NITYASA : THE SPECIAL GIFT

45. Antara Dua Pengabdian



45. Antara Dua Pengabdian

0"Paman Saga...!"     
0

"Paman Saga...!"     

Seorang anak kecil berlari menapaki tanah berumput. Tak peduli semak belukar tanaman berduri semua diterjang dengan kaki telanjangnya. Anak itu adalah anak buah Saga Winata yang biasa ditugaskan untuk mengawasi jalanan utama. Dia akan mengabarkan jika ada rombongan pedagang yang lewat untuk kemudian menjadi target perampokan. Tetapi di situasi sulit seperti ini, tugasnya adalah mengawasi jalanan dari para pasukan patroli kerajaan.     

Saat itu Saga Winata sedang sibuk bersama Purna meneteli daging menjangan hasil buruannya. Suara si anak kecil samar terdengar dari kejauhan. Sumbernya dari tengah rimbunnya hutan randu dan semakin mendekat. Tatkala dirinya sudah hampir sampai ke perkemahan, kakinya tersandung batu besar dan badannya tersungkur. Wajah lesunya memucat seperti orang dikejar setan. "Gentolo...!" Saga menghampirinya segera. Kemudian membalikan tubuh tengkurap si anak yang bernama Gentolo itu. Dahi dan ujung hidungnya berdarah akibat tergesek tanah saat tersungkur. Dalam hembusan nafasnya yang tak beraturan, Gentolo masih tersadar meski matanya terpejam dan mulutnya meringis menahan sakit.     

Purna mengambil sebuah kendi berisi air minum, "Minum dulu, Ngger...!" menuntun bibir kendi ke mulut Gentolo. Baru tiga tegukan, dia sudah cukup.     

"Ayo, pelan-pelan... Tenang... Lalu bicara." Purna menenangkan. Gentolo menelan ludah sebelum mulai bicara.     

"Tentara patroli, Paman...! Tentara patroli...!" Gentolo berucap sembari nafasnya terengah-engah.     

"Hah?" Saga terperanjak.     

"Iya... Mereka sudah dekat, Paman..."     

Purna dan Saga saling tatap. "Sebaiknya kita lekas pergi dari sini...!" ucap Purna meyakinkan.     

Saga kemudian menyuarakan kepada seluruh anak buahnya, "Bongkar tenda...! siapkan diri dan perbekalan, kita akan segera berjalan ke timur melalui bukit. Bawa hanya barang-barang yang diperlukan...!"     

Dengan bergegas, mereka pun mulai mempersiapkan diri dan membongkar tenda. Beberapa ekor kuda dipersiapkan, tak lupa juga beberapa ekor sapi untuk menarik gerobak pengangkut barang.     

"Kamu masih kuat jalan, Ngger...?" tanya Purna kepada Gentolo.     

"Aku tidak kuat, Paman...! Sungguh...!"     

Purna memanggil dua orang rekannya yang lain, "Kalain tolong siapkan tandu, anak ini membutuhkannya...!"     

Selagi mereka mempersiapkan diri, pasukan patroli baru berada sejauh dua kilometer lagi untuk sampai ke tempat itu. Jalan yang mereka lalui itu mengandung banyak bebatuan besar sehingga salah-salah kaki kuda melangkah bisa terkilir. Sehingga mereka memutuskan untuk berjalan pelas saja. Dalam jalannya yang pelan lagi hati-hati itu, Seruni memutuskan untuk berada di barisan tengah membaur dengan prajurit lain karena di barisan depan, dia merasa risih dengan sang senopati yang terus-terusan mencuri-curi pandang terhadapnya.     

Jayendra dengan senopati Citra yang berada di barisan terdepan sesekali mengobrol santai sambil mengendarai kudanya yang berjalan sedikit-sedikit.     

"Kau berasal dari mana, Jayendra?" tanya Senopati basa-basi.     

"Dari perguruan Wana Wira di galunggung, Gusti."     

"Iya aku tahu itu. maksudku kau besar di mana?"     

"Ya... besar di galunggung, bersama Kakek Mahaguru Sutaredja."     

Senopati menatapnya pedas seolah tak puas dengan jawaban yang dilontarkan Jayendra.     

"Aaaaaa... mungkin maksud gusti senopati, hamba lahir di mana, begitu?"     

"Aaaaa iya, begitu maksudku." senopati tertawa mengekeh. "Ngomong-ngomong, kamu tidak perlu menghamba padaku, juga jangan gustikan aku. Kita berteman mulai sekarang...!"     

"Lalu, seharusnya hamba...?"     

".....ussssstttt, tidak perlu. Ini perintah...!" potong Senopati. "Lagipula kita seumuran."     

"Baik, Gusti Seno... Eh... Maksudku... Baik, Senopati!" Jayendra menggaruk kepalanya yang tidak gatal itu.     

"Ya sudah, teruskan ceritamu...!" Senopati Citra mempersilakan.     

"Aku dilahirkan di Pakuan. Ayahku seorang empu pengrajin alat-alat pertanian di sana."     

"Jauh sekali itu, Jayendra? Lalu kenapa kamu bisa berada di Galunggung?"     

