NITYASA : THE SPECIAL GIFT

221. Gunung Purba



221. Gunung Purba

0Bayan melongo terkesima dengan jawaban Lingga yang langsung menampar logikanya. Ia kemudian berjalan memasuki rumahnya. Tentu saja mereka bertiga pun kebingungan, bisa-bisanya bayan langsung hendak memasuki rumah tanpa berkata apa-apa. Setelah sudah sampai selangkah lagi menuju pintu, Bayan menoleh ke belakang menyaksikan mereka bertiga terdiam mematung layaknya orang linglung.     
0

"Lho kok pada diam? ayo masuk!" pinta Bayan kemudian. Tentu saja mereka tak habis pikir, Bayan seharusnya berkata lebih awal jika memang disuruh masuk. Sehingga tak perlu bagi mereka kebingungan.     

Ketika mereka memasuki rumah Bayan, sungguh sangat megah di dalamnya, memang nampak luar, rumah ini hanyalah pondok sederhana berbahan kayu dan bambu. Tetapi di dalamnya cukup bisa dikatakan mewah. Lantainya berbahan batu marmer. Banyak guci-guci besar dan kendi berbahan keramik juga hiasan dinding dan patung seni berbahan emas dan permata. Lingga, Saksana, dan Abdul tentu terkejut dan heran. Mereka pun berpikir kalau ini adalah barang-barang bernilai tinggi yang di dapat dari hasil rampokan.     

"Mungkin aku tahu apa yang kalian pikirkan. Jawabannya adalah iya, ini adalah barang-barang hasil rampokan. Sebenarnya ini bukan rumahku, ini hanyalah salah satu dari sepuluh gudang barang yang kami gunakan untuk menampung hasil rampokan."     

"Katakan padaku, Kang Bayan, apakah menyenangkan menjadi perampok?" tanya Saksana ceplas-ceplos. Siapapun yang mengecap buruk sikap perampok, akan tergiur juga jika langsung diperlihatkan barang-barang mewah hasil dari rampasan itu.     

"Tentu saja," ujar Bayan yang melangkah ke arah deretan lemari kaca. Lemari yang berisi banyak sekali barang-barang mewah dengan ukuran yang lebih kecil. Biasanya untuk menyimpan perhiasan semacam kalung, cincin, gelang, atau mahkota. "Tetapi bukan itu yang ingin aku tunjukan."     

Ia kemudian mengambil sebuah obor yang sudah menempel di dinding.     

"Gila? Kau hendak membakar rumah ini, Kang Bayan?" tanya Lingga khawatir. Bayan tertawa mengakak. Ia menggelengkan kepalanya tanda jawaban bahwa tebakan Lingga salah. Bayan menghentikan tawanya. Perhatiannya kini tertuju pada lemari kaca yang paling tengah. Ukurannya telihat lebih besar daripada lemari yang lain. Mereka bertiga menyebar ke sudut-sudut dinding masing-masing hanya untuk melihat-lihat barang yang mereka kagumi. Namun, ketika Bayan mengusap-usap gagang pintu lemari kaca besar tersebut, mereka bertiga pun turut mendekatinya.     

"Mundur!" pinta Bayan mengejutkan mereka. Seketika mereka meloncat mundur ke belakang karena refleks. Ada tawa kecil di bibir Bayan, namun sekejap ia alihkan perhatiannya kembali kepada lemari besar yang sudah ia genggam gagang pintunya. Alih-alih membuka pintu lemari, Bayan justru mendorongnya. Maka bergeser lah lemari besar itu hingga mentok ke tembok di belakangnya. Maka lantai yang ada di bawahnya pun menganga. Sebuah ruang gelap tersingkap dari balik lantai tersebut. Ada sebuah tangga menurun ke bawah. Debu-debu masih beterbangan menggumpal di ruang gelap tersebut.     

"Ruangan rahasia?" tanya Abdul yang kaget sekaligus kagum. Bayan mengangguk mengiyakan. Begitu debu-debu sudah mulai menipis, Bayan merangsak masuk diikuti oleh Lingga, Abdul, dan Saksana. Bayan yang memimpin jalan untuk masuk. Mereka menuruni anak tangga yang langsung tertuju pada lorong yang berisi banyak sekali barang-barang mewah. Jika bagi orang lain, barang yang bernilai tinggi akan sangat dijaga kondisinya dengan baik, tetapi di sini barang-barang tersebut dibiarkan berserakan di tepian lorong. Sebenarnya ruangan bawah tanah inilah yang menjadi gudang penyimpanan utamanya. Tetapi karena hampir tidak tertampung barang-barang tersebut sehingga sebagiannya diletakkan di atas sana.     

