NITYASA : THE SPECIAL GIFT

78. Gadis Padang Rumput



78. Gadis Padang Rumput

0Angin pegunungan bertiup kencang, awan hitam bergulung-gulung menebarkan hawa dingin menusuk sumsum tulang. Pria ini sedang memanjat tebing curam dengan jari-jemari dari kedua tangannya. Sesekali kakinya berpijak pada tonjolan batu yang menyumbul pada dinding tebing. Pakaiannya semakin hari semakin lusuh karena tak pernah diganti, ikat kepalanya sudah hilang entah kemana akibat pelarian yang tiada habisnya. Di pinggangnya terikat sebuah kantung berisi buah-buahan.     
0

Saga Winata nama pria ini. Sebentar-sebentar dia menengadah menatap ke langit. Burung-burung rajawali itulah yang menjadi titik tumpu perhatiannya. Mereka beterbangan memutari tebing nan curam. Di mana di bawahnya membentang jurang-jurang yang tak pernah terukur kedalamannya. Sementara suara-suara dari burung liar itu terus menguak menggema hingga ke dasar tebing.     

Satu perasaan tertantang yang membuat pria ini terus saja bersemangat menaiki tebing curam. Sesekali pijakan kakinya terpeleset karena bebatuan dinding yang licin dan berlumut. Namun karena cengkeraman jarinya masih cukup kuat, akhirnya dia mampu bertahan dan berlanjut memanjat. Ia masih enggan menggunakan tenaga dalamnya. Karena itu berarti akan lebih mudah dan cepat sampai ke atas. Sementara dalam kegiatannya itu, Saga hanya sedang melatih kekuatan jemari tangan dan kaki secara alami.     

"Ayo Tuan Pendekar, kamu pasti bisa." Di atasnya berteriak seorang hadis remaja yang sedang enak-enakan menikmati buah kedondong sambil duduk di padang rumput atas tebing. Rambutnya digelung dengan membentuk cekungan layaknya mangkuk. Dalam cekungan rambut itu, ia letakkan butiran-butiran biji jagung supaya burung-burung kecil menghinggapinya.     

"Jangan habiskan buah-buahan yang sudah susah-susah aku petik, Harina." Saga berteriak dari dinding tebing, ia lah yang memetik buah-buahan dari bawah sana. Lembah yang curam dipenuhi banyak pepohonan berbuah lebat. Sangat jarang ada orang yang mau berada di lembah itu. Sebab, jika pun ada yang bisa menyambanginya, maka sudah bisa dipastikan akan kesulitan untuk kembali naik ke atas.     

"Makanya cepat naik." Gadis itu masih saja menikmati gigitan demi gigitan buah kedondong. Selain burung-burung kecil yang hinggap di rambut kepalanya, beberapa kupu-kupu juga beterbangan di sekelilingnya. Beberapa pohon bunga berjajar rapi mengisi hamparan padang rumput itu.     

Akhirnya tangan Saga Winata meraih celah terakhir untuk sampai ke atas. Dia mengangkat satu kakinya untuk meraih puncak tebing, lengannya mulai terlihat berotot serta badannya mulai kekar. Butuh tenaga yang banyak untuk memanjat tebing itu seorang diri. Kini Saga bernafas cepat dan tersengal. Diambilnya lagi sekantung buah untuk diberikan kepada remaja di depannya ini.     

"Uhuy... Terima kasih Paman Saga." Gadis itu meraih kantung berisi buah tersebut. Ia membukanya kemudian. Didapati beberapa jenis buah seperti anggur dan apel. Ia kemudian memakannya dengan rasa senang.     

"Sudah aku bilang jangan panggil aku dengan sebutan paman. Aku belum terlalu tua untuk dipanggil demikian," kata Saga ketika merebahkan tubuhnya akibat kelelahan. Pandangan matanya menatap ke langit menyaksikan sekumpulan rajawali terbang memutar di atasnya.     

"Kalau begitu harusnya aku panggil siapa?" tanya Harina seraya menyemil butir-butir anggur.     

"Pilih panggilan layaknya kamu memanggil seorang kakak."     

"Baiklah, Kakang Saga yang baik." Dara Harina menikmati buah-buahan itu dengan penuh rasa suka cita.     

Sementara Saga Winata masih merebahkan badan. kini matanya terpejam tidur-tidur ayam. Ia sangat menikmati angin sepoi-sepoi yang berhembus lembut melewati sekujur bandan nya. Belum pernah ia merasakan ketenangan semacam ini. Perasaan yang tidak mungkin bisa ia dapatkan di tempat lain di luaran sana. Padahal statusnya kini masih buronan Kerajaan. Sejuta pasang mata kini mencari-cari keberadaannya.     

