NITYASA : THE SPECIAL GIFT

29. Gadis Dalam Lukisan



29. Gadis Dalam Lukisan

0Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, Jayendra, Uktkarsa, dan Utpala telah sampai di Kadipaten Mandi Wunga, tepatnya di desa Nanjung. Beberapa kali mereka bertanya kepada warga sekitar yang ditemuinya tentang tempat tinggal orang yang mereka cari. Mereka menghentikan laju kuda ketika mereka yakin sudah sampai pada tempat yang dituju. Tubuh mereka bertiga masih terduduk di punggung kuda.     
0

"Kamu yakin ini rumahnya, Karsa?" tanya Utpala memastikan.     

"Menurut warga sih begitu, rumah pagar bambu yang di latarnya terdapat pohon cermai. Nah, pasti ini kan?" Utkarsa menunjuk.     

Kemudian Jayendra tanpa berkata-kata langsung inisiatif turun dari kuda dan mengikatkannya pada sebatang pohon. Dia berjalan pelan menuju pintu rumah tersebut disusul oleh Utkarsa dan Utpala yang juga menuruni kudanya.     

Jayendra memperhatikan sekeliling, dia yakin ini adalah rumah Sunda Manda si pelukis. Sebab, terdapat sebuah lukisan yang terpajang di atas pintu kayu yang akan dia ketuk itu. Sebuah lukisan wanita cantik yang tersenyum manis seolah menyambut ramah siapapun yang datang.     

" Sampurasun...," Jayendra mengetuk pintu sebanyak tiga kali.     

Pintu pun dibuka oleh seorang pria paruh baya. "Rampes...," sambutnya. "Maaf, mau cari siapa?" tanya si pemilik rumah.     

"Kami mencari orang yang bernama Sunda Manda, apa benar ini rumahnya?" tanya Jayendra.     

"Yang Ki Sanak tanyai inilah Si Sunda Manda," jawab tuan rumah.     

"Hei, Sunda Manda, kamu tua sekali sekarang?" celoteh Utpala yang kemudian mendekatkan diri di depan orang yang bernama Sunda Manda tersebut.     

"Apa aku mengenal kalian?" tanya Sunda Manda.     

"Hei, kamu pikir siapa yang memberi nama Sunda Manda?"     

"Utkarsa? Utpala?" tanya girang si Sunda Manda.     

Utkarsa dan Utpala bergantian memeluk si Sunda Manda. Pelukan itu bak hujan di musim kemarau, rindu terlepas bersama di saat itu, mereka sangat bahagia saling bertemu dengan sahabat lamanya.     

***     

Sementara itu, Seruni mengendarai kuda melewati jalanan bibir tebing nan terjal. Dia tidak berani melajukan kudanya cepat-cepat. Tanah pada tebing itu sangat kering dan ringkih. Meski tapak kuda melangkah perlahan, kepulan debu yang dihasilkan cukup membuatnya terlihat seolah berasap. Memang di sekitar tebing adalah tanah yang sangat tandus dan gersang. Cuaca yang sangat terik bahkan bisa mematangkan sebutir telur yang dimasak di bebatuan tebing tanpa api.     

Dari kejauhan dia melihat seorang pria yang mencurigakan. Pria itu menaiki kuda dengan memboncengkan seorang wanita pingsan di belakangnya. Kemudian dilihatnya si Pria menurunkan si wanita pingsan tak lama setelah dia sendiri turun dari kudanya. Dipapahnya si wanita menuju bibir tebing.     

"Gawat, ini pembunuhan...!" tutur Seruni dalam benaknya. Tanpa berlama lama dia tinggalkan kudanya sendiri dan berlari melesat menuju si pria yang sudah hampir mendorong si wanita ke jurang setinggi 20 meter.     

Seruni langsung menendang si pria hingga tubuhnya jatuh terkapar. Seruni menarik lengan si wanita yang hampir terjatuh ke jurang dan membawanya menjauh dari bibir tebing.     

"Bangsat kamu, di mana akal sehatmu? Bagaimana mungkin Dewa membiarkan manusia busuk sepertimu memijakan kaki di bumi ini...!"     

"Jangan ikut campur kau wanita pelacur!"     

Mendengar umpatan itu, Seruni tidak terima. Pedang langsung dia cabut dari sarungnya dan menghunuskan ke tubuh si pria. Seketika si pria yang masih terkapar, menggulingkan badan untuk menghindar.     

Namun tebasan kedua berhasil merobek lengan baju kiri si pria dan melukainya.     

Pria itu memegangi lengan kiri dengan tangan kanannya sambil meringis kesakitan.     

Seruni cukup puas karena telah berhasil membuatnya terluka. Secara seksama Seruni memperhatikan wajah lelaki itu.     

"Oh, rupanya kamu orang yang kemarin hadir dalam persidangan para pembantai perguruan Wana Wira. Kamu turut duduk di kursi pejabat. Kalau tidak salah, Asmaraga kan namamu?" tanya Seruni memojokkan. Asmaraga hanya terdiam.     

"Aku tidak habis pikir jika aib mu ini diketahui oleh orang. Mungkin kamu akan digantung di alun-alun Kotaraja."     

