NITYASA : THE SPECIAL GIFT

3. Tongkat Gembala



3. Tongkat Gembala

0Hujan sudah reda, langit pun mulai membuka diri menunjukan wajah aslinya yang mempesona, sedangkan langit bagian barat mulai menjingga, seakan menggoda manusia untuk menatapnya, sebelum kegelapan bertukar menyapa.     
0

Tetapi itu bukanlah sesuatu yang menarik lagi bagi seseorang yang baru saja kehilangan. Apalagi harinya telah dihancurkan oleh langit yang menurunkan hujan, atau hanya bentuk sesal dari sebuah kecerobohan, sehingga semuanya seakan tak lagi menawan.     

Masih di tempat yang sama seperti saat memulai pagi, melamuni kejadian yang hari ini harus ia lewati, lamunan akan penyesalan yang semakin menjadi jadi, rasa takut pun turut menyelimuti, kini ribuan jenis perasaan buruk telah ia miliki.     

Tetapi hari sudah malam, sudah cukup untuknya gelisah dalam diam, perlu baginya memberanikan diri untuk pulang, entah apa yang terjadi nanti semua terserah Tuhan.     

Melewati jalanan yang sepi sambil menggenggam tongkat gembala di tangan kanannya, tatapan kosongnya masih sanggup untuk memperhatikan gelapnya jalan. Hatinya hancur karena harus menanggung tragedi hari ini. Pikirannya kacau memikirkan kemungkinan yang akan terjadi.     

Tentunya hari-hari berikutnya akan sangat tidak mengesankan lagi baginya. Tragedi hari ini seakan merampas segalanya. Selain perasaan bersalah karena kegagalannya dalam menjalankan amanat, sedari tadi kecemasannya hanyalah pada kesedihan ibunya, serta kemarahan ayahnya.     

Semakin mendekati rumah, jantungnya semakin berdebar. Debaran itu makin kencang tatkala melihat ayahnya dari kejauhan. Beliau sedang berdiri sambil menatap tajam, bersandar pada tiang penyangga atap kanopi serambi rumahnya. Menunggu anaknya pulang bukanlah hal yang biasa dilakukan ayahnya, tetapi pulang dalam keadaan hari sudah gelap bukan juga hal yang biasa dilakukan oleh anaknya ini.     

Langkah Abdul semakin mendekat, kemudian ayahnya berlari ke arahnya dan merebut tongkat gembalanya secara kasar, lalu mematahkannya.     

"Tongkat gembala yang kamu pegang ini tidak akan berarti apa-apa bagimu tanpa binatang gembala untuk dipimpin...!" bentak ayahnya setelah mematahkan tongkat itu dengan kedua tangan dibantu lututnya.     

Abdul sangat sedih bercampur takut melihat kemarahan ayahnya, apalagi saat melihat matanya yang berkaca seolah menahan tangis. Tidak pernah ia melihat ayahnya semarah ini.     

"Maafkan saya, Pak ...! Ampun ...! Maafkan saya ...!" Abdul sontak meraih kaki ayahnya dan bersimpuh sambil menangis keras.     

Ayahnya seolah terhipnotis oleh sikap anaknya yang tiba-tiba bersimpuh di kakinya. Meskipun beliau tahu persis cara seperti ini adalah cara ampuh untuk mengundang simpati, tetapi kali ini beliau akan benar-benar lebih meredakan kemarahannya sendiri.     

"Kata maaf di akhir, tidak bisa mengobati luka, Nak!" ucap ayahnya menahan tangis, sembari menurunkan nada bicaranya.     

"Ayah sudah tahu?" tanya Abdul.     

Sebelum sempat ayahnya menjawab, dari dalam rumah tiba-tiba saja ibunya keluar.     

"Ibu ... Saya minta maaf, Bu!" Abdul memohon sambil menangis, yang kemudian mendekat dan langsung memeluk ibunya.     

"Sudah, Nak, sudah...," ibunya menenangkan dengan suara lembutnya sambil menepuk punggung anaknya sambil memeluk yang juga secara refleks turut berlinangan air mata.     

"Ayo, Dul, Pak, kita masuk lalu bicara di dalam," ajak ibunya.     