"Ibuku meninggal saat melahirkanku. Ayahku sangat terpukul dengan kepergian ibu, sehingga yang dia lakukan hanya mabuk, berjudi, dan main wanita. Aku diurus oleh bibi ku ketika kecil. Akhirnya Ayah menikah lagi dengan seorang penari. Bibiku meninggal waktu aku umur lima tahun, aku pun dititipkan kepada Mahaguru Sutaredja. Dulu perguruannya masih di Pakuan. Namun semenjak perpindahan ibukota galuh, Perguruan Wana Wira pun turut pindah ke Galunggung agar dekat dengan Saunggalah, ibukota yang sekarang."     

"Maafkan aku tidak bermaksud untuk..."     

"Tidak apa-apa gusti, eh.. Senopati. Aku senang, Baru kali ini ada pejabat yang menganggapku teman."     

"Lho? Bukankah banyak teman-temanmu yang sudah jadi perwira?" tanya Senopati memastikan. "Banyak Rakryan Rangga dan Rakryan Demung yang adalah jebolan dari perguruanmu itu. Malah sepertinya banyak yang satu angkatan denganmu?"     

"Iya, maksudku yang bukan dari Wana Wira, baru senopati citra yang menganggapku teman. Aku merasa terhormat." Jayendra mengambil kendi berisi air yang diikatkan menggantung di punggung kuda, kemudian meminumnya. Mereka hening sejenak sebelum Jayendra melanjutkan bicaranya.     

"Senopati sendiri berasal darimana?"     

"Aku dari Gunung Arjuna," pungkas senopati.     

Jayendra tertawa kecil mengikih, Senopati merasa aneh dan bingung, "Kenapa tertawa?" sembari dia sendiri pun turut tertular dalam tawanya.     

"Itu empat kali lebih jauh daripada Pakuan, Senopati."     

"Iya, kamu benar."     

"Kenapa bisa menjadi senopati di galuh?"     

"Ceritanya panjang, kamu tidak akan suka."     

"Baiklah, ceritaku pendek dan anda suka. Sementara ceritamu panjang aku tidak suka."     

Senopati tertawa. "Menceritakan kisah hidupku memang panjang, dan paling enak tengah malam ketika suasana tenang dan sunyi. Lain kali aku ajak kamu singgah di wisma ku sambil minum kopi yang dipetik langsung dari Gunung Ciremai." Senopati Citra kemudian berganti mengambil air kendi yang menggantung pada punggung kuda, kemudian meminumnya. Suasana menjadi hening sebelum Senopati melanjutkan bicaranya.     

"Pasti banyak ilmu kanuragan berkwalitas tinggi yang diajarkan gurumu, Jayendra. Aku lihat kekuatan tenaga dalam kamu saat bertarung melawan Ki Menyawak sangat hebat. Seharusnya kamu sudah menjadi perwira sekarang. Kenapa kamu tidak mengabdi kepada kerajaan?"     

"Mengabdi kepada negara tidak harus menjadi tentara, kan?"     

"Itu menurutmu saja atau...?"     

"Mahaguru Sutaredja tidak hanya mengajarkan kami ilmu kanuragan. Tetapi juga ilmu kebajikan dan kebijaksanaan."     

"Jadi guru mu yang mengajarkan untuk tidak perlu menjadi prajurit atau...?"     

"... tidak," kata Jayendra. "Ini murni pilihanku. Bagiku dengan menjadi pendekar pengembara, aku bisa lebih dekat dengan rakyat kecil. Bisa lebih mengetahui apa yang mereka butuhkan."     

"Lalu ketika kamu sudah mengetahui apa yang mereka butuhkan, kau bisa memberikannya?"     

"Tidak dengan harta, tetapi tenaga..., Terus terang beberapa kali aku harus melibatkan diri berurusan dengan para tuan tanah dan adipati yang lalim. Mereka menindas para petani dengan mempekerjakan semau sendiri. Mereka juga terkadang melakukan pemungutan pajak yang melebihi ketentuan istana."     

"Benarkah begitu? Jangan membohongiku Jayendra. Kamu menjadi pendekar pengembara hanya supaya kamu bisa menjadi manusia bebas, kan?"     

"Menjadi manusia bebas, iya. Tunggu! Bagian mana yang membohongimu, Senopati?"     

"Pada bagian tuan tanah dan adipati lalim," terang Senopati. "Meskipun aku seorang panglima, aku sering mengunjungi rakyat untuk melihat perkembangannya. Dan aku lihat mereka baik-baik saja. Permasalahan mereka hanya kemiskinan akibat paceklik atau gagal panen. Bukan karena andil para pejabat daerah."     

"Lepaskan baju perangmu ketika mengunjungi kampung-kampung, Senopati. Cobalah berpakaian seperti pendekar."     

Senopati kemudian menatap Jayendra, pembicaraan hening seketika, dalam hatinya seolah berkata 'pendapat orang ini ada benarnya juga.'     

Tak terasa hutan belantara yang mereka tuju sudah dekat. Senopati pun mengangkat kepalan tangannya ke atas sebagai aba-aba supaya pasukannya berhenti berjalan. Dia pun berbalik dan berseru, "Di balik bukit di depan kita adalah hutan belantara yang kita tuju. Kita akan keluar dari jalan utama dan langsung menerobos menaiki bukit. Laporkan ketika kalian melihat pergerakan apapun di sepanjang wilayah yang kita lalui."     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.