NITYASA : THE SPECIAL GIFT

47. Murka Sang Ayu



47. Murka Sang Ayu

0Bukit rimba Pakembangan seharusnya bersuasana sepi tiada bermanusia. Namun, di siang hari yang terik ini suara desingan pedang saling beradu, bukan dua tiga bilah pedang saja suara yang saling beradu itu, melainkan ratusan. Ditambah suara seruan beberapa manusia bercampur raungan semakin menambah meriahnya rimba raya itu. Sehingga mengagetkan burung-burung yang tengah hinggap di dahan kemudian terbang. Suara-suara ricuh itu didengar oleh seorang nenek tua yang berada di kejauhan. Nenek itu berjalan membungkuk sambil menggendong gulungan ranting-ranting kering yang diikat oleh tali yang terbuat dari bambu. Tubuh bungkuknya ditahan oleh tongkat berbahan kayu waru yang dicengkeramnya selama berjalan.     
0

"Suara keributan apa itu?" gumamnya lirih. Dientaskannya ranting-ranting kering dari gendongnya. Meski badannya sudah membungkuk dan dibantu tongkat ketika berjalan, namun tak disangka-sangka si nenek tua ini malah seketika melesat cepat ke udara dan hinggap pada dahan pohon besar. Dilangkahinya pohon-pohon besar itu dengan loncatan-loncatan gesit bak seekor tupai terbang. Tubuhnya meringankan diri di udara seringan kapas. Dia terus melompat meraih dahan dari pohon satu ke pohon lainnya untuk sampai ke sumber suara.     

Di kejauhan, nyaris dekat dengan puncak bukit, Pasukan Jayendra menyerang komplotan yang dipimpin Purna. Mereka saling beradu pedang dengan ketangkasan silatnya masing-masing. Jayendra membiarkan Seruni menghadapi Purna sendirian. Seperti prinsipnya sendiri bahwa dia tidak akan suka bertarung secara keroyokan. Maka kini Seruni seorang diri memain-mainkan jurus demi melumpuhkan Purna. Lain halnya jika kekasihnya itu hampir kalah, maka dia akan segera menggantikan posisinya. Tetapi dia yakin kemampuan Seruni bukanlah pendekar kelas tengah.     

Tetapi Purna bukan pula pria biasa, dia adalah salah satu pasukan terbaik yang dimiliki keluarga Winata. Maka beberapa kali dia bisa menghindar dari kibasan selendang Seruni yang tak habis-habis meski dipotong oleh pedangnya beberapa kali. Secara kasat mata mungkin itu hanya selendang biasa, tetapi nyatanya lain. Selendang itu mampu terus memanjang mengikuti mantra Ajian Selendang Basudewa yang telah dipelajarinya sejak kecil selama bertahun-tahun oleh Seruni. Pencipta Ajian Selendang Basudewa merupakan Ayahnya sendiri. Beliau terinspirasi dari kisah Mahabharata ketika si putra Kurawa bernama Dursasana menarik kain yang dikenakan Dewi Drupadi demi melucutinya, namun atas bantuan Basudewa Krishna, kain itu menjadi tak berujung. ketika ditarik pun tak ada habisnya. Sama halnya dengan Ajian tersebut.     

Purna terlihat kesulitan barang sejengkal saja melewati serangan kibasan selendang yang tak berjeda itu sehingga tangannya terasa pegal karena harus selalu memotong selendang Seruni tanpa henti dengan pedangnya. Maka menunggu kesempatan terbaik baginya untuk melewati kibasan ganas itu dari atas. Purna melompat salto ke atas berharap mampu mengambil celah untuk menghunuskan pedang langsung ke ubun-ubun Seruni. Kalau saja yang dihadapinya orang biasa, mungkin pedangnya berhasil menancap menembus tengkorak kepala targetnya. Tetapi Seruni tidak sebodoh yang dikira, pendekar wanita dari madura itu tak selengah yang dia pikirkan. Maka dikibaskannya lagi selendang di tangan kirinya ke atas dan menggulung mengait pedang milik Purna hingga mata besinya patah menjadi dua.     

