NITYASA : THE SPECIAL GIFT

36. Hukum Penggal



36. Hukum Penggal

0Malam itu di Ruang Perpustakaan Kedaton, Tumenggung Aria Laksam sedang serius membaca sebuah kitab pusaka. Kitab itu berisi petuah-petuah sastra yang ditulis dalam bentuk aksara sunda oleh para pendiri Kerajaan Galuh di masa lalu. Seorang dayang mendatanginya dengan membawa sebuah minuman hangat beralaskan penampan. Seperti biasa, minuman hangat menemaninya ketika melakukan pekerjaan malam untuk sekadar menghangatkan tubuh atau memberikan ketenangan pikiran dalam mengatur keputusan-keputusan besar atas tanggung jawab pengabdiannya kepada negara.     
0

Setelah usai meletakan minuman hangat di meja Sang Tumenggung, dayang itu kembali meninggalkan ruang perpustakaan. Kemudian tak lama setelah si dayang pergi, masuklah seseorang berbadan tinggi besar. Aria Laksam tidak menyadari kehadiran orang lain di ruangan itu, matanya sedang fokus memperhatikan setiap kalimat pada lembar kitab yang dia baca. Namun, ketika orang tersebut semakin mendekatinya, suara langkah terompaknya menggugah telinga Sang Tumenggung. Dia pun kini mengalihkan pandangan ke arah orang yang mendatanginya. Bergegaslah Aria Laksam memberesi meja nya yang berserakan dan meletakan buku yang dia baca. Kemudian dia berdiri dan memberi hormat, "Gusti Patih...!" sapa Sang Tumenggung kepada orang yang ternyata adalah atasannya sendiri.     

"Aku tidak mau kehadiranku dianggap memangkas kebutuhanmu dalam berburu ilmu, Tumenggung," ucap Sang Mahapatih. "Lanjutkan saja bacaanmu!" Mahapatih berbicara tenang sembari matanya menyapu langit-langit ruangan.     

"Sudah selesai, Gusti Patih," ucap Tumenggung. "Kalau boleh tahu, ada keperluan apa Gusti Patih berkunjung ke ruang kerja hamba? Jika Gusti Patih memerlukan sesuatu kan tinggal menyuruh utusan untuk memanggil hamba, biar hamba yang mendatangi Gusti."     

"Ah, santai saja," ucap Mahapatih menepuk bahu kanan Aria Laksam.     

Kemudian Sang Patih mendekati meja dan beralih pandangan ke arah buku kitab yang semula dibaca Aria Laksam. Dipegangnya buku itu sambil membukanya lembar demi lembar. "Buana Mapat," ucap Mahapatih menyebut nama kitab yang dibacanya.     

"Kamu tahu, Tumenggung? Kalau Buana Mapat adalah karya sastra yang seharusnya tidak berada di sini."     

"Terus terang hamba tidak tahu, Gusti!"     

"Penulisnya adalah Nyai Senandung Wulan. Dia adalah murid dari Empu Kandang Dewa, si pencipta pusaka Sabuk Inten. Senandung Wulan mengadopsi pemikiran-pemikiran Sang Empu yang bijak. Akan tetapi Nyai Wulan banyak mencampurnya dengan pemikirannya sendiri yang cenderung militan dan sarat akan muatan politik. Padahal, pemikiran murni Sang Empu tidak pernah menyinggung perihal tatanan negara. Beliau murni mengabdikan diri pada kemanusiaan dan kesejatian hidup."     

"Maaf, Gusti. Lantas mengapa kitab ini bisa berada di sini sementara gusti berkata sebaliknya."     

"Gusti Prabu Dharmasiksa adalah orang yang sangat menghargai pikiran. Beliau tidak pernah pilih-pilih dalam mengoleksi berbagai karya seni, termasuk sastra. Meskipun muatannya terkadang bertentangan dengan pemikiran beliau sendiri. Kita beruntung memiliki seorang raja yang cukup arif dan bijaksana yang tidak menghalangi kebebasan berpikir. Sebab itu adalah hak dari setiap manusia. Tetapi sebagai seorang Patih, tentunya aku pribadi akan lebih memilih untuk menyingkirkan segala hal yang berpotensi merusak dan mengancam kewibawaan negeri ini. Sebab sekecil apapun percikan, lambat laun akan berubah menjadi badai api yang ganas dan menyala-nyala."     

"Ampun, Gusti. Hamba tidak tahu kalau kegiatan hamba dalam membaca kitab itu ternyata sebuah kesalahan," ucap Tumenggung seraya tangannya mengisyaratkan permohonan.     

"Bukan, Kamu adalah seorang Tumenggung. Kamu diizinkan untuk mempelajari apapun demi pengetahuanmu dalam bekal tanggung jawab sebagai kepala pertahanan negara." ujar Sang Patih sambil meletakan kitab yang semula ia pegang. "Ku pikir kamu tahu maksudku lebih banyak, Tumenggung!"     

