NITYASA : THE SPECIAL GIFT

69. Gadis-Gadis Terlatih 2



69. Gadis-Gadis Terlatih 2

0Alunan suara musik kecapi tiba-tiba terdengar menggema. Angin sepoi-sepoi mengiringinya sehingga pepohonan melenggang seirama. Dilihatnya Dara Kaliloka sedang memainkan kecapi itu di bawah guyuran air terjun. Saga mengintip ke bawah tebing. Bagaimana mungkin dia tiba-tiba berada di bawah sana sementara sedari tadi tempat latihan berada di atas tebing, di hulu sungai di atas air terjun.     
0

Entah kenapa alam seolah turut mengatur temponya mengikuti alunan musik kecapi yang dimainkan oleh Dara Kaliloka. Aliran air tiba-tiba melambat, burung-burung berkumpul di dahan menyaksikannya serta turut bersiul menciptakan bunyi-bunyi merdu menyambut iringan musik. Serangga hutan semakin teratur irama nyaringnya. Kini semua suara alam membentuk harmoni beriringan dengan alunan musik kecapi.     

Saga masih terbelalak tak menyangka. Seorang gadis yang lain tiba-tiba berada di belakang Saga. Gadis itu terlihat menari-nari bak seorang Sinden. Alunan musik kecapi yang dimainkan Kaliloka berirama jaipong. Sehingga gadis penari yang bernama Dara Lahita ini sangat menikmati musiknya. Gemulai tubuhnya seolah ringan membuai siapa saja yang menyaksikannya. Gerakannya seirama dengan alunan musik kecapinya. Sesekali dia menyanyikan sepatah dua patah lirik jaipong sunda yang membuatnya semakin mampu membuai siapapun yang melihatnya.     

Nyai Senandung Wulan kembali mengingat peristiwa dimana pertama kali Dara Lahita dipertemukan ketika masih bayi. Nyai Wulan dulu mempunyai sahabat bernama Sintren Nira. Itu adalah gelar sakral Penari yang didapat secara turun temurun. Saat itu kota Warebes berada dalam situasi kacau akibat pemilik perkebunan tebu enggan mengupah para pekerjanya akibat gagal panen. Para pekerja yang marah, membakar perkebunan tebu yang sudah mengering itu.     

Pengadilan Adipati memutuskan bersalah kepada semua pekerja yang sebagian besar merupakan penduduk kota Warebes. Sehingga membuat kota itu harus membayar sejumlah upeti tambahan di luar pajak yang harus rutin diberikan menjelang akhir bulan selama tiga tahun. Untuk mengumpulkan dana yang dirasa sangat besar bagi warga kota, Walikota memutuskan untuk membuka pagelaran hiburan supaya orang dari luar kota berdatangan untuk menonton dan membayar. Sintren Nira yang merupakan seorang Sintren alias penari pilihan secara turun temurun, dipaksa oleh Walikota untuk menjadi penari dalam pagelaran jaipong tanpa dibayar.     

Sebenarnya Sintren Nira tak keberatan jika harus tidak dibayar, karena bagaimanapun ini untuk kebaikan Kota kelahirannya. Namun, durasinya untuk tampil hampir memakan banyak waktu. Bahkan dia tak henti-hentinya dipaksa menari sepanjang sehari semalam supaya pagelaran selalu ramai oleh pengunjung. Walikota tiba-tiba menjadi sangat tamak akan uang yang didapat dari penonton hiburan yang membludak. Meski sebetulnya sudah lebih dari cukup baginya untuk membayar upeti kepada Sang Adipati. Bahkan cukup sampai pelunasan selama tiga tahun.     

Suatu ketika Sintren Nira meminta izin untuk beristirahat selama satu hari. Walikota sebenarnya tidak mengizinkannya. Namun, rasa lelah Sintren Nira membuatnya memaksa diri untuk menentang Walikota. Dia merupakan seorang wanita muda yang cantik dan belum menikah. Bahkan dianggap paling cantik di Kota. Orang-orang dengan hasrat yang tak tertahankan mulai merencanakan cara-cara picik. Dia diculik dari rumahnya dan diperkosa hingga hamil. Ini otomatis mencabut gelarnya sendiri sebagai Sintren.     

Bagi orang, seorang penari yang hamil adalah aib bagi warga kota. Bukan karena seorang sintren dilarang melakukan hubungan badan dengan lawan jenis. Tetapi karena dilarang memiliki anak sebelum gelarnya diserahkan kepada orang lain. Dia dilupakan oleh warga kota. Bahkan di hari kelahiran anaknya, dia hanya dibantu oleh seorang dukun bayi yang kebetulan adalah tetangganya. Dukun bayi itu adalah Nyai Rangkih.     

Seusai melahirkan sang anak, Sintren Nira memutuskan untuk bunuh diri dengan cara meminum racun gurita. Dia tewas meninggalkan seorang anak bayi yang baru lahir. Kini, bayi itu telah menjadi gadis remaja yang bernama Dara Lahita.     

