Bara

Unveil 1



Unveil 1

0"Lu mau jelasin apa?" Tanya Bara pada Arga yang masih terengah-engah karena harus berjalan cepat dari area belakang hingga ke area utama kediaman Pak Haryo.     
0

Arga menoleh ke dalam kamar Pak Haryo. Ia sudah khawatir jika Bara akhirnya menemukan kenyataan bahwa Pak Haryo sudah membohonginya. Namun apa yang Arga lihat jauh dari apa yang ia pikirkan. Pak Agus sedang membacakan sebuah buku pada Pak Haryo yang sedang terbaring di sebelahnya. Arga menatap Pak Agus keheranan.     

"Lu mau jelasin apa, Ga?" Bara kembali bertanya. Namun Arga masih bergeming karena terkejut melihat Pak Agus yang tampak tidak terjadi apa-apa.     

Pak Agus menoleh, ia keheranan dengan Bara dan Arga yang hanya berdiri di depan pintu kamar Pak Haryo. "Kenapa kalian malah berdiri saja di situ?"     

Bara melangkah masuk ke dalam kamar Pak Haryo. "Bapak sudah lama disini?" tanya Bara pada Pak Agus.     

"Sejak kalian pergi memancing saya terus di sini sambil membacakan buku kesukaan Bapak."     

Arga terus menatap Pak Agus dengan tatapan tidak percaya. Pak Agus yang sadar dengan tatapan Arga hanya melemparkan sebuah senyum untuk Arga sembari mengangguk pelan.     

"Makan malamnya sudah siap," seru Arga. "Saya ke sini mau ngasih tahu itu."     

Pak Agus segera menutup buku yang sedang ia bacakan untuk Pak Haryo. Ia lantas meletakkan buku tersebut di sisi tempat tidur Pak Haryo. Bara melirik buku yang baru saja diletakkan Pak Agus, 'A Study in Scarlet'.     

"Saya kira Bapak bacain buku apa buat Eyang, ngga tahunya baca cerita Sherlock," ujar Bara.     

"Dulu, kamu juga suka baca cerita itu bersama Bapak," sahut Pak Agus. "Setiap kali kamu bertemu eyangmu, kamu pasti sudah menyiapkan buku tentang petualangan Sherlock Holmes untuk kalian baca bersama."     

Bara tertegun mendengar ucapan Pak Agus.     

Pak Agus kemudian menepuk bahu Bara. "Sudah, kita makan dulu. Nanti kamu lanjut bacakan cerita itu untuk Bapak."     

Pak Agus meninggalkan Bara yang masih terdiam sambil memandangi buku yang tadi ia dibacakan untuk Pak Haryo.     

"Nanti saya bacakan untuk Eyang," seru Bara. Ia memandangi wajah Pak Haryo yang sedang tertidur pulas. Bara kemudian berjalan meninggalkan kamar Pak Haryo.     

Ketika Bara sudah berjalan memunggunginya, Pak Haryo mengintip kepergian Bara dengan membuka satu matanya. Arga masih berdiri di bibir pintu ketika Bara berjalan melewatinya. Arga menengok Pak Haryo yang sedang tersenyum-senyum sendiri. Tiba-tiba Pak Haryo mengacungkan satu jempolnya untuk Arga.     

"Kenapa juga gue harus khawatir sama dua aki-aki itu." Ia mendengus kesal seraya menutup pintu kamar Pak Haryo. Sementara Pak Haryo tersenyum lebar pada Arga.     

****     

Pak Angga berjalan melintasi koridor sebuah restoran mewah yang berada di bilangan Sudirman. Dia berjalan sedikit terburu-buru karena ia sudah sedikit terlambat. Ia tahu wanita yang akan ditemuinya ini tidak menyukai orang yang terlambat.     

Pak Angga membuka pintu ruang makan pribadi tempat pertemuannya.     

"Kamu terlambat," ujar wanita yang sudah menunggu Pak Angga di dalam ruangan tersebut.     

"Lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali," sahut Pak Angga.     

"Kamu yang mengatur pertemuan ini, tetapi kamu juga yang terlambat. Sungguh seseorang yang sangat profesional," sindirnya sambil menyunggingkan separuh senyumnya.     

Pak Angga segera duduk di hadapan wanita itu. "Apa kabar Ratna? Ternyata sulit juga untuk bertemu kamu."     

Ibu Ratna tersenyum menanggapi. "Tidak sesulit itu jika kamu adalah orang yang tepat waktu."     