Purna pun mendarat dari lompatan saltonya dan menyadari pedangnya kini tengah kutung. Maka dia mencabut senjata pengganti, yaitu sebilah belati. Dilemparkannya belati itu ke arah muka Seruni. Namun lagi-lagi selendangnya berhasil menepis.     

"Aku merasa terhina kalau kamu menyerangku dengan senjata mainan...!" Seruni menarik selendangnya setelah berbicara seperti itu.     

"Aku tidak memiliki senjata lagi sekarang. Tentunya tidak adil jika lawanku masih bersenjata," Purna menimpali.     

"Dasar pria bodoh...! Dari tadi pedangku masih terbungkus pada sarungnya, belum kucabut sama sekali...!" ujar Seruni.     

"Kau pikir aku bodoh karena tidak tahu Ajian Selendang Basudewa milikmu, wanita murah!?"     

"Mulut Iblis..!!!" maki Seruni yang tak terima dengan umpatan Purna itu. Dia pun menggulung selendang melingkari pingggangnya sendiri. Kali ini lawannya tak bersenjata, dia pun memilih untuk tak menggunakan senjata sama sekali. Kemudian mereka pun lanjut bertarung dengan tangan kosong.     

Di sisi lain pasukan Senopati tengah sibuk melawan Saga Winata yang alot untuk dilumpuhkan itu, meskipun dia dibantu oleh Utkarsa ketika melawannya. Utkarsa bersenjatakan tombak andalannya. Dihunuskannya tombak itu mengincar leher Saga. Tetapi Saga lincah menghindar dengan mudah. Kemudian Senopati menendang paha kanan Saga dan lagi-lagi berhasil dia gagalkan serangannya dengan menangkis tendangan itu menggunakan pedang.     

Senopati dan Utkarsa mencoba menyerang dengan gerakan sedemikian rupa tetapi selalu saja mudah untuk ditepis, dihindari, dan disapu balik. Senopati mengambil ancang-ancang untuk melompat ke atas kepala Saga dan menebaskan pedangnya ke arah lehernya.     

'BLAASSTTTT...!!!' Pedang itu pun hanya mampu memotong kain ikat kepala milik Saga, dan hanya melukai sedikit dahinya. Namun ikat kepala yang terlepas itu membuat rambut panjangnya terurai hingga menutupi matanya. Utkarsa pun mengambil kesempatan itu untuk menyodok perut Saga menggunakan pangkal tombaknya yang tumpul.     

'BUUUUGGGHHHH....!!!' Saga terjerembab ke belakang dan jatuh hingga kepalanya terbanting ke rerumputan. Tangannya memegangi perutnya sedang wajahnya meringis kesakitan. Pukulan tongkat milik Utkarsa cukup keras sehingga membuat Saga mengalami luka dalam. Darah pun mulai keluar dari mulutnya bercampur air liur. Saga mengelap darah yang membekas di bibirnya itu menggunakan punggung tangannya.     

"Menyerahlah, Sukma...!" pinta Senopati. "Kamu tetap akan dipandang sebagai seorang ksatria jika mau patuh terhadap negara."     

"Ksatria yang kepalanya dipenggal di depan umum maksudmu?" ujar Saga meyakinkan.     

"Mungkin tidak bagi putra seorang tumenggung. Aku bisa jamin itu."     

"Kalau begitu siapa sekarang yang menghianati negara?" Saga kemudian bangkit dan berdiri. Dibersihkannya darah yang masih tersisa di dagu dan bibirnya menggunakan kain ikat kepala yang terlepas tadi. Dirinya mengambil posisi kaki memasang kuda-kuda sempurna yang menandakan dia lebih hati-hati lagi menghadapi Senopati Citra dan Utkarsa itu. Dan sekarang dia siap melanjutkan pertarungan.     

"Jadi begini sikap seorang yang mengaku paling ksatria? Main keroyokan?" ejek Saga kepada kedua lawannya itu. "Tapi tak apa. Aku bahkan baru menggunakan seperenambelas kekuatanku...!" Saga menyombongkan diri.     

"...dan kamu berdarah?" ujar Utkarsa balas mengejek.     

