NITYASA : THE SPECIAL GIFT

48. Duel Sang Jago



48. Duel Sang Jago

0Purna Winata, si begal jenaka nan kejam terhadap lawan itu sudah dalam kondisi sekarat. Dahan runcing bekas patahan pada batang pohon menembus dadanya hingga ujungnya terlihat menonjol sepuluh senti. Tubuhnya menempel memunggungi pohon, menggantung tertahan oleh dahan runcing yang menembus dadanya, hingga kakinya tak memijak tanah.     
0

Anak buah Saga yang dipimpin Purna telah terbantai habis. Puluhan jazad manusia bergelimpangan, darah berceceran dimana-mana. Sehingga rerumputan hutan yang semula hijau segar berubah menjadi warna merah kecoklatan karena bercampur tanah. Maka Jayendra dan Utpala pun menghentikan pertempuran. Pakaiannya lusuh terkena cipratan tanah berlumpur bercampur darah. Nafasnya tersengal-sengal kelelahan. Namun sebenarnya pertempuran belum benar-benar berakhir.     

Matanya kini tertuju pada sesuatu yang bergerak mendekat muncul dari gundukan perbukitan kecil. Telinganya tersamar terdengar ringkik kuda dan suara ketukan telapaknya. Ada nama seseorang yang diteriakan berulang-ulang oleh objek manusia yang sedang mendekat itu. Semakin dekat semakin terlihat jelas wajahnya. Dialah Raden Sukmaraga alias Saga Winata. Sangat cepat laju kuda yang ditungganginya hingga gerombolannya sendiri tertinggal jauh. Sambil meneriakan nama Purna berulang kali, Saga menggenggam tali kekang kuda erat-erat dalam kecepatan yang menggila. Kedatangannya membuat urat mereka yang menyaksikannya kembali meregang. Jayendra pasang badan berposisi siap bertahan, Utpala mengambil ancang-ancang dari kejauhan hendak menubruk Saga dengan tubuh gembulnya itu sambil jemarinya mencengkeram kuat senjata Gadanya. Namun Jayendra menahannya, "Jangan! Paman." pintanya pelan sambil tangannya memberi isyarat. "Biarkan dia menghampiri temannya yang sekarat itu!!!"     

Seruni masih berada di sisi Purna yang tinggal menunggu nafas akhir saja. Kain selendang yang semula bersih nan lembut menjadi sangat kotor bersimbah darah bercampur lumpur, dia terkulai lemas dalam duduknya memandangi badan manusia yang telah dibunuhnya. Rasa lelah dalam bertarung sampai lawannya mati, membuat hampir seluruh tenaganya terkuras. Jayendra membantu membangunkan badannya dan menuntunnya untuk mundur. Sebelum dia terkena amukan Saga yang sesaat lagi mendekat.     

Benar saja, Sedekatnya dengan tubuh rekannya yang sekarat itu dia langsung melompat salto tanpa menghentikan laju kudanya terlebih dahulu. Membuat si kuda terkejut setelahnya dan menaikan dua kaki depannya sambil meringkik keras. Saga mendaratkan diri tepat di depan tubuh Purna yang tengah kehabisan suara untuk mengerang. Dilihatnya dari dekat wajah rekannya itu.     

"Siapa yang melakukan ini!? Katakan siapa orangnya...!?" teriak Saga setengah menangis.     

Purna tersenyum kecil, bibirnya sudah tak mampu lagi berbicara lancar, "Su...dah! Ja...ngan terlalu ka...sar ke...pada Wa...nita."     

"Wanita...!?" gumam Saga bertanya-tanya, kemudian menoleh ke arah satu-satunya wanita yang ada di tempat itu. Amarahnya semakin memuncak tatkala melihat ke arah Seruni. Giginya menggeretak menahannya.     

"Sa...Saga!" ucap Purna terbata-bata.     

"Iya, Purna! Bertahanlah, aku akan membawamu keluar dari hutan ini, kita cari tabib terhebat yang bisa menyembuhkanmu...!"     

Purna hanya menggelengkan kepalanya pelan tanpa menjawab.     

"Kau harus tetap hidup, Purna. Aku tidak bisa hidup tanpa rencanamu, tanpa arahanmu, tanpa kejenakaanmu."     