"Sepertinya, cucunya Mas Haryo lebih beruntung ketimbang saya dalam hal menemui kamu," ujar Pak Angga.     

"Sepertinya dia jauh lebih tepat waktu dibanding kamu," balas Ibu Ratna.     

Pak Angga tertawa pelan mendengar ucapan Ibu Ratna. "Oh, ya. Saya lupa, dia itu sepertinya sudah kamu bidik untuk menjadi salah satu anggota keluarga kamu."     

Ibu Ratna mengambil gelas minumnya. Ia memutar-mutar isi gelas tersebut. Ia menghirup sebentar aroma wine yang ada di dalam gelasnya. Ia kemudian mengangkat gelasnya dan mengajak Pak Angga untuk bersulang. "Cheers."     

Pak Angga mengangkat gelasnya dan bersulang bersama Ibu Ratna. "Pemuda yang sangat beruntung," ujar Pak Angga sinis.     

Ibu Ratna segera meletakkan kembali gelasnya. "Jadi, apa maksud kamu mengundang saya kemari? Tidak mungkin, kan, kamu mengundang saya hanya untuk membicarakan cucunya Mas Haryo."     

"Pilihan wine kamu bagus juga." Pak Angga tersenyum pada Ibu Ratna. "Saya yakin kamu paham dengan maksud saya mengundang kamu kesini. Kamu bukan wanita yang bodoh, Ratna."     

Ibu Ratna manggut-manggut mendengarkan. "Kamu ingin saya melepas milik saya di MG dan memberikannya untuk kamu?"     

"Nah, kata-kata itu yang saya tunggu dari kamu."     

"Saya tegaskan, saya tidak akan menjual milik saya untuk siapa pun."     

"Sepertinya saya sangsi dengan ucapan kamu barusan." Pak Angga kemudian mengeluarkan beberapa lembar foto dari saku dalam jas yang ia kenakan. Ia kemudian melemparkan foto tersebut ke hadapan Ibu Ratna.     

Ibu Ratna mencengkeram gelasnya begitu melihat foto-foto tersebut. Sedangkan Pak Angga tersenyum melihat reaksi yang ditunjukkan Ibu Ratna.     

"Masih mau berdalih?" desak Pak Angga.     

Ibu Ratna melonggarkan cengkramannya pada kaki gelas yang sedang ia pegang. "Foto ini tidak berarti apa-apa untuk saya. Kamu tidak bisa mengancam saya dengan foto ini. Saya dan Agus memang sering mengadakan pertemuan belakangan ini, tapi itu tidak seperti yang kamu pikirkan."     

"Tapi, reaksi awal kamu ketika melihat foto itu berbeda dengan ucapan kamu barusan. Kamu terlihat terganggu dengan foto itu. Saya yakin ada pembicaraan penting antara kamu dan Agus. Tidak mungkin kalian bertemu hanya untuk membicarakan masalah perjodohan Maya dan Bara."     

"Sepertinya, semakin tua kamu jadi semakin tidak tenang. Padahal di usia kita ini, harusnya kita sudah tenang dengan apa yang kita miliki. Apa mungkin itu karena apa yang kamu miliki sebenarnya milik orang lain?"     

Ucapan Ibu Ratna membuat Pak Angga tanpa sadar mengepalkan tangan di bawah mejanya. "Apa maksud ucapan kamu?"     

"Kamu yang paling mengerti apa yang saya ucapkan," balas Ibu Ratna. Ia kembali meraih gelas winenya dan segera meminum isinya untuk menyembunyikan senyumnya setelah berhasil mengusik Pak Angga.     

Tangan Pak Angga semakin terkepal. "Wanita jalang," batinnya sambil menatap tajam pada Ibu Ratna.     

Ibu Ratna meraih tangannya dan melirik jam tangan berhiaskan berlian yang bertengger manis di tangannya. "Sepertinya saya harus segera pergi. Tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi."     

Pak Angga melepaskan kepalannya. Ia tersenyum pada Ibu Ratna. "Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk bertemu saya. Saya yakin masih banyak pertemuan penting lain yang harus kamu lakukan."     

"Kalau begitu, saya permisi." Ibu Ratna berdiri dari kursinya dan melangkah menuju pintu keluar yang ada di belakang Pak Angga.     

"Oh, ya. Saya dengar kamu sedang mengembangkan produk baru," gumam Pak Angga begitu Ibu Ratna melangkah di sebelahnya.     

Ibu Ratna serta merta menghentikan langkahnya dan menatap Pak Angga.     

"Semoga sukses dengan produk barunya," ujar Pak Angga yang diiringi dengan seringai yang membuat Ibu Ratna gentar.     

