NITYASA : THE SPECIAL GIFT

49. Terdesak 1



49. Terdesak 1

0"Tidak...!" seru Saga yang kemudian diam sejenak. Matanya berkaca melihat seluruh pasukannya hampir habis dan hanya tersisa beberapa puluh orang saja. "... kita tidak bertemu lagi...! Selamatkan saja diri kalian! Cepat...!!!" lanjutnya kemudian. Maka meneteslah air mata yang tertahan itu. Dalam waktu sehari, dia harus kehilangan semua yang telah dia miliki. Keluarga yang rasanya sudah sangat melengkapi hidupnya. Purna teman dekatnya harus tewas secara mengenaskan. Sebagian besar anak buahnya pun telah berguguran. Dia tidak ingin lagi menambah korban lebih banyak. Cukup sudah orang lain mengorbankan diri untuknya. Lagipula Winata berarti kebebasan. Meskipun sisa-sisa anak buahnya kini saling berpencar menyelamatkan diri. Selagi mereka bebas, maka mereka tetaplah Winata. Selamanya.      0

Sebagian pasukan Jayendra turut mengejar sisa-sisa pasukan Saga Winata yang berlarian menyelamatkan diri. Senopati Citra dan pasukannya menghentikan laju kudanya begitu sampai di tempat. Saga benar-benar telah terkepung sendirian. Kini seluruh pasukan patroli telah bergabung dan membentuk formasi lingkaran mengelilingi Saga. Begitu juga dengan Jayendra, Seruni, Senopati, Utkarsa, dan Utpala.     

"Kalau aku jadi kamu, aku akan memilih untuk menyerah daripada harus mati tercabik-cabik! Peringatan terakhir, atau..." Ancam Senopati tanpa sempat menyelesaikan kalimatnya.     

"... Atau apa!?" bentak Saga memotong. "Sebagai seorang ksatria sejati, kalian seharusnya bisa membedakan mana kenyataan mana fitnah! Aku tidak membunuh murid Perguruan manapun, aku bahkan tidak pernah menginjakan kaki di Galunggung!"     

"Jika seyakin itu, maka mari jelaskan di pengadilan, supaya semuanya lebih mudah, Sukma!" bujuk Jayendra.     

"Akan lebih mudah jika kalian tidak merenggut nyawa saudara-saudaraku terlebih dahulu!" ujar Saga geregetan menggeretakan gigi-giginya. Bertumpahanlah rasa sedih dan amarah. Air matanya berlinang bercampur keringat wajah. Sehingga pipi dan dahinya terlihat berkilau menyelimuti warna kulit yang mulai kemerahan. Dia sejatinya bukanlah pria cengeng, tetapi siapa yang sanggup menahan amarah dan kesedihan dalam situasi seperti ini. Kalau tidak setegar itu, harusnya dia sudah menyerah karena putus asa. Tetapi pantang baginya untuk tunduk meladeni tuduhan kesalahan yang tak pernah dia perbuat.     

Saga masih dikelilingi oleh pasukan yang tengah siap menyerang, memang terlihat tidak ada harapan lagi baginya untuk bisa lari. Dia harus menggunakan satu-satunya cara yang selayaknya dia lakukan ketika dalam posisi terdesak. Saga duduk dalam posisi kaki menyila, kedua telapak tangannya ditumpangkan menengadah melemas di atas lututnya. Matanya terpejam, dadanya membusung.     

Senopati dan yang lainnya hanya bisa memperhatikannya dalam diam. Mereka berpikir mungkin setelah ini dia akan menyerah. Mungkin itu adalah semacam tanda bahwa dirinya sudah tidak berdaya.     

"Apa kita diamkan saja, Senopati?" tanya Jayendra menunggu perintah.     

"Tahan! Ini semacam ritualnya sebelum menyerahkan diri," ujar Senopati merasa yakin. Namun, Jayendra tentu saja ragu dengan pendapat Senopati. Seharusnya peristiwa itu adalah kesempatan bagi mereka untuk meringkusnya.     

Tiba-tiba terdengar beberapa kalimat seperti sebuah mantra yang diucapkan dari mulut Saga.     

BUMI MINANGKA KAWULA...     

BUMI UGA MUSTAKA...     

BAYU MINANGKA KAWULA...     

BAYU UGA HASTA...     

TIRTA MINANGKA KAWULA...     

TIRTA UGA PAMIDHANGAN...     

LATU MINANGKA KAWULA...     

LATU UGA AMPAYAN...     

Mantra itu diucapkannya berulang-ulang. Tidak ada yang mengerti apa maksud dari mantra-mantra itu, tetapi yang mereka rasakan adalah suasana alam seolah menjadi tidak senyaman sebelumnya. Seperti hendak terjadi sesuatu yang buruk di sekitaran tempat itu. Kemudian, mantra yang diucapkan Saga semakin menyaring. Kali ini diucapkan secara berangsur sepotong demi sepotong kalimat.     

"BUMI MINANGKA KAWULA..." Tiba-tiba berguncanglah tanah yang mereka pijak.     

"BUMI UGA MUSTAKA..." Guncangan itu semakin kuat sehingga merobohkan mereka yang berdiri, situasinya persis gempa bumi. Hanya saja cakupannya di sekitaran mereka saja.     

