NITYASA : THE SPECIAL GIFT

55. Tawar Menawar



55. Tawar Menawar

0"Kang. Kalau jalan jangan terlalu cepat. Aku lapar!" keluh Saksana dengan napas terengah. Langkahnya yang kalah cepat membuatnya tertinggal di belakang. Lingga terlihat sebal akan suatu hal, dia melangkahkan kaki menyapu semak belukar yang menghalangi jalan setapaknya. Tak peduli jika kakinya harus tertusuk dan tersayat duri-duri tanaman liar.     
0

"Gara-gara kamu kita harus jalan kaki." Lingga semakin mempercepat langkahnya. "Kamu seharusnya tahu kalau sudah lebih dari dua pekan kita belum menemukan hasil apa-apa."     

"Bagaimana mau berhasil kalau kita tidak punya tujuan jelas." Saksana berlari kecil hendak segera menyusul langkahnya, dia meraih bahu Lingga. Menahannya supaya berhenti berjalan. "Sudah, Kang. kita istirahat dulu cari makan."     

Lingga berhenti kemudian menatapnya kesal. Seolah Saksana telah membuat kesalahan yang cukup merugikannya.     

"Lapar...,Kang...," keluh Saksana lagi dengan wajah memelas. Lingga tertunduk lesu dan menghela napas panjang, mengeluarkan beberapa keping uang dari kantungnya. "Cuma tinggal segini, mau makan apa?" Ia membeberkan tangannya menunjukkan sisa-sisa uang saku yang mereka miliki.     

"Apa masih ada barang yang tersisa untuk kita jual?" tanya Saksana penuh harap.     

"Seharusnya kita bisa menjual kuda," keluh Lingga kembal, dia terlihat menyayangkan sesuatu. "Tapi karena kamu tidurnya terlalu lelap semalam jadi kuda kita hilang dicuri orang."     

"Kok aku yang disalahkan? Lagipula Kakang Lingga yang terlalu pelit, kalau kita semalam tidur di penginapan kan kuda kita aman. Kakang malah memilih tidur di tengah hutan." Saksana tak mau disalahkan, sebab rasa ngantuknya juga manusiawi, meskipun semula kesepakatannya adalah bergantian untuk menjaga kuda ketika salah satu di antara mereka tidur.     

"Sudah. Jangan berdebat. Di pemukiman berikutnya kita akan melewati pasar. Kita cari makanan ringan di sana saja," ajak Lingga sembari meneruskan jalannya. Disusul Saksana yang masih tak mampu mengimbangi cara berjalan Lingga yang terlalu cepat.     

Pasar Sidahurip adalah pasar di pusat Kadipaten Bongkor. Meski jauh dari pusat Ibukota Galuh, pasar ini termasuk yang cukup ramai untuk sekelas pasar daerah. Masih banyak ditemukan pedagang-pedagang lokal maupun asing yang menjual berbagai macam kebutuhan. Setibanya di pasar, mereka kembali berdebat tentang memilih makanan apa yang cocok untuk mengisi perut mereka dengan bekal uang yang terbatas.     

"Bagaimana kalau Kue Putu Ayu?" tanya Lingga memberi saran. Tetapi, dilihat dari ekspresi wajah Saksana, seperti tidak menyambut baik saran itu.     

"Aku tidak suka makanan manis," jawab Saksana menolak.     

"Kalau begitu Rangginang saja," Lingga kembali menyarankan.     

"Tidak kenyang," tolaknya Lagi.     

"Uang pas-pasan banyak maunya," omel Lingga menanggapi adiknya yang bebal itu. "Kamu mau makan atau tidak?"     

"Kita makan Roti Arab saja. Itu di sana ada pedagang Arab." Saksana menunjuk ke arah pedagang berpakaian gamis warna-warni dengan Guthrah yang menutupi kepalanya. Lingga turut melihatnya, dan ia sedikit mengerutkan dahi.     

"Katanya tidak suka yang manis-manis," ujar Lingga memarahi.     

"Roti Arab itu tidak manis, Kang." Saksana menjelaskan. "Biasanya ada isian daging di dalamnya."     

"Kalau begitu buka ikat kepala mu," perintah Lingga. ia berpikir bahwa makanan asing yang dijual oleh pedagang asing, mungkin saja harganya akan sangat mahal.     

"Buat apa?" tanya Saksana sedkit menjauhkan diri.     

"Potong rambut panjang mu, kita jual supaya bisa untuk membeli roti mahal itu." Lingga mencoba melepaskan paksa ikat kepala Saksana. namun Saksana buru-buru mengelak.     

"Tidak mau," tolak Saksana. "Tawar saja harganya."     