Ibu Ratna kembali mengalihkan pandangannya dan melanjutkan langkahnya untuk keluar dari ruangan tersebut.     

Selepas Ibu Ratna keluar dari ruangan tersebut. Pak Angga tersenyum puas seraya mengangkat gelasnya dan bersulang pada kursi kosong yang ada di hadapannya. "Cheers."     

****     

Bara menghabiskan waktu selepas makan malam bersama Arga di pinggir kolam berenang. Arga mengelus-ngelus perutnya yang kekenyangan.     

"Perut lu makin buncit aja." Bara menggoda Arga sambil melirik ke arah perutnya.     

"Ya, kerjaan gue, kan, gini-gini aja. Makan, tidur, jagain Bapak, begitu setiap hari. Wajar, lah, makin hari perut gue makin kaya tas pinggang."     

Bara tertawa mendengar gurauan Arga. "Sekali-kali olahraga, lah. Di sini, kan, enak. Halaman luas, kolam renang ada. Tinggal lunya aja, mau olahraga apa ngga."     

"Masalahnya disini itu dingin. Gue jadi suka mager," sahut Arga sambil terbahak.     

"hmm, pantes makin jadi itu tas pinggang," sindir Bara.     

"Ngomong-ngomong, Bar, kalau Bapak sudah sadar berarti tugas gue disini selesai, dong? Kan, kerjaan gue jagain Bapak. Kalau Bapak sadar, berarti gue udah ngga dibutuhin lagi di sini."     

"ya, lu masih dibutuhin, lah, Ga."     

"Kan, pasti Pak Agus yang bakal dampingin Bapak lagi."     

"Kalau begitu, setelah Eyang sadar, lu mau kerja sama gue ngga?"     

"Kerja sama lu? Jadi Asisten lu?"     

"Gue lebih suka nyebutnya tangan kanan ketimbang Asisten," sahut Bara.     

"Lu percaya sama gue?"     

Bara mengangguk yakin. "Pokoknya lu tenang aja, gue sama Eyang ngga bakal biarin lu hidup susah lagi. Gue udah berhutang nyawa sama lu. Sampai kapan pun gue ngga bakal bisa balas kebaikan lu waktu itu, selain berusaha memberi yang terbaik buat lu sama keluarga lu."     

Arga menatap Bara yakin. "Gue juga ngga bakal ngecewain kepercayaan lu."     

"Thanks, Ga." Bara mengajak Arga untuk melakukan tos dengan kepalan tangan. Arga menyabutnya. "Gue masuk dulu, Ga. Tadi, kan, gue mau ke kamar Eyang. Lu masih mau di sini?"     

"Iya, gue masih mau di sini. Mau bakar lemak abis makan tadi."     

Bara keheranan menatap Arga. "Lu mau berenang malem-malem?"     

Arga menggeleng.     

"Lari?"     

Arga kembali menggeleng.     

"Terus lu mau ngapain?"     

"Mau begong aja."     

"Emang bengong bisa bakar lemak?" tanya Bara kebingungan.     

"Ini, kan, dingin. Kalu dingin, badan kita bakalan bakar lemak biar kita tetap hangat. Jadi, kita ngga bakal kedinginan, sekaligus lemak kita terbakar," terang Arga.     

Bara mengernyitkan dahinya mendengar penjelasan Arga. "Terserah lu, aja, deh." Bara meninggalkan Arga di tepian kolam renang sambil geleng-geleng kepala.     

Setelah Bara pergi meninggalkannya, Arga memandangi pantulan wajahnya di kolam renang. "Apa lu bakal tetap percaya, kalau tahu, gue juga menyembunyikan fakta tentang Pak Haryo?"     

Arga memandangi punggung Bara yang sedang melangkah masuk ke dalam kediaman Pak Haryo. "Semoga nanti, lu ngga akan berubah pikiran setelah tahu keadaan Bapak yang sebenarnya."     

Arga menghela napasnya berat. Ia hanya bisa berharap Pak Haryo segera mengakhiri sandiwaranya sendiri sebelum Bara mengetahui hal ini dari orang lain.     

----     

Bara kembali menemui Pak Haryo di kamarnya. Ia duduk di kursi yang ada di sebelah tempat tidur Pak Haryo lalu mengambil buku yang tadi diletakkan Pak Agus di meja nakas. Bara membolak-balik buku tersebut sebelum membuka isinya. Ia lnatas membacakan isi buku tersebut di sebelah Pak Haryo.     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.