Mahapatih berbalik badan dan berlalu hendak meninggalkan ruangan. Ketika gagang pintu sudah diraihnya, dia berhenti sejenak dan menoleh ke arah Aria Laksam.     

"Kita semua akan terkubur dan menjadi leluhur. Apa yang bisa kita berikan kepada keturunan kita adalah hal terpenting dari makna kehadiran kita di dunia."     

"Hamba akan lakukan yang terbaik, Gusti!" ucap Tumenggung sedikit mendekat.     

"Ngomong-Ngomong, Belakangan ini aku jarang melihat putramu yang bernama...?"     

"... Asmaraga, Gusti," pungkas Tumenggung. "Dia sedang turut mencari Saga Winata secara sukarela."     

"Ku pikir, dia seorang pemuda yang mengejutkan."     

Sang Mahapatih membuka pintu yang sedari tadi gagangnya sudah ia genggam. Kemudian berlalu meninggalkan Ruang Perpustakaan Kedaton.     

***     

Setelah Jayendra, Utkarsa, dan Utpala mendengar berita tentang penangkapan para perampok di Lembah Gampit yang ternyata bukanlah kelompok Saga Winata, Utkarsa berpendapat bahwa kemungkinan Saga Winata sudah tidak berada di wilayah operasinya. Sehingga akan sia-sia jika perjalanan dilanjutkan ke sana. Akhirnya mereka memutuskan untuk kembali ke Kotaraja untuk menyaksikan pelaksanaan hukuman mati sembari memikirkan rencana kedepan. Seruni telah pulih dari sakitnya, kini dia sudah mampu mengendarai kudanya lagi meskipun belum sepenuhnya dapat bergerak cepat.     

Keesokan harinya, mereka telah tiba di Kotaraja. Mereka tiba di perempatan pasar yang terdapat sebuah pohon besar yang biasa digunakan untuk meletakkan pengumuman. Akhirnya Jayendra memiliki sebuah ide yang mungkin akan disukai oleh teman-temannya. Namun, setelah dia membicarakan ide tersebut, Utkarsa tidak langsung setuju, menurutnya ada satu hal yang harus dia lakukan sebelum melakukan ide nya itu.     

"Sebelum kamu melakukan ide itu, kita harus melapor dulu kepada pihak Balai Kota," ujar Utkarsa.     

"Artinya tidak semua orang bisa memasang Woro-Woro di pohon besar ini?" tanya Jayendra.     

"Jelas tidak boleh sembarang orang. Kalau beritanya palsu kan bisa meresahkan masyarakat," ujar Utkarsa.     

Jayendra menunda niatnya untuk menjalankan ide itu. Sekarang mereka mempunyai rencana terdekat yang lebih menarik, yaitu menyaksikan para pelaku teror dihukum penggal.     

Hari masih terlalu pagi untuk dimulainya acara besar, tetapi seluruh warga sudah berkumpul di Lapangan Penghukuman. Mereka menunggu sebuah acara sakral yang menjadi ajang pembuktian dan pertaruhan kekuatan hukum negara. Panggung sudah dipasang lengkap dengan alat penggal. Keempat Algojo sudah berdiri di sisi kanan alat masing-masing. Mereka menutupi wajahnya sendiri dibalut kain hitam. Hanya menyisakan bagian mata yang terbuka. Guru Sutaredja dan Saksana telah duduk di kursi khusus tamu sebagai pelapor juga beberapa keluarga korban yang turur hadir. Jayendra dan kawan-kawan turut berdiri membaur bersama masyarakat yang menyaksikan.     

Maharaja Prabu Dharmasiksa, Patih Adimukti Nataprawira dan beberapa pejabat besar istana lainnya kini sudah duduk di tribun tertinggi. Beberapa pejabat bawahan seperti Adipati dan Walikota serta pejabat negara tetangga juga telah duduk di kursi tamu kehormatan.     

Kini keempat pelaku yang ditunggu-tunggu telah memasuki lapangan dengan digiring oleh beberapa prajurit menuju ke panggung tempat mereka akan dieksekusi. Alangkah menyedihkan menyaksikan raut wajah keempat pelaku yang sudah tak karuan. Hampir tak bisa diambil kesimpulan ekspresi apa yang mereka tampilkan. Kesedihan, ketakutan, penyesalan, serta keputusasaan berbaur menjadi satu. Mau tidak mau mereka harus pasrah menghadapi kenyataan kalau dunia ini akan mereka tinggalkan.     

Sorak sorai beserta kata-kata makian terlontar dari mulut masyarakat yang menyaksikan. Beberapa dari mereka saling berbisik satu sama lain. Mereka turut geram dengan tindakan kriminal yang dilakukan para pelaku. Hukuman mati menjadi hiburan yang sangat membahagiakan bagi masyarakat. Beberapa dari penonton bahkan melempari para pelaku dengan batu, tetapi Senopati Citra Wayang yang memimpin jalannya hukuman berusaha mendinginkan suasana.     