Di sebelahnya, seorang gadis remaja bernama Dara Harina masih asyik menikmati sebuah anggur. Saga sesekali membuka mata melirik ke arah gadis itu. Dalam sekejap, ada perasaan senang melihatnya. Ia mulai merasa gadis itu seperti adiknya sendiri. Apalagi jiwa nya yang suka bermain-main dengan alam ditemani burung-burung liar. Bahkan seekor burung pemburu mangsa bisa takluk olehnya.     

Sebutir anggur ia pegang, ia naikkan tangan kanannya ke atas. Tiba-tiba saja seekor rajawali menyambar. Paruhnya memungut butir anggur tersebut. Pekikan Rajawali yang nyaring mengagetkan Saga hingga matanya terbelalak seketika. Saga dibuat terkejut melihatnya. Ia pun bangkit dari posisi rebah akibat kelelahan. Kemudian mendongak ke atas memperhatikan rajawali itu terbang kembali.     

"Bagaimana mungkin?" Saga keheranan menyaksikan di depan matanya seekor rajawali baru saja menyambar sebutir anggur.     

"Apanya?" tanya Harina.     

"Rajawali pemakan buah?" tanya Saga keheranan menyaksikan apa yang terjadi di depan mata. Rajawali adalah burung pemakan daging. Bahkan paruhnya diciptakan tajam dan runcing yang berguna untuk mencabik daging dari mangsanya. Harina tertawa kecil menyaksikan ekspresi wajah Saga yang penuh kebingungan.     

"Kalau aku yang memberi, apapun akan mereka makan." Kedua kalinya Harina melakukan hal yang sama, ia kembali membuat rajawali menyambar buah anggur yang sengaja ia naikan ke atas oleh tangannya.     

"Bagaimana cara kamu melakukannya?" tanya Saga yang masih merasa takjub.     

"Kau sudah melihatnya kan tadi? Aku hanya menaikkan tangan kanan ke atas." Tawa gadis itu mengikik usai mengatakan hal yang sebenarnya bukan jawaban sesungguhnya.     

"Bukan, maksudku bagaimana cara kamu membuat mereka menuruti mu?"     

"Siapapun akan bersahabat jika kita mau bersikap ramah." Kemudian ia meletakkan buah-buahannya kembali lalu menyodorkan jarinya ke atas rambut sehingga burung-burung yang semula menghinggapi gelung rambutnya untuk memakan butiran biji jagung, kini mau menumpang hinggap pada jari nya. "Apalagi binatang. Jangan dikira mereka hanya tahu hukum rimba. Mereka juga tahu bagaimana cara membalas budi."     

"Apalagi yang bisa kamu lakukan?" tanya Saga.     

"Menghabiskan buah-buahan ini sendirian." Harina lalu melepaskan burung kecil itu dan terbang bebas. Kemudian ia mengambil lagi buah apel untuk ia makan sendiri. Saga Winata tak mau kehabisan, ia cepat-cepat mengambil sebuah apel lalu memakannya pula.     

"Apa saja yang diajarkan oleh Nyai Senandung Wulan kepadamu?" Seraya menikmati buah apel yang baru saja ia petik di lembah di bawah sana.     

"Sama seperti saudariku yang lain. Kami diajarkan kebaikan, kejujuran dan budi pekerti."     

"Kau tidak diajarkan ilmu Kanuragan, Harina?"     

"Lebih seringnya aku yang berontak. Ketika mereka semua berlatih silat kanuragan, aku memilih untuk menyendiri di sini."     

"Kenapa?" tanya Saga.     

"Bagaimana mungkin aku yang menyukai kedamaian ini harus dipaksa mempelajari sesuatu yang pada akhirnya digunakan untuk menyakiti orang lain. Alam ini begitu indah. Tanpa keberadaan manusia pun akan tetap indah. Di sini bahkan aku bisa berbahagia dengan Si Gagah."     

"Si Gagah?"     

"Dia pujaan hatiku."     

"Aku pikir tidak ada pria lain di tempat ini selain ku?"     

"Dia bukan manusia." Harina menyumpal jari ke mulut melipat lidahnya sendiri dengan kedua jari telunjuk. Lalu membuat suara siulan yang nyaring dan melengking. Dari kejauhan terlihatlah seekor burung elang mendekatinya. Kemudian menukik hendak mendarat. Cakarnya yang besar dan kuat hinggap pada pundak gadis remaja itu. "Ini dia Si Gagah."     

