NITYASA : THE SPECIAL GIFT

8. Revolver



8. Revolver

0JAKARTA, 2019     
0

   Kota metropolitan ini kerap menjadi tujuan utama orang-orang dari penjuru negeri untuk hidup dan bekerja. Tak heran jika setiap harinya tempat-tempat yang menjadi sumber pintu masuk para pendatang selalu ramai. Entah itu Bandara, Pelabuhan, Terminal, atau bahkan Stasiun Kereta Api. Termasuk Stasiun Gambir yang merupakan salah satu stasiun terbesar di Jakarta.     

Banyak orang dari berbagai daerah serta bermacam profesi turut meramaikan tempat ini. Suasana yang ramai ini sebenarnya sangat cocok bagi para pedagang kecil untuk berjualan, tetapi sudah sejak lama pemerintah melarang pedagang berjualan di dalam area Stasiun, kecuali harus menyewa kios yang tersedia.     

Tetapi pedagang bukanlah satu-satunya pihak yang senang melihat keramaian semacam ini. Ada pihak lain yang lebih bahagia menyaksikan suasana riuhnya. Mereka biasanya melakukan aktivitasnya secara tersembunyi. Pekerjaannya adalah mengincar siapapun yang membawa barang berharga untuk kemudian diambil secara diam-diam. Ya, mereka adalah pencopet.     

Di hari itu, para pencopet yang terdiri dari lima orang anak remaja melakukan aksinya dengan mengincar dompet di saku celana bagian belakang milik seorang Bapak Tua berpeci hitam dan berkacamata. Umurnya sekitar 60-an tahun dengan ukuran badan yang ideal layaknya pria seumurannya. Pria tua itu baru saja keluar dari gerbong kereta ketiga dari depan. dengan membawa tas tangan dan sebuah buku yang dibawanya dengan cara dipeluk. Dia berjalan ke arah pintu keluar yang berlawanan dengan arah laju kereta yang baru saja dia tumpangi.     

Salah satu dari pencopet itu dengan sengaja menabrakkan badannya ke pria tua tersebut. Tidak terlalu keras, tetapi cukup untuk menjatuhkan sebuah buku yang sedang dirangkulnya.     

"Hati-hati kalau jalan, Nak!" tegur pria tua itu.     

"Maaf, Pak, tidak sengaja,"  jawab remaja itu beralasan.     

Bapak tua itu mengambil buku-bukunya yang berserakan. Dengan posisi membungkuk, menjadi kesempatan bagi pencopet tersebut untuk mengambil dompetnya yang berada di saku celana bagian belakang. Bentuk dompetnya yang panjang dengan ukuran saku celananya yang dangkal, membuat separuh bagian dompetnya menonjol keluar. Tentu saja itu memudahkan seorang pencuri untuk mengambilnya. Diambil lah dompet tersebut lalu diberikan ke temannya secara sembunyi-sembunyi, dilanjutkan teman yang satunya berjalan pelan sambil memberikan ke temannya yang lain secara cepat dan bergiliran.     

Si Bapak tua itu baru menyadari setelah tangannya merogoh saku celana bagian belakang dan mendapati dompetnya telah hilang. Merasa kurang yakin, dia melanjutkan dengan merogoh saku celana depan, saku kemeja, serta saku jaket hitam yang dia pakai. Tidak perlu berfikir lama, dia langsung menaruh curiga pada anak remaja yang menabraknya beberapa saat yang lalu. Kini wajahnya menengok ke kanan dan ke kiri sambil matanya menyisir tajam ke sekitar untuk mencari keberadaan remaja tersebut.     

Dari kejauhan, didapatinya remaja yang menabraknya itu sedang berjalan agak cepat dan sesekali menoleh ke arahnya. Tak salah lagi dialah yang mengambilnya.     

"Copet! copet!" teriak bapak tua itu. "Siapa saja tolong tangkap copet itu!"     

Si pencopet pun langsung lari dengan cepat. Dengan rasa paniknya, dia berlari sambil menabrak siapa saja yang menghalangi jalannya. Meskipun mereka bekerja secara berkelompok, tetapi temannya yang lain tidak ikut berlari. Karena mereka tahu hanya satu pencopet yang diketahui oleh targetnya. Salah satu dari mereka yang tidak ikut berlari lah yang bertugas menjaga dompet tersebut agar tetap aman. Mereka berjalan normal menuju tempat yang bisanya dipakai untuk berkumpulnya mereka untuk menunggu temannya yang sedang dikejar-kejar. Mereka berharap semoga temannya itu tidak tertangkap.     