Mahaguru Sutaredja pun turut bisa merasakan apa yang dialami oleh para terdakwa ini. Biar bagaimana pun nurani kemanusiaannya masih hidup. Dia sebenarnya lebih memilih untuk langsung membunuh pelaku ditempat daripada harus membuatnya dihukum mati di panggung eksekusi yang jelas-jelas menggantungkan harapan hidup mereka dan memaksa mereka mempersiapkan waktu kematiannya sendiri. Tetapi sebagai seseorang yang bijak, Mahaguru tidak mau kematian dua lusin muridnya menjadi sia-sia dan tak menimbulkan kesan bagi sekitar. Dengan cara inilah sejatinya keadilan dan kemanusiaan turut hidup.     

Gong telah dipukul, pertanda acara siap dimulai. Terompet kebesaran ditiup sebagai isyarat bahwa Sang Prabu akan bersabda.     

Maka Prabu Dharmasiksa pun bangkit dari duduknya.     

"Rakyatku...! Apa yang kita saksikan ini adalah bentuk dari kebuasan sifat manusia. Tidak ada yang boleh seenaknya merenggut nyawa orang lain. Apalagi nyawa manusia yang tidak bersalah. Hukuman mati berbeda dengan sikap dendam dimana nyawa dibalas dengan nyawa. Tidak! Tetapi sebuah isyarat untuk kita membuka mata bahwa ada batasan-batasan dalam kehidupan ini yang tidak boleh kita langgar. Ini adalah pesan besar untuk menghidupkan akal sehat kita. Demi menata hidup yang lebih tertib antar manusia. Maka dengan alat penggal ini kita akan mengantarkan mereka berempat untuk segera bebas dari belenggu dunia. Setelah ini mereka akan beralih menuju keabadian, di alam sana mereka bisa melakukan apapun sesuka hati mereka. Semoga mereka sudah sempat menyesali kesalahannya sehingga Sang Hyang Widi dapat menempatkan mereka di tempat yang selayaknya."     

Usai mengucapkan sadbanya, Sang Prabu pun kembali duduk di singgahsananya. Upacara hukuman mati akan segera dimulai, para terdakwa pun menundukan kepala dan menyandarkan lehernya pada bantalan kayu yang berbentuk semacam alat pasung. Setelah leher terpasang, dikuncilah alat tersebut. Para Algojo telah bersiap mengangkat pedang. Mereka baru akan melakukan tugasnya ketika Senopati Citra Wayang memberikan aba-aba dengan memukul gong. Kemudian Senopati berbisik lirih kepada para terdakwa, "tidak perlu khawatir, ini akan berjalan lancar."     

"Justru itu yang ku khawatirkan," jawab seorang terdakwa.     

Senopati Citra sudah bersiap untuk memukul gong, diangkatnya pemukul itu di tangan kanannya. Kemudian...     

"Tahan...!!!" sela Mahapatih.     

Kemudian semuanya hening dan diam. Para terdakwa menghela nafas sejenak. Mahapatih mendekati mereka seraya berbisik lirih.     

"Sebelum kalian pergi meninggalkan dunia, ku harap kalian tidak mewarisi banyak pertanyaan."     

"Itu tidak akan merubah apapun, tidak ada gunanya lagi untuk kami, Gusti," bisik salah satu terdakwa.     

"Semoga kalian akan diampuni."     

Mendengar kalimat itu, para terdakwa seolah memiliki harapan baru, dengan semangatnya salah satunya berbisik, "Bukan Saga Winata yang menyuruh kami, Gusti, tetapi Ki Menyawak," ungkapnya dengan mata yang berkaca-kaca.     

Kemudian Mahapatih berdiri dan berjalan santai kembali ke tempat duduknya.     

"Senopati...! Lakukan...!" titah Sang Mahapatih.     

"Dasar kau Patih Pembohong...! Tidak pantas kau menjadi seorang Patih...! " teriak si terdakwa.     

"Semoga kalian akan diampuni oleh Sang Hyang Widi...!" seru Sang Patih.     

"Pembohong...!"     

'GOOONNNNNG...!!!'     

'BLAASSTTTTT...!!!' Para Algojo telah menuntaskan tugasnya. Dengan seketika kepala para terdakwa itu terlempar ke sisi depan panggung yang dibiarkan kosong. Darah memuncrat dari leher terdakwa hingga mengotori seragam para Algojo. Di waktu yang sama beberapa penonton berteriak histeris, terutama kaum wanita. Usai sudah urusan dunia bagi para pelaku pembantaian perguruan Wanawira. Mahaguru Sutaredja kini sudah merasa sedikit tenang karena proses hukum telah usai. Namun, ketenangannya ini tidak sepenuhnya karena pelaku utama dari pembantaian muridnya ini belum juga tertangkap.     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.