Lingga cukup sabar menghadapi adik seperguruannya yang banyak maunya itu, dengan pasrah dia pun menurutinya. Ia berharap harga roti itu tidak semahal yang dibayangkan. Mereka berjalan mendekat ke pedagang roti. Roti arab yang dimaksud adalah roti Hawbi, makanan khas timur tengah dengan isi daging cincang yang biasanya ditabur bubuk cabai sesuai selera. Banyak pedagang lain yang menjual makanan di sekitar, namun yang satu ini menjadi perhatian khusus bagi Saksana.     

"Berapa harga roti kering ini?" tanya Lingga kepada si Pedagang.     

"Tiga puluh sen" jawab pedagang.     

"Hah? Gila! Hanya untuk sekepal tepung gandum goreng?"     

"Memangnya Ki Sanak tahu berapa harga gandum sekarang?"     

"Dengar ya, pedagang. Adikku ini pandai menawar harga, dia akan terus menawar harga barang hingga pipi penjualnya memerah. Dia bahkan bisa melakukannya seumur hidup. Jadi, sebelum dia yang bertindak, lebih baik kurangi harga untukku lebih dulu." Lingga sedikit menggeretak pedagang hanya demi mensiasati harga. Padahal dia hanya melebih-lebihkan. Justru Saksana tidak bisa menawar harga sepeser pun.     

"Apa Ki Sanak mengancam saya?" kata si Pedagang menantang. Gertakan Lingga membuatnya sedikit merasa terancam.     

"Tidak," bantah Lingga tak mau mengaku.     

"Hei Kang!" teriak si pedagang memanggil salah satu preman pasar. Pria bertubuh kekar itu pun berjalan petentengan mendekati mereka. Saksana sedikit ketakutan dibuatnya. Dia pun menyembunyikan diri dibalik ketikak Kakaknya.     

"Ada apa!?" bentak si preman. Matanya melotot seolah sengaja memasang wajah seram berharap semua orang takut kepadanya.     

"Orang ini mengancam akan memukul ku?" Si pedagang mengadu pada preman pasar berparas brengosan tersebut. Seketika si preman memandangi mereka berdua.     

"Hei, tidak! Siapa yang bilang begitu?" protes Lingga panik.     

"Eh... Kami sedang tawar menawar harga, Tuan. Jadi, wajar kalau kata-kata yang kami lontarkan terkesan berlebihan." Saksana mencoba membela diri. Bagaimana pun mereka merasa pantas takut karena memang mereka merasa bersalah.     

"Pergi dari sini atau kepalamu remuk!" ancam si preman membentak. Lingga memilih untuk mengalah. Dia pun berbisik kepada Saksana untuk segera pergi daripada membuat masalah. Mereka melangkah menjauhi pedagang roti tersebut.     

"Hei...! Tunggu...!" seru si preman menahan mereka berdua. Lingga dan Saksana pun berbalik.     

"Kalian sudah membuat pedagang ini kecewa. Sekarang bayar uang permintaan maaf." Si preman berusaha memeras mereka. Namun, Lingga sudah tahu dengan apa yang dimaksud si preman. Semakin dia tunduk maka akan semakin direndahkan pula dirinya. Kali ini tidak ada ampun bagi pria brengosan itu. Lingga dan Saksana pun berbalik badan.     

"Kami tidak punya uang," ujar Lingga berterus terang.     

"Bohong!" Bentak si preman. "Kalau tidak punya uang, mana mungkin berniat membeli makanan."     

"Karena kami lapar." Lingga tak habis kata-kata untuk menjawab. Seketika tangannya bersiap hendak mencabut pedang dari sarungnya.     

Si preman geram dibuatnya, ia melirik ke arah pedang yang menggantung di pinggang Lingga dan Saksana.     

"Oh..., ternyata ada yang mau jadi jagoan di sini," ujar preman tersebut. Tak lama sekumpulan orang berpakaian sama seperti si preman dengan badan yang rata-rata besar berkumpul di belakangnya. mereka berusaha mengepung Lingga dan Saksana. Kira-kira jumlahnya sekitar 15 orang. Mereka membentuk lingkaran dengan posisi Lingga dan Saksana berada di tengah. Para pedagang dan pengunjung pasar tak ada yang berani menahan meski mereka tahu bahwa akan ada hal buruk terjadi di tempat yang menjadi keseharian mereka melakukan jual-beli. Sebab mereka adalah kelompok preman yang sudah dikenal menguasai keamanan di pasar. Tak ada pasukan resmi dari pihak Kerajaan yang berjaga, karena memang letaknya jauh dari ibukota.     

"Sebelum semuanya dimulai, Apakah ada yang mau mundur?" ucap Lingga mempersilakan siapa saja dari mereka untuk keluar dari keterlibatan pertarungan yang akan berlangsung sebelum dia sendiri benar-benar membuat mereka tumbang dan lumpuh.     

Si preman adalah pemimpin mereka, dengan menarik napas panjang, dia pun bersiap memberikan aba-aba kepada pasukannya.     

"SERANG!!!"     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.