"Lorong ini dibuat seperti labirin, jangan sampai ada yang menjauh dari barisan kalau tidak mau tersesat," ujar Bayan sembari berjalan agak membungkuk karena tinggi lorong yang kurang sepadan dengan tinggi tubuhnya. Ia menggenggam obor yang menuntunnya pada jalan lorong. Ada sebuah perempatan lorong di depan sana.     

"Kita akan berbelok ke kanan," ujarnya lagi untuk memandu mereka. Hanya ada satu obor yang dibawa, itu dipakai oleh Bayan untuk memandu nya di depan. Sementara dibelakangnya mengikuti dengan cara sedikit menunduk juga. Kecuali Abdul yang memang postur tubuhnya paling pendek. Ia juga terpaksa berjalan paling belakang. Sesekali bulu kuduknya merinding karena berada di bagian paling gelap sendiri.     

Ketika mereka berbelok ke kanan, ada setitik cahaya cukup jauh terlihat di sana.     

(bersambung...)     

***     

NITYASA : THE SPECIAL GIFT     

Adalah Novel karya SIGIT IRAWAN dengan latar KERAJAAN GALUH pada masa abad 13 masehi. Novel ini telah menjadi Novel digital dengan genre fiksi sejarah pertama di Webnovel.     

Tentu author sangat bangga atas penobatan sebagai novel fiksi sejarah pertama. author berharap NITYASA : THE SPECIAL GIFT akan mampu menjadi pelopor bagi novel sejenis yang lainnya. Semoga semakin banyak genre FIKSI SEJARAH di webnovel ini.     

Sebab, pengetahuan akan sejarah bangsa sendiri sangatlah penting di era milenium seperti sekarang. Meskipun ada embel-embel fiksi, sejatinya genre sejarah mempunyai ruh sendiri dalam membawa kisah-kisah klasik yang sesuai dengan kondisi pada zaman yang diceritakan tersebut. Paling tidak dengan mengkombinasikan sejarah nyata dengan fiksi, mampu membuat sejarah tidak terasa membosankan, justru akan terlihat menyenangkan.     

Malam hari, Desa Babakan diselimuti kegelapan. Walau daerah itu termasuk berpenduduk padat, tapi suasana terasa sunyi mencekam. Sedangkan udara dingin terasa sangat menusuk. Dalam suasana gelap gulita itu, tak terlihat kerlip cahaya bintang pun di langit sanasana sehingga membuat orang enggan keluar meninggalkan rumahnya.     

Tak ada seorang pun penduduk desa yang keluar rumah, kecuali seorang lelaki paruh baya bernama Bayan. Ia terlihat sedang duduk pada pagar batu di depan rumahnya. Rumah yang cukup lega untuk ditinggali seorang diri. Berdinding kayu jati dan beratapkan jerami kering. Bayan menatap langit yang kala itu sesekali menampakkan kilatan cahaya. Meskipun hari itu tidak hujan, tetapi kilatan itu berkali-kali menyambar dari ufuk satu ke ufuk lain tanpa menimbulkan suara.     

Memang beberapa gumpalan awan hitam sudah lama menyelimuti, sehingga menutupi cahaya rembulan dan bintang-bintang. Bayan tidak sedang sendirian duduk di atas pagar batu yang membatasi antara jalanan desa dan pelataran rumahnya, tak seberapa jauh darinya ada tiga orang pemuda yang tengah turut duduk berpangku tangan mendengarkan kisah-kisah yang disampaikan oleh Bayan. Lingga, Saksana, dan Abdul hampir tidak mengkerdipkan matanya turut tertuju perhatian ke arah Bayan.     

Malam hari, Desa Babakan diselimuti kegelapan. Walau daerah itu termasuk berpenduduk padat, tapi suasana terasa sunyi mencekam. Sedangkan udara dingin terasa sangat menusuk. Dalam suasana gelap gulita itu, tak terlihat kerlip cahaya bintang pun di langit sanasana sehingga membuat orang enggan keluar meninggalkan rumahnya.     

Tak ada seorang pun penduduk desa yang keluar rumah, kecuali seorang lelaki paruh baya bernama Bayan. Ia terlihat sedang duduk pada pagar batu di depan rumahnya. Rumah yang cukup lega untuk ditinggali seorang diri. Berdinding kayu jati dan beratapkan jerami kering. Bayan menatap langit yang kala itu sesekali menampakkan kilatan cahaya. Meskipun hari itu tidak hujan, tetapi kilatan itu berkali-kali menyambar dari ufuk satu ke ufuk lain tanpa menimbulkan suara.     