"Kalian hanya beruntung saja."     

"Mundur paman...! Biar aku buktikan bahwa dia bisa kalah oleh seorang saja...!" pinta Senopati kepada Utkarsa. Dan dia pun menurutinya. "Ayo Sukma...! Kita bertarung dan jangan berhenti sampai salah satu diantara kita ada yang kalah...!!!"     

"Baik...! Tetapi yang dimaksud kalah di sini adalah mati!" tegas Saga menerima tantangan. Mereka berdua pun melanjutkan pertarungannya.     

Sementara itu Jayendra dan Utpala sudah banyak melumpuhkan gerombolan anak buah Saga Winata yang sekarang turut bersama Purna. Seruni masih saling serang dengan Purna menggunakan tangan kosong. Sekali-kali beberapa pukulan Purna berhasil mengenai perut dan wajah Seruni. Tetapi wanita galak itu masih bertahan dalam pertarungannya. Justru semakin terkena pukulan semakin bertambah pula semangatnya dalam bertarung.     

Dalam satu kesempatan, Seruni melompat ke atas ranting pohon yang tipis. Namun karena dia menggunakan Ajian Peringan Tubuh yang membuat tubuhnya ringan bagai kapas, maka ranting kecil itu mampu menopang tubuhnya. Purna tak mau kalah, dia pun turut melompat ke pohon, dan berhadapan dengan Seruni. Yang dipijak Purna adalah dahan yang ukurannya lebih besar.     

Mereka berhadapan sangat dekat sehingga cukup risih bagi Seruni dan berniat agak mundur selangkah. Tetapi Purna memanfaatkan kelengahan itu. Dengan lancangnya tangan kanan Purna meremas bagian dada Seruni sambil tertawa mengikik seolah meledek. Jelas saja wanita gahar itu marah bukan main mendapat perlakuan tak senonoh itu. Dipatahkannya dahan yang Purna pijak itu sehingga membuat Purna terjatuh ke tanah. Seruni tak memberi kesempatan bagi Purna untuk bangkit. Segera dia melompat dan mendarat di punggung yang tubuhnya tengah tengkurap itu. Seruni kembali menginjak-injak punggungnya beberapa kali sehingga Purna mengerang dan meraung pada setiap kali punggungnya diinjak. Dia merasakan kesakitan yang amat hebat. Mulutnya mengeluarkan darah segar bercampur air liur. Dia tak mampu bangkit lagi karena tenaganya telah terkuras habis bersama darah yang telah keluar banyak.     

Seruni kemudian meraih kaki Purna yang mulai sekarat itu. Di angkatnya kaki itu dan tubuh Purna ikut terangkat. Kemudian dengan satu tangan saja tubuh itu diputar-putar. "Mampus kau pria bangsat...!" maki Seruni sambil mempontang-panting tubuh Purna memutar di atas kepalanya sendiri.     

Jayendra yang melihat kemarahan Seruni berniat ingin menghentikannya. "Seruni...! Jangan...! Kita harus menangkapnya hidup-hidup...!" teriak Jayendra berharap Seruni menghentikan kegiatannya itu. Namun kemarahan telah menutup telinganya. Dirinya tak menghiraukan siapapun meski kekasihnya sendiri yang memperingatkan.     

Di lepaskannya tubuh itu, punggung Purna tepat menancap pada bekas patahan dahan pohon yang runcing. "Aaaaaarrrrggggghhhhh....!!!" teriak Purna sejadi-jadinya. Runcingnya dahan itu menembus bagian jantung Purna.     

Teriakan itu didengar oleh Saga Winata dari kejauhan yang tengah bertarung dengan Senopati Citra Wayang. Sehingga Saga pun memutuskan untuk meninggalkan pertarungan dan bergegas menghampiri sumber suara.     

Sisa-sisa pasukan Saga Winata turut mengekor dibelakangnya.     

"Lihat...!!! Siapa yang pengecut!?" teriak Senopati menanggapi sikap Saga yang dianggapnya melarikan diri. Senopati dan Utkarsa pun mengejarnya diikuti oleh pasukan tentara patroli yang masih tersisa.     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.