"Aku tak habis pikir, kau memacari seekor elang jawa."     

"Yang jelas, jika aku menyayanginya, dia tidak akan menyakitiku." Ia mengelus elus kepala elang yang berjambul putih itu. "Lain hal nya dengan manusia. Apalagi laki-laki. Mereka bisa saja menyakiti meski seorang wanita sudah menyayanginya sepenuh hati."     

"Bagaimana kamu tahu sifat laki-laki kalau seumur hidup kamu tinggal di tempat ini dan menyepi kan diri?"     

"Bunda Wulan yang mengatakan itu."     

Saga menghela napas panjang. Ia kemudian berdiri dan menatap ke arah dataran rendah yang menghampar di bawah sana. Dari ketinggian, terlihatlah banyak hutan dan pedesaan. Ia mengingat bagaimana dirinya bersikap tidak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh mantan kekasihnya, Nirmala.     

"Kau teringat sesuatu, Kang?" tanya Harina yang kemudian turut berdiri. Pundaknya masih dihinggapi elang kesayangannya itu.     

"Aku adalah si pria yang telah menyakiti perasaan wanita ku yang sepenuh hati."     

"Kau punya kekasih?"     

"Dulunya iya. Sekarang sudah tidak lagi. Dia tidak bisa menerima kenyataan tentang ku. Bodohnya aku tidak pernah mengatakan jati diri ku yang sebenarnya."     

"Aku tahu bagaimana sebenarnya, Bunda Wulan dan Nenek Rangkih telah banyak bercerita tentang mu."     

Saga Winata masih saja terdiam memandangi hamparan dataran rendah di bawah bukit Pakembangan itu. Ia ingat betul bagaimana sering nya dulu bersama Nirmala bermesraan di tempat-tempat indah seperti kebun bunga atau sungai-sungai dangkal dengan banyak bebatuan. Namun, Nirmala tidak tahu bahwa ada tempat seindah ini di Pakembangan. Andai saja sejak dulu Saga sudah tahu tempat ini, pasti ia akan mengajaknya.     

"Sudah, yang lalu biarlah berlalu. Jangan berlarut dalam kenangan."     

"Aku hanya merindukannya. Dan hanya ingin tahu apa yang sedang dia lakukan sekarang."     

Harina berbisik dengan elang kesayangannya. Tak lama kemudian elang itu terbang beban ke langit.     

"Apa yang kau bisikkan?"     

"Ah bukan apa-apa kok."     

Tak lama kemudian, suara gemuruh menggelegar di langit. Awan teduh yang telah terkumpul sedari siang tadi sudah siap untuk menjatuhkan tetes demi tetes air untuk membasahi bumi. Tiba-tiba gerimis turun, sekeliling bukit itu menjadi berkabut. Dara Harina dan Saga Winata buru-buru meninggalkan padang rumput di bukit itu sebelum hujan yang lebih deras benar-benar mengguyur mereka. Mereka berjalan cepat meninggalkan padang rumput itu untuk kembali ke pondok di Curug Sangkol. Kini mereka berjalan beriringan melewati jalanan setapak yang licin. Andai saja mereka membawa kuda, pasti akan lebih cepat sampai.     

(bersambung...)     

***     

NITYASA : THE SPECIAL GIFT     

Adalah Novel karya SIGIT IRAWAN dengan latar KERAJAAN GALUH pada masa abad 13 masehi. Novel ini telah menjadi Novel digital dengan genre fiksi sejarah pertama di Webnovel.     

Tentu author sangat bangga atas penobatan sebagai novel fiksi sejarah pertama. author berharap NITYASA : THE SPECIAL GIFT akan mampu menjadi pelopor bagi novel sejenis yang lainnya. Semoga semakin banyak genre FIKSI SEJARAH di webnovel ini.     

Sebab, pengetahuan akan sejarah bangsa sendiri sangatlah penting di era milenium seperti sekarang. Meskipun ada embel-embel fiksi, sejatinya genre sejarah mempunyai ruh sendiri dalam membawa kisah-kisah klasik yang sesuai dengan kondisi pada zaman yang diceritakan tersebut. Paling tidak dengan mengkombinasikan sejarah nyata dengan fiksi, mampu membuat sejarah tidak terasa membosankan, justru akan terlihat menyenangkan.     

SALAM WINATA... SALAM KEBEBASAN     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.