"BAYU MINANGKA KAWULA..." Embusan angin mulai menelisik menerbangkan segala sampah dedaunan di sekitar hutan perbukitan tersebut.     

"BAYU UGA HASTA..." Terpaannya semakin menguat hingga membuat mereka semua seperti didorong. Bahkan beberapa pasukan yang badannya kerempeng terbawa terbang oleh angin berkekuatan besar itu.     

"TIRTA MINANGKA KAWULA..." Gerimis mulai turun berbarengan dengan angin yang masih bertiup kencang dan tanah yang juga berguncang-guncang.     

"TIRTA UGA PAMIDHANGAN..." Hujan turun secara mendadak disertai gelegar petir yang langsung menyambar pohon tertinggi di sekitar sehinnga pucuk batangnya patah dan jatuh menimpa beberapa orang prajurit patroli. Mereka yang tertimpa pun tewas seketika.     

"LATU MINANGKA KAWULA..." Meskipun hujan lebat berpetir, angin topan mengganas, serta guncangan tanah semakin kuat, namun udara justru terasa memanas membuat mereka yang berada di sekitar mulai merasa aneh dan tidak nyaman.     

"LATU UGA AMPAYAN..." Petir kedua menyambar kembali, kali ini hanya mengenai ranting pohon kecil. Tetapi sambaran itu cukup untuk melahirnya percikan api yang seketika langsung membesar dengan cepat membakar pepohonan dan semak yang berada di sekitar. Meskipun hujan deras, namun api tetap mampu menyala dengan gagahnya.     

Yang aneh dari peristiwa itu adalah, bahwa Saga Winata sendiri tidak terdampak oleh segala efek yang ditimbulkan dari mantra tersebut. Dua meter tanah yang didudukinya tidak berguncang, juga tidak terkena air hujan apalagi embusan badai. Bahkan pakaiannya masih kering kerontang. Hanya orang-orang di sekitarnya lah yang terkena dampak itu.     

Senopati dan semua rekannya masih sedang berjuang menahan terpaan angin yang menguat sambil masing-masing tangannya mencengkeram pada sebatang pohon. Termasuk beberapa pasukan yang masih mampu bertahan.     

"Sukmaraga menggunakan Ajian Kalawasana...!!! Dia benar-benar ingin memusnahkan kita semua...!!!" seru Jayendra menyaringkan suara supaya tidak kalah dengan suara nyaring angin dan hujan.     

"Itu adalah ajian ciptaan Empu Kandang Dewa...!!! Aku pikir ajian itu sudah musnah bersama jazad penciptanya...!!!" Seru Senopati menyaringkan suara pula "Apa ada cara untuk menghentikannya, Jayendra !?"     

"Hanya jika kita mampu menyerang penggunanya, tetapi itu sangat sulit...! karena pusaran anginnya sudah membentengi tubuhnya...!!!" Seru Jayendra menunjuk ke arah angin topan yang berputar-putar mengelilingi Saga Winata. Saga berada di tengah-tengah pusaran angin itu sambil mulutnta masih membacakan mantra dengan posisi duduk bersila memejamkan mata.     

"Siapa saja, Hentikan dia...!!!" seru Senopati membuka perintah. Namun sepertinya sekarang tidak ada yang mampu menjangkau Saga. Bahkan dia sendiri pun masih kesulitan melawan angin.     

Kemudian Utkarsa pun berdiri sambil menegakkan senjata andalannya. tongkat separuh tombak itu digerakannya berputar-putar sehingga membentuk lingkaran yang membentengi dirinya dari kuatnya embusan angin. Di belakang tongkat yang diputar-putar itu dia sedikit demi sedikit maju mendekat ke arah Saga. Semakin dekat, pusarannya semakin kuat, sehingga mau tidak mau putaran tongkatnya harus kuat pula melawannya.     

Ketika dia sudah berada di dekatnya, kakinya bersiap-siap untuk menendang. Jayendra melihat tubuh Saga tiba-tiba menyala kebiruan. "Awas Paman...!!!" teriaknya memperingati Utkarsa. Dan benar saja, ketika kakinya hendak menendang Saga seketika dia langsung terpental. Tak disangka justru tendangannya tertahan oleh semacam medan energi kuat yang melindungi tubuhnya hingga membuatnya terlempar sejauh lima puluh meter. Energi itu sangat kuat dan berbahaya, Bahkan membuat Utkarsa memuntahkan banyak darah dari mulutnya, dadanya pun retak tak mampu menahan kuatnya medan itu.     

"Karsa...!!!" teriak Utpala yang lalu menghampiri Utkarsa.     

Senopati pun bersiap mengeluarkan ajian andalannya. Dilepaskannya sabuk kain dari pinggangnya dan dijadikan semacam cambuk. "CETAAAARRR" Dicambukkanlah sabuk kain itu ke permukaan tanah sebanyak tiga kali. Seketika guncangan itu berhenti.     

"Sabuk Nagapaksa?" gumam Jayendra merasa mengenal ajian yang digunakan Senopati. Diputar-putarlah sabuk itu ke udara sehingga membuat embusan angin pun berhenti. Kini tersisa hujan deras berpetir yang belum reda serta kobaran api yang belum padam. Senopati tengah bersiap hendak mencambukkan Sabuk Nagapaksa ke arah Saga. Namun hal itu disadari oleh Saga yang membuka matanya...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.