Memang beberapa gumpalan awan hitam sudah lama menyelimuti, sehingga menutupi cahaya rembulan dan bintang-bintang. Bayan tidak sedang sendirian duduk di atas pagar batu yang membatasi antara jalanan desa dan pelataran rumahnya, tak seberapa jauh darinya ada tiga orang pemuda yang tengah turut duduk berpangku tangan mendengarkan kisah-kisah yang disampaikan oleh Bayan. Lingga, Saksana, dan Abdul hampir tidak mengkerdipkan matanya turut tertuju perhatian ke arah Bayan.     

Pria paruh baya itu menceritakan semua hal tentang asal usul Saga Winata ketika menjadi seorang pimpinan rampok. Ada rasa bangga begitu besar dalam dirinya, meskipun pekerjaannya itu dinilai buruk oleh banyak orang.     

"Tidak ada orang sebaik dia ku rasa," katanya sembari membayangkan masa-masa dulu ketika dirinya bergabung bersama kelompok Saga Winata. "Rumah ini adalah bukti atas kebaikannya."     

"Jadi rumah ini hasil dari merampok?" Tanya Abdul ceplas-ceplos.     

"Kami tidak pernah merampok untuk memperkaya diri, Sebagian besar pendapatannya kami gunakan untuk mengisi lumbung-lumbung pangan desa yang tertinggal. Meletakkan hasil pertanian di depan pintu-pintu rumah rakyat jelata, membangun rumah untuk para gelandangan. Kami menyisihkan sedikit saja untuk kebutuhan sehari-hari. Kami yang ikut dengan Saga tidak pernah diajak olehnya, akan tetapi kami secara sukarela yang mengajukan diri untuk ikut terlibat berjuang bersama mengambil harta mereka kaum bangsawan dan saudagar yang menyimpan terlalu berlebihan."     

"Jadi dari mana biaya pembangunan rumah mu ini jika bukan dari merampok?" tanya Saksana.     

"Semula aku meragukan pengakuan Saga soal dirinya yang berkata kalau rumah-rumah yang diberikan untuk kami para anak buahnya adalah bukan uang dari hasil merampok. Lantas darimana lagi? Pikirku dahulu. Tetapi semenjak berita tentang Saga Winata yang menjadi buronan, dan terkuak sudah pribadi aslinya sebagai anak seorang tumenggung, maka semuanya menjadi masuk akal. Dia tidak pernah mengatakan kalau dia anak seorang tumenggung."     

Dalam tatapannya yang tak sudah-sudah mendongak ke atas, Bayan kini bangkit dari duduknya. Ia berdiri menghadap ke arah Lingga, Saksana, dan Abdul untuk mencari-cari celah sikap mencurigakan. Ia masih meragukan mereka bertiga. Ia tidak percaya kalau tiga orang pemuda ini bisa dipercaya untuk menyimpan rahasia yang selanjutnya akan ia katakan.     

"Kenapa kamu menatap kami seperti itu?" tanya Lingga merasa tersinggung.     

"Terus terang aku ragu jika harus mempercayai kalian," ungkap Bayan jujur.     

"Jika kamu ragu, kenapa kamu memanggil kami ketika di kedai itu? Kenapa kamu mengajak kami ke rumah mu?" Pertanyaan sekaligus pernyataan yang diutarakan Lingga justru membuat Bayan lebih berpikir keras. Benar juga apa yang dikatakan Lingga. Seharusnya jika memang tidak sepenuhnya mempercayai, lebih baik tidak perlu saja baginya untuk mengajak mereka bertiga ke tempat ini. Namun, tetap saja dari lubuk hatinya masih tersangkut keraguan meski hanya setitik saja. Sebab, rahasia yang akan ia katakan ini tentu mempertaruhkan hidupnya pula.     

"Bagaimana kalau aku ajukan satu pertanyaan lagi, hanya untuk memantapkan hatiku." Bayan masih saja berkilah. Karena mereka bertiga sudah terlanjur penasaran, maka mereka pun mengangguk setuju. Asalkan rasa penasarannya nanti bisa terobati.     

"Apa itu?" tanya Lingga menunggu.     

