NITYASA : THE SPECIAL GIFT

19. Pendekar Cantik Dari Madura



19. Pendekar Cantik Dari Madura

0Jayendra dan Seruni menyusuri jalan setapak di tengah hutan berkabut nan gelap dengan menunggangi kudanya masing-masing. Jarak pandang yang hanya berkisar 10 meter membuat mereka mengendarai kudanya dengan berjalan santai. Meski suasana hutan mencekam, namun hawa malam masih terasa hangat karena matahari belum lama ini baru saja masuk ke persembunyiannya di balik gulungan bukit barat.     
0

"Aku selalu menyukai malam yang tanggung seperti ini, langit di ufuk barat masih menyisakan sedikit kilau dari cahaya matahari. Bintang-bintang sore bersinar, Burung-burung diam di sarangnya. dan aku harus mencari sarangku," ujar Seruni.     

"Dari mana asalmu dan kemana tujuanmu?" tanya Jayendra.     

"Aku berasal dari Bangkalan. Aku tak punya tujuan selain mencari ibu kandungku."     

"Bangkalan? Pulau Madura?"     

"Iya... Sedari kecil, aku hidup bersama Ayah. Beliau adalah seorang yang sangat keras dan galak. Aku tak sama seperti gadis kecil lain dimana seharusnya menghabiskan waktu untuk bermain boneka jerami atau golek kayu. Aku lebih disibukan oleh pelajaran tentang ilmu kanuragan. Setiap hari, aku dilatih dan ditempa secara mandiri oleh Ayah. Aku ingin memiliki ibu untuk sekedar mengerti tentang apa yang aku rasakan sebagai anak perempuan. Ayah bilang ibu sudah mati sewaktu melahirkanku, tapi ketika aku menanyakan dimana kuburannya, Ayah selalu marah. Ketika remaja, pernah satu kali aku memberontak melarikan diri dari rumah. Tidak jauh, hanya menumpang di rumah teman yang berada di desa sebelah. tapi orang tua temanku memberi tahu Ayah. Kemudian Ayah menjemputku pulang. Bisa ditebak apa yang akan terjadi padaku setelah aku kembali ke rumah. Ya, tentu saja dia menghukumku. Lebih tepatnya menyiksaku. Badanku digantung terbalik dengan kaki diikat menggunakan tali yang dikaitkan ke langit-langit rumah. Itu berlangsung selama dua hari tanpa diberi makan. Waktu itu, aku tak memikirkan hal lain tentang Ayah melainkan hanya anggapan kalau Ayah adalah orang terjahat yang aku kenal di dunia. Ayah mana yang tega memberikan putrinya hukuman sekejam itu? Aku selalu bertanya-tanya sendiri, apakah Ayah mengira anaknya adalah seorang laki-laki? Apakah dia tidak sadar kalau anaknya itu seorang perempuan yang lemah?. Beberapa bulan setelah peristiwa itu, Ayah membawaku pindah dan membangun rumah di tengah hutan. Bahkan Ayah memagari hutan yang kami tinggali dengan membuat kolam melingkar mengelilingi tempat tinggal kami. Tidak, tidak cukup di situ kegilaan Ayahku, kamu akan terkejut ketika tahu kalau Ayah memasukan puluhan ekor buaya ke dalam kolam tersebut. Aku tahu Itu adalah cara supaya aku tidak bisa meninggalkan rumah. Entah apa yang dipikirkan orang macam itu. Aku mulai memperbarui anggapanku tentang Ayah. Yang semula menganggapnya jahat berubah jadi menganggapnya gila."     

"Lalu? Kamu yakin kalau Ibu mu masih hidup?" tanya Jayendra.     