Seorang gadis yang digadang-gadang akan mewarisi titisan Sintren Nira untuk menjadi seorang penari dengan gelar yang sama seperti ibunya. Jika demikian, dia akan sangat dihormati dan disakralkan oleh banyak penduduk kotanya berasal. Seorang Sintren Nira sejati akan memiliki tanda inisial N pada telapak tangan kanannya. Tanda yang muncul sendiri secara magis seperti tanda lahir jika memang dia terpilih sebagai titisan tersebut.     

Namun itu belum ditemukan dalam diri Dara Lahita. Dirinya belum memiliki ciri-ciri yang menjadi syarat keabsahannya sebagai seorang Sintren Nira. Dia masih terus mencari jati dirinya sebagai seorang penari keturunan Sintren. Jika pada akhirnya ia mendapatkan itu, dia bisa saja kembali ke kota asal ibunya di Warebes.     

Kini perlawanannya dengan Saga Winata terasa sangat membahayakan. Tarian-tariannya mampu menciptakan beberapa gerakan yang diubah menjadi gerakan ilmu silat. Jurus-jurus silat ciptaan Nyai Senandung Wulan bahkan mampu ia kombinasikan dengan gerakan tarinya. Ketika melihat tarian itu, Saga Winata tak memikirkan untuk bersiap menghadapi serangan, tetapi justru terbuai dengan gerakan-gerakannya. Jiwanya larut dalam segala bentuk keindahan yang pernah ia lihat di bumi.     

Maka, kelengahan dalam buaian itulah yang membuatnya akhirnya terkena hantaman pukulan Dara Lahita. Hanya pukulan kecil yang mengenai perutnya. Namun karena pukulan itu diisi tenaga dalam, maka memang sudah semestinya sangat menghancurkannya. Saga sampai-sampai harus memuntahkan kembali isi sarapan paginya.     

Saga kembali bangkit dan melawan, serangannya bertubi-tubi mampu dimentahkan oleh gerakan tarian yang gemulai. Beberapa kali Dara Lahita harus memutar badan seolah gerakan itu selaras dengan gerakan silat untuk menghindari serangan. Bahkan, serangan Saga semakin kendur karena gerakan tariannya tak henti-henti membuatnya terbuai. Hingga kembali dia menerima pukulan yang mengenai dada. Membuatnya harus mundur beberapa langkah.     

Saga harus memikirkan sebuah cara yang lain. Tidak bisa kalau dia bertarung dengan cara-cara normal. Dia pun melepas dan mengambil ikat kepalanya. Dia gunakan untuk menutupi mata supaya dirinya tak mampu terbuai dengan pandangannya. Telinganya yang kini ia gunakan untuk membaca gerakan Sang Penari ini. Dia menyelaraskan suara musik kecapi yang dimainkan Kaliloka setiap menebak gerakan tarian Lahita. Sebab gerakannya memang mengikuti irama musik.     

Benar saja. Serangannya kini lebih matang dan mampu mengecoh Lahita. Seolah tak memberikan kesempatan bagi lawannya untuk kembali menyerang. Tak lama kemudian Saga berhasil membuat Dara Lahita terpojok dan jatuh dengan tendangan yang mengenai pinggul. Bahkan tanpa sengaja gadis itu terpeleset ke air terjun. Semua orang menengok ke bawah tebing mengkhawatirkan keselamatan gadis penari ini.     

Hampir saja Nyai Senandung Wulan melompat turun untuk menolongnya. Namun, Nyai Rangkih menahannya, dia tersenyum seolah tahu di bawah sana dia akan baik-baik saja. Semua sudah diperhitungkan sebelumnya oleh Nyai Rangkih. Dara Kaliloka yang memang sudah berada di bawah, langsung sigap menangkap Dara Lahita. Itulah kenapa dia berada di bawah sana, memang tujuannya untuk memastikan keselamatan Dara Lahita. Ketika tariannya berhenti, dia pasti akan kehilangan keseimbangan sehingga akan mudah baginya untuk jatuh. Apalagi lokasi pertarungan yang sangat dekat dengan tebing.     

Dara Kaliloka kemudian memanjat tebing air terjun melawan arusnya yang kuat. Sambil menggendong Dara Lahita serta tak henti memainkan musik kecapinya, sehingga derasnya air terjun mampu ia tundukkan. Kini dia telah sampai di atas. Dia menepi untuk meletakkan tubuh Lahita yang pingsan. Kembali dia ke tengah aliran sungai yang menjadi arena latihan pertarungan. Dia melenguh sejenak meletakkan musik kecapinya.     

Saga masih dalam kondisi menutup mata tanpa tahu apa yang terjadi. Dia membuka penutup matanya itu ketika menyadari musik petikan kecapi telah berhenti. Memang dilihatnya, Kaliloka sudah meletakkan alat musik kecapinya. Dari dalam kembennya, dia mengambil sebuah alat musik lain yang berbentuk seperti harmonika. Itu adalah alat musik tiup.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.