"Apa yang akan kalian lakukan terhadap Saga Winata setelah ini?" tanya Bayan seolah sedang menawar-nawar harga. Ia menunjuk ke arah Abdul seolah mempersilakannya menjawab lebih dulu     

"Kalau aku jelas karena membutuhkan sesuatu dari dia, sesuatu menyangkut pribadi ku yang tidak bisa aku katakan. Tetapi ini bukan sesuatu yang membuatnya rugi." Abdul memang punya rencana tersendiri terhadap Saga Winata. Ia belum menceritakan perihal latar belakangnya kepada siapapun tentang alasannya mencari sebuah benda pusaka.     

Lalu Bayan menunjuk ke arah Saksana. "Jangan menunjuk ke arahku, aku hanya mengekor dengan kakakku ini," kata Saksana gelagapan. Kemudian kini giliran Lingga yang menjawab.     

"Aku tidak peduli jika dia seorang rampok atau bukan. Karena memang sasarannya adalah orang-orang berharta, yang tentu saja aku bukan bagian dari mereka. Aku mencari Saga Winata untuk membalaskan dendam karena dia telah menghabisi dua lusin adik seperguruan ku, tetapi itu sebelum aku tahu kenyataan bahwa bukanlah Saga yang melakukannya. Kini ia menjadi buron karena fitnah yang ditimbulkan oleh para pelaku sebenarnya. Maka, sebagai seorang ksatria, aku wajib bertanggung jawab untuk itu. Aku akan membersihkan nama Saga Winata. Aku akan membuatnya kembali hidup bebas. Dan jika dia bebas, maka sisa-sisa anak buahnya juga bisa hidup bebas tanpa ketakutan."     

Pria paruh baya itu menceritakan semua hal tentang asal usul Saga Winata ketika menjadi seorang pimpinan rampok. Ada rasa bangga begitu besar dalam dirinya, meskipun pekerjaannya itu dinilai buruk oleh banyak orang.     

"Tidak ada orang sebaik dia ku rasa," katanya sembari membayangkan masa-masa dulu ketika dirinya bergabung bersama kelompok Saga Winata. "Rumah ini adalah bukti atas kebaikannya."     

"Jadi rumah ini hasil dari merampok?" Tanya Abdul ceplas-ceplos.     

"Kami tidak pernah merampok untuk memperkaya diri, Sebagian besar pendapatannya kami gunakan untuk mengisi lumbung-lumbung pangan desa yang tertinggal. Meletakkan hasil pertanian di depan pintu-pintu rumah rakyat jelata, membangun rumah untuk para gelandangan. Kami menyisihkan sedikit saja untuk kebutuhan sehari-hari. Kami yang ikut dengan Saga tidak pernah diajak olehnya, akan tetapi kami secara sukarela yang mengajukan diri untuk ikut terlibat berjuang bersama mengambil harta mereka kaum bangsawan dan saudagar yang menyimpan terlalu berlebihan."     

"Jadi dari mana biaya pembangunan rumah mu ini jika bukan dari merampok?" tanya Saksana.     

"Semula aku meragukan pengakuan Saga soal dirinya yang berkata kalau rumah-rumah yang diberikan untuk kami para anak buahnya adalah bukan uang dari hasil merampok. Lantas darimana lagi? Pikirku dahulu. Tetapi semenjak berita tentang Saga Winata yang menjadi buronan, dan terkuak sudah pribadi aslinya sebagai anak seorang tumenggung, maka semuanya menjadi masuk akal. Dia tidak pernah mengatakan kalau dia anak seorang tumenggung."     

Dalam tatapannya yang tak sudah-sudah mendongak ke atas, Bayan kini bangkit dari duduknya. Ia berdiri menghadap ke arah Lingga, Saksana, dan Abdul untuk mencari-cari celah sikap mencurigakan. Ia masih meragukan mereka bertiga. Ia tidak percaya kalau tiga orang pemuda ini bisa dipercaya untuk menyimpan rahasia yang selanjutnya akan ia katakan.     

"Kenapa kamu menatap kami seperti itu?" tanya Lingga merasa tersinggung.     

"Terus terang aku ragu jika harus mempercayai kalian," ungkap Bayan jujur.     

"Jika kamu ragu, kenapa kamu memanggil kami ketika di kedai itu? Kenapa kamu mengajak kami ke rumah mu?" Pertanyaan sekaligus pernyataan yang diutarakan Lingga justru membuat Bayan lebih berpikir keras. Benar juga apa yang dikatakan Lingga. Seharusnya jika memang tidak sepenuhnya mempercayai, lebih baik tidak perlu saja baginya untuk mengajak mereka bertiga ke tempat ini. Namun, tetap saja dari lubuk hatinya masih tersangkut keraguan meski hanya setitik saja. Sebab, rahasia yang akan ia katakan ini tentu mempertaruhkan hidupnya pula.     