"Kau... bi...sa." Kemudian matanya terpejam dan berkata lirih. "Sa...lam Wi...nata, Sa...lam ke...bebass...an" kalimat putus-putus itu sekaligus menghantarkan hembusan nafas terakhirnya. Jantungnya berhenti berdetak, udara tak lagi berhembus dari lubang hidungnya, nadinya tak lagi berdenyut. Kini Purna hanya tinggal jazad yang masih tertancap pada dahan pohon.     

Saga berbalik badan dan menghampiri Seruni yang sedang berada dalam dekap Jayendra.     

"Lepaskan dekapanmu, Kang!" ucap Seruni sambil kembali bersiap untuk bertarung. "Barangkali dia ingin bernasib sama seperti rekannya."     

"Jangan! yang ini bagianku," ujar Jayendra menahan. Dia kemudian melepaskan dekapnya dan berjalan maju seiring dengan langkah Saga yang semakin mendekat.     

"Ternyata kamu, Preman warung? yang sok menilai kebijakan negara sementara kau sendiri bersama mereka? Munafik...!!!" hardik Saga menghentikan langkahnya.     

Jayendra pun turut berhenti dan membalas hardikannya. "Hanya karena aku bersama mereka, bukan berarti aku bagian dari mereka pula!"     

"Ucapanmu sok bijak, Ki Sanak! Kalau bukan bagian dari mereka berarti kamu pendekar bayaran. Yang turut bertempur demi uang!"     

"Sepertinya uang bukan masalah utama bagimu, putra tumenggung! Sikap jumawa membentukmu menjadi manusia yang buta!"     

"Minggir! urusanku adalah wanita itu!"     

"Ternyata kamu sudah cukup putus asa hingga lebih memilih bertarung dengan wanita daripada pria!" hardik Jayendra. "Urusan dia adalah urusanku, sebab aku juga bagian darinya."     

"Mengantrilah! Kamu pun akan mendapat giliran mati setelah dia...!" gertak Saga. "Orang yang telah membunuh keluargaku harus mati lebih cepat dari musuhku yang lainnya!"     

"Keluarga? Sepertinya otak manusia sepertimu sudah mulai terbolak-balik sekarang! Kau memilih berkeluarga dengan para begal sementara kau punya segalanya di rumah!" hardik Jayendra.     

"Jangan menilai semaumu jika kamu tidak mengenalku!"     

"Begitu juga kamu!" balas Jayendra. "Perkenalkan, namaku Jayendra. Aku hanya orang desa dari Galunggung yang datang untuk menuntut tanggung jawabmu terhadap dua lusin saudara seperguruanku yang telah kamu bantai."     

"Huh, ternyata bukan cuma aku yang buta!" ucap Saga mengembalikan perkataan Jayendra sebelumnya.     

"Aku tidak sepertimu, aku telah menanggalkan dendam pribadi. Menyerahlah...! Pertanggungjawabkan perbuatanmu dihadapan penghakiman negara. Itu lebih bijak daripada harus tergorok oleh pedangku!"     

Tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari balik gundukan bukit. Itu adalah gerombolan pasukan Saga yang menyusul dari belakang. Laju kuda yang mereka kendarai tak kunjung melambat meski sudah semakin dekat. Maka itu adalah isyarat bagi pasukan patroli yang dipimpin jayendra untuk turut melayani serangannya.     

Pertempuran pun berlanjut antara anak buah Saga Winata dengan pasukan patroli yang dipimpin Jayendra. Dengan sisa-sisa kekuatannya, Seruni masih menyanggupi untuk bertarung melawan beberapa anak buah Saga. Terlebih lagi Utpala dengan fisiknya yang masih prima maka amukannya semakin dahsyat. Tujuh orang sekaligus mampu dia retakkan tulang-tulangnya dengan senjata gada andalannya. Bahkan tak ada satupun kelompok begal itu yang mampu menyentuh kulit Utpala.     

Saga dan Jayendra terlibat duel. Masing-masing mereka menggunakan jurus-jurus silat andalannya sendiri. Saga bertarung lebih agresif dibanding Jayendra yang lebih banyak bertahan. Namun keduanya tak ada yang mampu membuat lawannya terluka barang secoret darah. Meskipun gerakan Jayendra cenderung bertahan, sebenarnya dia juga menunggu kesempatan yang tepat untuk mendapat celah supaya dia bisa menyerang Saga hingga terjatuh dengan sekali jurus.     

