhan Eyang."     

Bara menegakkan tubuhnya. Wajahnya berubah serius. "Bagaimana dia bisa tahu Eyang sedang sakit?" Bara memandangi Pak Haryo yang terbaring di hadapannya. Ia tiba-tiba menaruh curiga pada Rania yang belum lama ini ia kenal.     

Pak Agus ke dalam kamar Pak Haryo. Ia lantas menepuk bahu Bara yang nampak sedang serius memikirkan sesuatu. "Ada apa?"     

Bara terkejut dan menoleh pada Pak Agus. Sementara Pak Agus beranjak duduk di sebelah Bara.     

"Kamu sepertinya sedang memikirkan sesuatu?" Tanya Pak Agus penasaran.     

"Ah, ngga. Saya ngga lagi mikirin apa-apa," sahut Bara cepat.     

Pak Agus menatap Bara penuh selidik. "Pasti kamu abis curhat, ya," bisik Pak Agus.     

"Curhat apa?"     

Pak Agus menyunggingkan senyumnya. "Ya apa lagi, kalau bukan soal Maya."     

"Saya, kan, udah sering bilang ke Bapak, kalau saya sama Maya ngga ada hubungan apa-apa."     

"Tapi tadi kalian seperti sepasang kekasih yang sedang bertengkar. Yang cewek tiba-tiba pergi lalu yang yang cowok langsung buru-buru mengejar. Tadi sempet ketemu Maya?"     

Bara menggeleng lesu. "Dia udah keburu pergi."     

"Acara tahunan sebentar lagi, bukannya kalian sudah berencana mau datang bersama?"     

"Saya ngga yakin, dia masih mau datang bersama saya atau tidak," timpal Bara.     

Pak Agus menganggukkan kepalanya pelan. Seakan mengerti dengan permasalahan yang terjadi di antara Bara dan Maya.     

Dalam tidurnya, Pak Haryo masih bisa mendengarkan apa yang sedang dibicarakan Bara dan Pak Agus. Jemarinya bergerak pelan, seolah ia ingin ikut bergabung dalam pembicaraan tersebut. Ia pun ingin segera bisa kembali berbincang dengan Bara. Namun, obat yang tadi ia minum, memaksanya untuk tetap diam tidak bergerak. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain tetap terpejam.     

Pak Agus melirik kelopak mata yang bergerak-gerak. Ia sedikit menyunggingkan senyumnya. Ia tahu, Pak Haryo pasti sangat penasaran dengan pembicaraan yang sedang ia bicarakan dengan Bara.     

"Malam ini, kita menginap di sini, kan?" tanya Pak Agus pada Bara.     

"Iya, Pak. Lumayan buat refreshing. Liat yang hijau-hijau."     

"Kalau kamu mau refresing, kamu minta antar Arga saja buat keliling ke perkampungan belakang. Kata Arga di sana ada tempat pemancingan yang bagus," Pak Agus mencoba memberikan saran pada Bara.     

Bara telihat memikirkan saran yang baru saja Pak Agus sampaikan. "Mancing, ya?" Bara terdiam sejenak. "Boleh juga, Pak. Di sini ada alat pancingnya, Pak?"     

"Sepertinya ada. Eyangmu dulu suka memancing kalau sedang ada waktu luang. Kalau kamu mau, biar saya suruh Arga untuk menyiapkan semuanya."     

"Oke."     

"Tunggu sebentar, ya. Kalau sudah siap, saya panggil kamu." Pak Agus segera beranjak dari kursinya. Ia kembali keluar dari kamar tidur Pak Haryo. Sembari keluar, Pak Agus menyembunyikan tawanya. Pak Haryo saat ini pasti sudah ingin segera meloncat dari tempat tidurnya dan ikut pergi memancing bersama Bara.     

----     

"Arga, Arga!" Pak Agus memanggil-manggil Arga.     

Arga yang sedang duduk santai di tepian kolam renang, segera menyahut panggilan Pak Agus. "Saya di kolam renang, Pak."     

Mendengar sahutan Arga, Pak Agus segera berjalan menuju kolam renang. Pak Agus mendorong kaki Arga yang sedang. "Siap-siap kamu," perintahnya pada Arga.     

Arga mengerutkan keningnya. "Siap-siap kemana, Pak?"     

Pak Agus menatap Arga dengan tatapan jahil. Ia mengangkat kedua alis matanya. "Mancing."     

Arga terperanjat. "Mancing?"     

Pak Agus mengangguk seraya tersenyum lebar pada Arga.     

"Astaga." Arga menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Ia kemudian menatap kesal Pak Agus dari sela-sela jarinya. "Kenapa ngga Bapak aja yang pergi mancing?"     

Pak Agus geleng-geleng. "Kamu, kan, yang paling mengerti pemancingan sekitar sini," sindir Pak Agus.     

Arga kembali menurunkan tangannya. Ia sedikit memonyongkan mulutnya. "Mancing lagi, mancing lagi."     

"Ya sudah, sana. Kamu siapkan perlengkapannya," pinta Pak Agus.     

"Mancing, nih, Pak?" Arga bertanya sekali lagi pada Pak Agus.     

Pak Agus mengangguk sambil berusaha untuk menahan tawanya. Ia tidak tahan melihat wajah Arga yang kesal karena harus menemani Bara memancing.     

Arga menghela napas pasrah dan berjalan masuk ke dalam rumah untuk menyiapkan perlengkapan memancing. "Lama-lama gue pacaran sama ikan, gara-gara keseringan mancing."     

Pak Agus tidak tahan untuk tidak tertawa mendengar Arga yang menggerutu. Ia pun akhirnya tertawa terbahak-bahak melihat tingkah laku Arga.     

****     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.