"Bagaimana kalau aku ajukan satu pertanyaan lagi, hanya untuk memantapkan hatiku." Bayan masih saja berkilah. Karena mereka bertiga sudah terlanjur penasaran, maka mereka pun mengangguk setuju. Asalkan rasa penasarannya nanti bisa terobati.     

"Apa itu?" tanya Lingga menunggu.     

"Apa yang akan kalian lakukan terhadap Saga Winata setelah ini?" tanya Bayan seolah sedang menawar-nawar harga. Ia menunjuk ke arah Abdul seolah mempersilakannya menjawab lebih dulu     

"Kalau aku jelas karena membutuhkan sesuatu dari dia, sesuatu menyangkut pribadi ku yang tidak bisa aku katakan. Tetapi ini bukan sesuatu yang membuatnya rugi." Abdul memang punya rencana tersendiri terhadap Saga Winata. Ia belum menceritakan perihal latar belakangnya kepada siapapun tentang alasannya mencari sebuah benda pusaka.     

Lalu Bayan menunjuk ke arah Saksana. "Jangan menunjuk ke arahku, aku hanya mengekor dengan kakakku ini," kata Saksana gelagapan. Kemudian kini giliran Lingga yang menjawab.     

"Aku tidak peduli jika dia seorang rampok atau bukan. Karena memang sasarannya adalah orang-orang berharta, yang tentu saja aku bukan bagian dari mereka. Aku mencari Saga Winata untuk membalaskan dendam karena dia telah menghabisi dua lusin adik seperguruan ku, tetapi itu sebelum aku tahu kenyataan bahwa bukanlah Saga yang melakukannya. Kini ia menjadi buron karena fitnah yang ditimbulkan oleh para pelaku sebenarnya. Maka, sebagai seorang ksatria, aku wajib bertanggung jawab untuk itu. Aku akan membersihkan nama Saga Winata. Aku akan membuatnya kembali hidup bebas. Dan jika dia bebas, maka sisa-sisa anak buahnya juga bisa hidup bebas tanpa ketakutan."     

Bayan melongo terkesima dengan jawaban Lingga yang langsung menampar logikanya. Ia kemudian berjalan memasuki rumahnya. Tentu saja mereka bertiga pun kebingungan, bisa-bisanya bayan langsung hendak memasuki rumah tanpa berkata apa-apa. Setelah sudah sampai selangkah lagi menuju pintu, Bayan menoleh ke belakang menyaksikan mereka bertiga terdiam mematung layaknya orang linglung.     

"Lho kok pada diam? ayo masuk!" pinta Bayan kemudian. Tentu saja mereka tak habis pikir, Bayan seharusnya berkata lebih awal jika memang disuruh masuk. Sehingga tak perlu bagi mereka kebingungan.     

Ketika mereka memasuki rumah Bayan, sungguh sangat megah di dalamnya, memang nampak luar, rumah ini hanyalah pondok sederhana berbahan kayu dan bambu. Tetapi di dalamnya cukup bisa dikatakan mewah. Lantainya berbahan batu marmer. Banyak guci-guci besar dan kendi berbahan keramik juga hiasan dinding dan patung seni berbahan emas dan permata. Lingga, Saksana, dan Abdul tentu terkejut dan heran. Mereka pun berpikir kalau ini adalah barang-barang bernilai tinggi yang di dapat dari hasil rampokan.     

"Mungkin aku tahu apa yang kalian pikirkan. Jawabannya adalah iya, ini adalah barang-barang hasil rampokan. Sebenarnya ini bukan rumahku, ini hanyalah salah satu dari sepuluh gudang barang yang kami gunakan untuk menampung hasil rampokan."     

"Katakan padaku, Kang Bayan, apakah menyenangkan menjadi perampok?" tanya Saksana ceplas-ceplos. Siapapun yang mengecap buruk sikap perampok, akan tergiur juga jika langsung diperlihatkan barang-barang mewah hasil dari rampasan itu.     

"Tentu saja," ujar Bayan yang melangkah ke arah deretan lemari kaca. Lemari yang berisi banyak sekali barang-barang mewah dengan ukuran yang lebih kecil. Biasanya untuk menyimpan perhiasan semacam kalung, cincin, gelang, atau mahkota. "Tetapi bukan itu yang ingin aku tunjukan."     

