NITYASA : THE SPECIAL GIFT

27. Ksatria Impian



27. Ksatria Impian

0Di pagi yang cerah, seorang wanita cantik berselendang sutra berlarian berjingkrakan ke sana ke mari membelah barisan kebun bunga matahari yang berjajar rapih. Kebun itu sangat luas hingga sejauh mata memandang hanya warna kuning kehijauan yang tampak. Langit biru bersih sehingga sinar matahari leluasa menyoroti hangat seakan turut memberi energi pada sang bunga untuk menyalakan kilau warna kuningnya sendiri. Wanita itu tambah ceria tatkala seorang pria datang dari kejauhan dengan pakaian agung ksatria perang nan gagah.     
0

"Ayo! kejar aku, Kangmas," canda gadis itu kepada si pria.     

"Awas kalau kena, aku cubit pipimu sampai merah!" gurau si pria mengejarnya.     

Sambil berlarian, si wanita berteriak manja sambil sesekali tertawa bahagia. Si pria mengejarnya dari kejauhan dengan langkah penuh, sementara si wanita hanya berlari kecil saja seolah memang sengaja berharap untuk ditangkap. Mereka berlarian membelah hamparan padang bunga matahari, langkahnya saling beradu bergesekan dengan batang-batang tanaman bunga sehingga menimbulkan suara gemerisik. Ketika jarak mereka makin dekat, teriakan manja si wanita semakin keras.     

"Nah, kena kamu!" kata si pria memeluknya dari belakang, suara jeritan manja si wanita makin menjadi-jadi. Kini si pria menggendongnya, dibawanya si wanita berputar-putar sejenak kemudian diturunkan kembali. Mereka saling berpelukan setelahnya. Angin lembut meniup rambut mereka seolah melambai-lambai.     

"Aku merindukanmu, Kangmas Sukma," ucap si wanita dengan menyandarkan kepalanya pada dada si pria yang mendekapnya.     

"Aku pun begitu, Nirmala," balas si pria yang ternyata adalah Sukmaraga. Kakak dari Raden Asmaraga dan juga anak dari Tumenggung Aria Laksam.     

Mereka pun berpelukan agak lama dan semakin erat. Kemudian mereka saling memandangi bola matanya masing-masing. Sukmaraga dan Nirmala saling diam, sesekali Sukmaraga membelai rambut yang menutupi daun telinga Nirmala, sementara Nirmala mengalungkan kedua tangannya lada leher Sukmaraga. Mereka saling mendekatkan wajah mereka dan tibalah saatnya saling melepas rindu yang telah lama tertahan dengan menyatukan hangatnya cinta melalui dua bibir yang beradu. Mereka berciuman lembut. Tidak ada perasaan lain di antara keduanya kecuali kebahagiaan tak terkira.     

Di tengah pergumulan bibir mereka yang semakin dalam, bunga-bunga di sekitar mendadak layu, seluruh tanaman bunga seolah mengering dengan cepat berubah menjadi kecoklatan seperti layaknya bunga yang sudah mati berbulan-bulan. Semua bunga menggugurkan kelopaknya. Langit pun mulai menggelap. Awan-awan hitam menggulung saling berkumpul menutupi seluruh luasnya langit seakan tanpa menyisakan sedikit celah pun untuk matahari menembuskan sinarnya lagi ke bumi. Kini tidak ada lagi warna kuning kehijauan yang ceria. Semua berubah menjadi suasana yang gelap dan mencekam.     

Sedangkan sepasang kekasih yang sedari tadi memadu cinta ini baru saja menghentikan aktivitas ciumannya ketika semuanya sudah berubah.     

"Ada apa ini, Kangmas?" tanya Nirmala gemetaran.     

"Sepertinya ada yang tidak beres," ujar Sukmaraga.     

"Aku takut, Kangmas. Aku takut!"     

"Jangan takut, aku yang menjagamu sekarang."     

Tiba-tiba dari langit kejauhan, sesosok makhluk terbang mendekati mereka. Sukmaraga dan Nirmala masih hanya memandanginya saja sebelum tahu apa sosok yang mereka lihat itu. Setelah semakin dekat, mereka makin menyadari bahwa yang dilihatnya itu adalah seekor naga terbang yang menyembur-nyemburkan api dari mulutnya. Sukmaraga langsung sigap mengambil tubuh Nirmala dan menggendongnya. Dia berlari cepat berusaha menghindar dari kejaran naga yang semakin mendekat.     

Suasana yang semula serba indah berubah menjadi serba mencekam. Padang bunga matahari yang semula cerah kuning kehijauan, berubah menjadi warna coklat kering. Sekarang naga yang menyembur-nyemburkan api dari mulutnya terbang merendah hingga api yang keluar pun turut membakar ladang bunga yang sudah kering itu. Api dengan cepat menjalar, padang bunga berubah menjadi lautan api.     