Jayendra menangkis dan menyapu beberapa hantaman dan tendangan Saga yang dilancarkan bertubi-tubi. Ketika Saga sudah mulai kelelahan dan tidak fokus terhadap jurusnya yang itu-itu saja, maka menjadi kesempatan bagi Jayendra untuk mengincar bagian lemahnya, yaitu bagian persendian lutut bagian belakang. Ketika Saga mengangkat kaki kanannya untuk menendang kepala Jayendra, maka tangan kirinya berhasil menangkis. Namun kaki Jayendra seketika memutar berotasi. Sehingga posisi Jayendra kini sudah di belakang Saga. Secepat kilat dia harus mengambil kesempatan. Ditendangnya bagian belakang sendi lututnya itu hingga tubuhnya terkulai setengah berlutut. Kemudian tendangan susulan pun dilancarkan pada bagian punggungnya. Tubuh Saga langsung ambruk tersungkur.     

"Bagaimana, Begal? Kau sudah mau menyerah?" tanya Saga meremehkan.     

Saga masih dalam posisi tengkurap di tanah. Tetapi tangannya diam-diam menyomot beberapa tanah kering dan langsung melemparkannya ke arah mata Jayendra supaya matanya kelilipan. Dan karena kelengahan, membuat Jayendra terkena lemparan itu hingga matanya perih terpejam serta tangannya kemudian mengucek-ucek berulang kali. Kesempatan itu dimanfaatkan Saga untuk balas menyerang. Saga pun bangkit berdiri dan langsung menendang bagian dada Jayendra kuat-kuat. Oleh tendangan itu, terjerembab lah ke belakang dan jatuh. Wajahnya meringis kesakitan dengan tangannya masih terus mengucek mata.     

"Ternyata kamu tidak belajar dari kesalahan, Jayendra! Bodoh!" seru Saga mengumpat.     

Utpala melihat Jayendra yang tengah ambruk itu, Kemudian mengambil botol bambu berisi air yang diikatkan dipinggangnya. Sebelum menghampiri Jayendra, dia terlebih dahulu memukul kepala Saga dengan gadanya dari belakang. Saga terjatuh menyamping untuk yang kedua kali. Kali ini dia mencoba berdiri, namun tegapnya sempoyongan sehingga tubuhnya ambruk kembali. Pukulan gada itu sangat kuat, jika saja orang biasa yang terkena, bisa saja langsung gegar otak.     

"Licik! Menyerang lawan dari belakang, sungguh Pengecut!" hardik Saga kepada Utpala.     

"Aku belajar darimu, anak muda!" balas Utpala menimpali. Yang lalu mendekat kepada Jayendra yang tengah terbaring kesakitan sambil tangannya masih saja mengucek mata.     

"Buka matamu, Jayendra! Jangan dikucek!" pinta Utpala sambil menyiramkan air ke mata Jayendra yang sudah memerah itu. Ketika beberapa lama, Jayendra mencoba mengedip-ngedipkan mata sampai aliran airnya menyebar ke seluruh bola matanya. Kini dia sudah sepenuhnya bisa melek kembali.     

"Terima kasih, Paman!" ucap Jayendra.     

Kemudian dari balik bukit kecil pada arah yang sama seperti munculnya Saga dan gerombolannya, pasukan patroli dipimpin Senopati Citra Wayang pun sedang mendekat untuk kemudian turut bergabung dengan pasukan yang dipimpin Jayendra. Maka terkepunglah kelompok Saga Winata.     

"Kalian semua...! Cepat lari...! Menjauh dari hutan ini...!!!" seru Saga memperingatkan kepada anak buahnya.     

"Kita akan bertemu dimana, Kang?" tanya salah satu anak buahnya.     

"Tidak...!" seru Saga yang kemudian diam sejenak. Matanya berkaca melihat seluruh pasukannya hampir habis dan hanya tersisa beberapa puluh saja. "... kita tidak bertemu lagi...! Selamatkan saja diri kalian. Cepat...!!!" lanjutnya kemudian. Maka meneteslah air mata yang tertahan itu. Dalam waktu sehari, dia harus kehilangan semua yang telah dia miliki. Keluarga yang rasanya sudah sangat mampu melengkapi hidupnya. Purna harus tewas secara mengenaskan. Sebagian besar anak buahnya pun telah berguguran. Kini dia tidak ingin lagi mengorbankan manusia lebih banyak. Cukup sudah orang lain mengorbankan diri untuknya. Lagipula Winata artinya kebebasan. Meskipun sisa-sisa anak buahnya kini saling berpencar menyelamatkan diri, maka selagi mereka bebas. Mereka tetap winata. Selamanya...     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.