"Kata Ayah, waktu kecil aku pernah sakit parah hingga hampir mati. Beruntung ada tabib hebat yang mampu menyembuhkan sakitku. Kata tabib itu, penyebab sakitku adalah karena aku memakan Jamur hutan. Sejak itu, aku tidak pernah memakannya lagi. Hingga saat beberapa bulan yang lalu, Aku mulai tidak tahan dengan kehidupan seperti ini, sehingga membuatku putus asa untuk menjalani hidup. Aku menemukan jamur hutan di samping rumah, kemudian aku memakannya. Dan benar saja, Aku mulai merasakan sesak napas, muntah berulang kali dan tubuhku menjadi lemas. Aku tergeletak tak berdaya di tempat tidur, persis seperti saat aku kecil dulu. Ayah mengetahui hal itu dan dia sangat panik, tabib yang dulu pernah mengobati sakitku sekarang sudah meninggal. Ayah sudah hampir putus asa untuk menyembuhkanku, dia hanya bisa menangis sejadi-jadinya di depan tubuhku yang sudah terbaring lemas. Aku benar-benar sekarat. seperti tinggal menunggu waktunya saja untuk pergi selamanya. Aku mulai berat untuk membuka mata, tubuhku mulai mati rasa, hanya telingaku saja yang masih mampu mendengar suara tangis Ayahku. Karena kami tinggal di tengah hutan, tidak ada yang bisa menolongku. Sedangkan jika Ayah meminta bantuan, mungkin akan terlambat karena begitu jauh letak pemukiman penduduk terdekat. Aku mulai berat untuk menggerakan lidah dan bibirku hanya untuk sekedar bicara sepatah dua patah kata. Ayah mulai bercerita tentang alasannya kenapa bisa bersikap keras terhadapku. Begitu terkejutnya aku mendengar kerika Ayah bilang, Ibu masih hidup. Entah kekuatan apa yang mendorongku untuk bangkit, tiba-tiba aku bisa menggerakan bibir untuk bicara dan merespon apa yang diucapkan Ayah. Ayah terlihat senang sekali melihat ku mulai bisa bicara lagi. Kemudian dia dengan semangat mengambilkan air dan makanan dan menyuapkannya padaku. Dengan sabar Ayah mengurusku sampai sembuh. Baru kali ini aku melihat kelembutan dan kasih sayang seorang Ayah."     

"Lalu, Ayahmu memberitahu keberadaan Ibumu?" tanya Jayendra.     

"Tidak, dia tidak tahu keberadaan Ibu. Yang dia tahu, dia pernah mengusir Ibu dari rumah. Waktu aku berusia dua tahun, Ibu hamil lagi. Mendengar kabar itu, Ayah pun pulang dari perantauannya di Kediri. Dan menuduh Ibu melakukan perselingkuhan. Dengan amarahnya Ayah mengusir Ibu dari rumah. Setelah ditelusuri kenyataannya, Ayah menemukan jawaban kalau sebenarnya Ibu diperkosa oleh seorang Tuan Tanah paling tersohor di Bangkalan. Ayah nekat menantang orang brengsek tersebut. Orang itu sangat sakti sehingga Ayah kesulitan mengalahkannya. Sampai-sampai kaki Ayah tersabet oleh tongkat milik orang tersebut, hingga membuat persendian pada lututnya rusak dan pincang hingga sekarang. Setelah pertarungan sengit yang begitu lama, Ayah berhasil membunuhnya. Sejak saat itu, Ayah disegani oleh masyarakat Bangkalan. Tetapi dimusuhi oleh orang-orang besar. Itulah alasan kenapa Ayah sangat keras mendidikku layaknya seorang anak laki-laki. Justru karena aku seorang perempuan, makanya beliau ingin aku supaya bisa memiliki kekuatan yang setara dengan laki-laki. Bahkan lebih dari laki-laki, supaya bisa membela diri ketika harga diriku dilecehkan oleh laki-laki."     

"Lalu apa yang membuatmu datang ke Pulau Jawa?"     

"Ibu ku dilahirkan di Pajajaran. Aku berharap Ibu berada di sana."     

"Lalu kenapa kamu mengikutiku sehingga membuatmu jadi lebih banyak membuang waktu di Galuh, kenala tidak langsung ke Pajajaran?" tanya Jayendra.     

"Dalam mencari sesuatu, kita harus fokus pada setiap detailnya, kita harus jeli dalam menelusuri tempat-tempat yang belum pernah kita singgahi. Siapa tahu aku bisa menemukan Ibu di Galuh? Ada kan kemungkinannya?" ujar Seruni.     

"Benar juga. Aku belajar banyak padamu hari ini."     

Di tengah perbincangannya, mereka berpapasan dengan dua buah kereta kuda di persimpangan.     

Ternyata mereka adalah rombongan dari Guru Sutaredja, Lingga, dan Saksana yang sedang membawa tahanan menuju Kotaraja.     

Mereka pun berhenti dan saling bicara.     

"Kami mencarimu, Jayendra. Kenapa tidak menunggu kami di Goa?" tanya Guru Sutaredja.     

"Tadi aku pergi mencari warung sebentar untuk makan siang. Tetapi ada sedikit masalah kecil." Ujar Jayendra.     

"Masalah apa?" tanya Sang Guru.     

"Hanya keributan dengan beberapa preman saja, semua sudah beres, Mahaguru."     

"Mata kamu merah, kamu mabuk, Kang? Tanya Lingga.     

"Tidak, ini hanya sedikit terkena debu," bantah Jayendra.     

"Kamu bersama siapa, Kakang?" tanya Saksana.     

"Oh iya, kalian semua perkenalkan ini namanya Seruni. Dia seorang pengembara dari Madura," ujar Jayendra.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.