Sukmaraga berlari semakin cepat sambil menggendong Nirmala di depan. Tetapi, tetap saja langkahnya kalah oleh kecepatan terbang Sang Naga.     

Ketika Sukmaraga tiba di ujung jurang yang terjal, tanpa pikir panjang dia melompat.     

Nirmala menjerit ketakutan sejadi-jadinya. Sehingga jeritannya seketika membuat dirinya bangkit dari tempat tidur. Iya, semua kejadian itu adalah mimpi dari Nirmala. Dia sekarang mengambil posisi duduk sambil nafasnya terengah-engah karena ketakutan.     

"Nduk... Kenapa, Nduk? Ada apa?" tanya Ibunya dari luar kamar.     

"Tidak apa-apa, Bu, cuma mimpi buruk," jawab Nirmala.     

"Oh, Ya sudah, cepat mandi lalu sarapan. Setelah itu temani Ibu ke pasar."     

"Iya, Bu."     

Ketika dia bangkit dari ranjangnya dan hendak keluar kamar, tetapi kemudian langkahnya tertahan ketika dia mendengar sesuatu mengetuk jendela kamarnya. Ketukan itu lirih dan tak beraturan. Dia pun langsung membuka jendela yang terbuat dari kayu itu. Didapatinya seekor burung merpati. Ternyata burung itulah yang sedari tadi mengetuk-ngetuk jendela kamarnya menggunakan paruhnya. Di kaki merpati itu diikatkan selembar catatan. Nirmala membuka ikatannya dan membaca catatan itu.     

'PAGI INI, TEMUI AKU DI CANDI BULUS - - SUKMARAGA'     

Nirmala pun segera menemui ibunya untuk meminta izin.     

"Ibu, maaf hari ini aku tidak bisa menemani ibu ke pasar."     

"Lho? Kenapa?"     

"Aku ada urusan sebentar, Bu."     

"Urusan apa?"     

"Eh... Itu, di ajak Margasari untuk belajar melukis."     

"Benar? Tidak bohong?"     

"Iya, Bu, benar."     

Nirmala bergegas keluar dari rumahnya, sebelum sampai ke pintu, ibunya menahannya lagi.     

"Eh... eh... eh..., memangnya sekarang?"     

"Iya, Bu, mendadak. Sebab, mumpung Margasari belum berangkat ke padepokan seninya di Caruban siang ini."     

"Awas kalau ternyata kamu malah menemui Raden Sukmaraga."     

"Ya sudah, aku pergi dulu, Bu!"     

"Memangnya kamu tidak mandi dulu?" tanya ibunya meninggikan suara karena Nirmala sekarang sudah berjalan melewati pintu depan.     

"Nanti mandi di rumah Margasari saja, Bu!" jawabnya lantang.     

Nirmala pun pergi dengan sedikit perasaan bersalah karena telah membohongi ibunya. Apa hendak dikata, dia terpaksa melakukan ini sebab jika dia mengatakan yang sebenarnya, ibunya sudah pasti tidak akan mengizinkan. Sudah sejak lama ibu Nirmala tidak mengizinkan anaknya untuk dekat-dekat dengan Sukmaraga, apalagi sampai menjalin hubungan. Beliau merasa cukup tahu diri, sebab Nirmala hanya seorang gadis yang berasal dari desa, anak orang biasa. Sementara Sukmaraga adalah putra dari seorang Tumenggung Kerajaan. Kedudukan dan kelasnya memang dinilai sangat jauh.     

Ibunya tidak terlalu tertarik pada harta jika pun harus menjadi besan keluarga pejabat istana, tapi justru hanya perasaan serba takut yang dirasakannya. Dia takut akan menjadi bahan cibiran orang lain, takut anaknya terlalu banyak dilibatkan urusan negara, takut anaknya ini hanya dijadikan sebagai pelampiasan nafsu para kaum pejabat dan priyayi. Ditambah lagi Tumenggung Aria Laksam adalah seorang yang tidak terlalu dekat dengan masyarakat kecil sepertinya.     

Nirmala kini sudah tiba di pelataran Candi, tetapi dia tidak menemui siapapun di situ. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Sukmaraga. Dalam hatinya dia berkata "ah mungkin ini kejutan untukku."     

Tiba-tiba dari belakang, matanya di tutup oleh sepasang telapak tangan seseorang.     

"Kangmas, sudah... sudah... jangan suka mengejutkan begitu, aku tahu kok itu kamu," ujar Nirmala sambil tersipu.     

"Kenapa kamu begitu yakin?" tanya seseorang yang menutupi matanya itu.     

Nirmala terkejut, karena suaranya berbeda seperti bukan suara Sukmaraga. Kini bukan hanya matanya yang ditutup, tetapi hidungnya pun ditutup dengan kain yang sudah dilumuri ramuan bius, sehingga Nirmala seketika pingsan sebelum sempat berteriak.     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.