Asmaraga menganggap Seruni adalah ancaman, karena bisa saja dia membocorkan perbuatannya kepada orang lain. Maka dengan mengambil kesempatan, dia berusaha mendorong Seruni untuk jatuh ke jurang. Namun si Pendekar Cantik dari Madura itu tidak pernah lengah. Dia berhasil menghindar dari dorongan Asmaraga. Malah sebaliknya, Seruni lah yang menendangnya ke jurang. Asmaraga terjatuh sambil berteriak, kini tubuhnya tak terlihat lagi tertutup oleh bentuk tebing yang bergelombang tidak beraturan. 'Mungkin dia sudah mati' ujar Seruni dalam benaknya.     

Seruni membawa si Wanita yang pingsan tadi ke tempat yang aman.     

***     

Di ruang tamu, Jayendra, Utkarsa, dan Utpala sedang duduk bersama Sunda Manda si tuan rumah yang posisi duduknya berseberangan dengan mereka bertiga.     

"Jadi, kamu masih suka lukisan?" tanya Utkarsa kepada Sunda Manda.     

"Aku akan selalu suka dan mencintai lukisan, jika dia bernyawa, aku akan mengawininya," jawab Sunda Manda dengan percaya diri.     

"Kalau begitu, aku mau meminta bantuanmu untuk melukiskan wajah seseorang yang ciri-cirinya akan disebutkan oleh Utpala," pinta Utkarsa kepada sahabat lamanya itu.     

"Aku cuma bilang kalau aku masih suka lukisan, bukan masih suka melukis," tuturnya bulat yang membuat orang-orang di sekitar situ heran.     

"Kenapa begitu, Paman?" tanya Jayendra penasaran.     

"Sejak istriku wafat, aku memutuskan untuk berhenti melukis. Lukisan yang menempel di atas pintu yang kalian lewati itu adalah lukisan terakhirku. Dia adalah istriku."     

"Istri muda mu? Yang keberapa?" tanya Utpala.     

"Hahaha, aku tidak sepertimu yang doyan kawin, Utpala,"     

"Tapi itu lukisan wanita muda nan cantik sekali, Manda," tutur Utkarsa.     

"Aku tidak melukis istriku di umur saat dia wafat, tetapi aku melukis lamunanku. Lamunan itu membawaku pada wajah cantik istriku ketika muda dulu," ujar Sunda Manda berbangga diri.     

"Padahal Paman sangat ahli dalam melukis tanpa melihat objeknya secara langsung, bukan tidak mungkin bisa melukiskan seseorang yang ciri-cirinya disebutkan oleh orang lain. Sayang sekali rasanya kalau ternyata Paman sudah berhenti melukis."     

Tiba-tiba dari ruang tengah, seorang wanita muda datang membawakan nampan berisi air teh.     

Jayendra, Utkarsa, dan Utpala melihat keheranan.     

"Silakan diminum Ki Sanak...," ucap wanita itu lirih sambil menghidangkan teh poci di meja tamu. Tak lama segera si wanita muda itu kembali ke belakang.     

"Kamu berbohong tentang istrimu atau memang istrimu bangkit dari kubur?" ceplos Utkarsa.     

"Kenapa memangnya?" tanya Sunda Manda.     

"Itu dia tadi? mirip sekali dengan yang ada di lukisan itu." ujar Utkarsa     

"Hahaha..., dia putriku. Namanya Margasari. Memang dia mirip sekali dengan ibunya sewaktu muda dulu."     

"Aku hampir mengira kalau dia arwah istrimu, Manda," celoteh Utpala.     

Dengan meminta izin, Jayendra meminum teh yang disuguhkan. Matanya seperti menatap kosong setelahnya.     

"Kamu kenapa, Jayendra? Sepertinya kamu sedang melamuni sesuatu?" tanya Utkarsa.     

"Eh, tidak. Paman." ungkapnya.     

"Aku paham, anak muda. Kamu sudah jauh-jauh kesini lalu mengetahui kalau aku sudah tak lagi melukis, itu pasti membuatmu sangat kecewa," tutur Sunda Manda.     

Jayendra sebenarnya sedang memikirkan nasib Seruni yang entah di mana keberadaannya. Tetapi dia memilih untuk tidak mengatakan hal itu kepada siapapun. Sebab, soal asmaranya lebih baik tidak diumbar kepada orang lain. Apalagi orang-orang di sekelilingnya ini bukanlah yang seumurannya. Tentu akan lain cara pandangnya terhadap urusan percintaan kaum muda.     

"Jadi, kita harus cari pelukis lain kemana? rasa rasanya di Tanah Jawa ini sulit untuk menemukan pelukis, jumlahnya sangat sedikit. Bisa dihitung jari," tutur Utkarsa percaya diri.     

"Heleh, sok tahu kamu, Karsa. Sebenarnya kalau mau mencari, sangat banyak pelukis hebat di Tanah Jawa, di Galuh pun banyak. Kalian saja yang menutup mata. Kaum pendekar seperti kalian tidak pernah peduli terhadap kebudayaan dan seni, kalian hanya mementingkan adu kekuatan dan ilmu kadigdayaan saja," ujar Sunda Manda kesal.     

"Kalian baru tahu pentingnya seni, budaya, dan agama ketika dalam keadaan terdesak saja atau hanya menjadi alat untuk kepentingan politik."     

Mereka bertiga terdiam karena menyadari apa yang diucapkan Sunda Manda ada benarnya.     

"Ya sudah, kalau memang kalian sangat membutuhkan lukisan itu, akan aku suruh anakku yang melakukannya. Margasari mempunyai kemampuan melukis yang sama, bahkan sekarang hampir melampaui kemampuanku."     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.