Ia kemudian mengambil sebuah obor yang sudah menempel di dinding.     

"Gila? Kau hendak membakar rumah ini, Kang Bayan?" tanya Lingga khawatir. Bayan tertawa mengakak. Ia menggelengkan kepalanya tanda jawaban bahwa tebakan Lingga salah. Bayan menghentikan tawanya. Perhatiannya kini tertuju pada lemari kaca yang paling tengah. Ukurannya telihat lebih besar daripada lemari yang lain. Mereka bertiga menyebar ke sudut-sudut dinding masing-masing hanya untuk melihat-lihat barang yang mereka kagumi. Namun, ketika Bayan mengusap-usap gagang pintu lemari kaca besar tersebut, mereka bertiga pun turut mendekatinya.     

"Mundur!" pinta Bayan mengejutkan mereka. Seketika mereka meloncat mundur ke belakang karena refleks. Ada tawa kecil di bibir Bayan, namun sekejap ia alihkan perhatiannya kembali kepada lemari besar yang sudah ia genggam gagang pintunya. Alih-alih membuka pintu lemari, Bayan justru mendorongnya. Maka bergeser lah lemari besar itu hingga mentok ke tembok di belakangnya. Maka lantai yang ada di bawahnya pun menganga. Sebuah ruang gelap tersingkap dari balik lantai tersebut. Ada sebuah tangga menurun ke bawah. Debu-debu masih beterbangan menggumpal di ruang gelap tersebut.     

"Ruangan rahasia?" tanya Abdul yang kaget sekaligus kagum. Bayan mengangguk mengiyakan. Begitu debu-debu sudah mulai menipis, Bayan merangsak masuk diikuti oleh Lingga, Abdul, dan Saksana. Bayan yang memimpin jalan untuk masuk. Mereka menuruni anak tangga yang langsung tertuju pada lorong yang berisi banyak sekali barang-barang mewah. Jika bagi orang lain, barang yang bernilai tinggi akan sangat dijaga kondisinya dengan baik, tetapi di sini barang-barang tersebut dibiarkan berserakan di tepian lorong. Sebenarnya ruangan bawah tanah inilah yang menjadi gudang penyimpanan utamanya. Tetapi karena hampir tidak tertampung barang-barang tersebut sehingga sebagiannya diletakkan di atas sana.     

"Lorong ini dibuat seperti labirin, jangan sampai ada yang menjauh dari barisan kalau tidak mau tersesat," ujar Bayan sembari berjalan agak membungkuk karena tinggi lorong yang kurang sepadan dengan tinggi tubuhnya. Ia menggenggam obor yang menuntunnya pada jalan lorong. Ada sebuah perempatan lorong di depan sana.     

"Kita akan berbelok ke kanan," ujarnya lagi untuk memandu mereka. Hanya ada satu obor yang dibawa, itu dipakai oleh Bayan untuk memandu nya di depan. Sementara dibelakangnya mengikuti dengan cara sedikit menunduk juga. Kecuali Abdul yang memang postur tubuhnya paling pendek. Ia juga terpaksa berjalan paling belakang. Sesekali bulu kuduknya merinding karena berada di bagian paling gelap sendiri.     

Ketika mereka berbelok ke kanan, ada setitik cahaya cukup jauh terlihat di sana.     

(bersambung...)     

***     

NITYASA : THE SPECIAL GIFT     

Adalah Novel karya SIGIT IRAWAN dengan latar KERAJAAN GALUH pada masa abad 13 masehi. Novel ini telah menjadi Novel digital dengan genre fiksi sejarah pertama di Webnovel.     

Tentu author sangat bangga atas penobatan sebagai novel fiksi sejarah pertama. author berharap NITYASA : THE SPECIAL GIFT akan mampu menjadi pelopor bagi novel sejenis yang lainnya. Semoga semakin banyak genre FIKSI SEJARAH di webnovel ini.     

Sebab, pengetahuan akan sejarah bangsa sendiri sangatlah penting di era milenium seperti sekarang. Meskipun ada embel-embel fiksi, sejatinya genre sejarah mempunyai ruh sendiri dalam membawa kisah-kisah klasik yang sesuai dengan kondisi pada zaman yang diceritakan tersebut. Paling tidak dengan mengkombinasikan sejarah nyata dengan fiksi, mampu membuat sejarah tidak terasa membosankan, justru akan terlihat menyenangkan.     

SALAM WINATA... SALAM KEBEBASAN     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.