Hafiz baru saja keluar dari kereta yang sama dengan yang ditumpangi Pria tua tersebut. Tetapi dari gerbong yang berbeda, jauh di belakangnya. Sambil berjalan ke pintu keluar, tangannya sedang sibuk memasukan sekeping koin yang terjatuh tadi ke dalam dompetnya sendiri. Seketika dia melihat pencopet itu berlari melewatinya. Ditambah mendengar teriakan 'copet' dari Pria Tua dari kejauhan.     

Tanpa berfikir panjang, Hafiz turut mengejar. Diikuti kemudian oleh orang-orang yang berada di stasiun. Hafiz yang sedang bersemangat mengejar, tiba-tiba diberhentikan oleh seseorang berbadan besar dan atletis didepannya, lalu didorong sampai tersungkur.     

"Cepat kembalikan dompetnya!" bentak pria berbadan besar tersebut.     

"Bukan... bukan, bukan saya pencopetnya. Copetnya tadi lari ke pintu keluar," protes Hafiz panik.     

"Sudah kita pukuli saja!" teriak salah satu dari rombongan orang yang berlari turut mengejar pencopet. Mereka langsung memukuli hafiz tanpa mendengarkan pembelaan dari hafiz.     

Doooooooorrrr...     

Terdengar suara pistol yang ditembakan ke udara. Yang ternyata bersumber dari seorang pria berbadan besar tadi. pistol berjenis Revolver ini sengaja ditembakkan untuk meredam situasi yang mulai ricuh.     

"Semuanya tenang!" bentak pria tersebut. "Jangan ada yang main hakim sendiri jika kalian mau melihat yang namanya keadilan."     

"Kamu mau kembalikan dompet yang kamu genggam itu, atau ikut saya ke kantor polisi!" sambung pria itu tegas kepada Hafiz.     

"Tapi saya bukan pencopetnya, Pak, ini dompet saya sendiri," tolak Hafiz panik.     

"Masih tidak mau mengaku juga kamu," ujar salah satu warga sambil menendang Hafiz yang sudah tergeletak tak berdaya.     

"Iya, mengaku saja kamu daripada mati di sini," tambah warga yang lain.     

"Iya benar, mengaku saja" berondong warga lainnya memojokkan.     

"Sudah, Pak, bawa saja ke Kantor Polisi," imbuh salah seorang warga lain yang semakin menambah suasana ricuh. Semakin banyak mulut yang berbicara semakin tidak terkondisikan keadaan di tempat tersebut. beberapa warga yang tidak ikut andil dalam masalah hanya menonton saja. Ada juga yang merekam dengan ponselnya untuk mengabadikan peristiwa tersebut.     

Dooor... Dooor... Dooor...     

"Saya mohon semuanya diam!" bentak pria tersebut tegas. "Saya polisi, saya akan bawa dia ke Kantor. Dimana korbannya?"     

Kemudian Pria tua yang menjadi korban pencopetan tersebut mendekatinya dengan didampingi oleh dua orang petugas keamanan stasiun.     

"Bukan dia pelakunya, lagipula itu bukan dompet saya!" bentak pria tua tersebut melotot ke arah sekumpulan warga.     

"Justru dia yang turut mengejar pencopet itu," sambungnya. "Sekarang gara-gara kalian salah tangkap, pencopet aslinya sudah lari selamat dengan membawa dompet saya."     

"Baiklah semuanya bubar...! semuanya bubar...!" tegas pria berbadan besar tadi memperingatkan kepada warga.     

"Tolong hubungi Ambulan! saya akan bawa orang yang tidak bersalah ini ke Rumah Sakit" perintah Bapak tua itu.     

"Atas dasar apa Bapak memberi saya perintah?" protes pria itu.     

Si Bapak tua mulai menyadark bahwa pria bertubuh besar yang dihadapinya itu bukan orang sipil alias anggota polisi.     

"Saya tidak peduli apa pangkatmu! Saya melihat sendiri kamu memberhentikan dia ketika sedang mengejar pencopet...!" bentak Bapak tua itu. "Secara tidak langsung kamu main hakim sendiri, karena kamu yang menyebabkan dia akhirnya dipukuli warga hingga berdarah-darah."     

"Baik, pak! Saya akan hubungi Ambulan," jawab polisi itu merasa bersalah. "Dan biarkan saya yang akan menanggung biaya pengobatannya."     

"Tidak perlu! saya masih mampu membiayainya!" tegas Bapak Tua tersebut.     

Tak menunggu waktu lama setelah polisi tersebut menelepon, Ambulan pun datang dan langsung membawa Hafiz ke Rumah Sakit terdekat.     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.