Keluarga yang hanya terdiri dari Ayah, Ibu, dan satu orang anak itu pun berkumpul di dalam rumah yang dindingnya masih setengah beton dan anyaman bambu. Di ruang tamu, Ibu dan Anak itu duduk di kursi risban dengan desain tua yang sederhana, sedangkan ayahnya duduk di kursi yang berlawanan, dibatasi meja yang bentuknya lebar dan tinggi.     

"Pak Cipto tadi sore datang ke rumah, mengabarkan kalau bebek-bebek kita hanyut di sungai pemali," ibunya menjelaskan.     

"Kenapa bisa begitu?" sambung ayahnya berharap anaknya segera menjawab.     

"Maaf, Pak, saya lalai," jawab Abdul sambil menundukan pandangan.     

"Ada orang yang melihat kamu tidur di gubuk, itu bukan lalai, itu malas dan ceroboh. Memangnya kamu tidak berfikir sedikit? Bagaimana kalau ada yang mencuri?" ayahnya menimpali dengan nada yang sedikit marah.     

"Biasanya aman, Pak," jawab Abdul berani.     

"Jadi, kamu sering tidur?" tanya ayahnya lagi. "Dengar, Nak, orang bisa berbuat jahat karena melihat ada kesempatan, dan akan lebih mudah melakukannya ketika mengetahui bahwa korbannya sedang merasa aman," lanjut ayahnya yang mencoba memberikan petuah kepada anaknya.     

"Bebek-bebek itu penghasilan utama keluarga kita, Nak. Penghasilan dari menjual telurnya ke pasar itu yang sudah menyekolahkan kamu sampai lulus SMA. Pekerjaan Bapak sebagai buruh di perkebunan tebu itu tidak setiap hari, Bapak hanya dipanggil bekerja saat dibutuhkan saja, dan kadang hanya saat musim panen dan tanam saja," sambung ibunya untuk mengingatkan.     

"Sudah jangan diteruskan, makin sakit hati Bapak mengetahui kelakuan kamu hari ini, Dul. Setidaknya kita masih punya dua ekor kambing. Kalau beras habis, nanti kita jual yang jantan," sahut ayahnya yang kemudian bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan ruangan itu, disusul kemudian ibunya.     

Abdul tertunduk murung semakin sedih dan sangat menyesal, tidak menyangka kejadian hari ini telah menyakiti hati dan menyusahkan orang tuanya.     

***     

Seperti biasa, sebelum adzan subuh berkumandang, yang selalu bangun lebih awal adalah seorang ibu, begitu juga dengan ibu dari seorang pemuda yang bernama Abdul ini.     

Kebiasaan di masyarakat Desa Kali Gintung ini adalah saat menjelang subuh, semua pintu rumah dibuka lebar, dengan maksud dan harapan supaya rejeki bisa lebih mudah untuk masuk ke dalam rumah.     

Saatnya bagi istri dari buruh perkebunan tebu ini untuk membuka pintu rumahnya, namun dia terkejut saat melihat pintunya tidak di kunci dari dalam. Dalam kebiasaan di keluarga ini, yang terakhir tidur adalah yang mengunci pintu, sekarang Ibu ini ingat betul semalam yang tidur lebih akhir adalah anaknya.     

"Abdul ...! Abdul ...! Kenapa pintunya tidak kamu kunci semalam, Nak?" ibunya memanggil Abdul di kamarnya.     

Tidak ada jawaban yang terdengar, memang Abdul biasanya tidak pernah tepat waktu subuh saat bangun, segeralah sang Ibu menuju kamar Abdul, dengan niat membangunkannya.     

Pintu kamarnya pun terbuka, dan ternyata dia tidak ada di kamarnya, ibunya sedikit lega, kemungkinan Abdul pergi ke masjid lebih dulu sebelum waktu subuh tiba, dalam benaknya berujar, "rupanya peristiwa kemarin mampu merubahnya menjadi lebih dekat dengan Tuhannya."     

Kasih ibu memang sepanjang masa, tempat tidur anaknya yang berantakan membuatnya tidak tahan untuk segera membereskannya, tidak perlu waktu lama untuk membereskan kamarnya yang kecil dengan ranjang sederhana berkapasitas hanya satu orang tersebut. Di sela-sela waktu saat dia membereskan, tiba-tiba secarik kertas terjatuh di lantai.     

Tertulis 'Untuk Bapak dan Ibu.'     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.