NITYASA : THE SPECIAL GIFT

80. Aroma Busuk



80. Aroma Busuk

0"Aku tidak menyangka, Gusti Senopati begitu percaya dengan orang semacam ini." Ki Menyawak memegangi tali kekang kuda, ia bersama Jayendra menaiki kuda masing-masing seperti hendak menuju ke suatu tempat.     
0

"Tentu saja ada jaminannya, Menyawak." Jayendra menimpali. Ia tidak serta merta percaya begitu saja dengan orang yang pernah membuat keributan di Pasar Saunggalah. Apalagi dia adalah mantan pemimpin rampok.     

"Apa itu, Gusti?" tanya Ki Menyawak penasaran.     

"Kepalamu," jawab Jayendra. Mendengar itu, Ki Menyawak langsung terdiam tanpa mau lagi bertanya-tanya. Ia kemudian berfokus mengendarai kudanya saja.     

"Kenapa kamu begitu yakin kalau tempat yang akan kita datangi ini juga akan didatangi oleh Saga Winata?" tanya Jayendra kemudian. Membuat Ki Menyawak yang semula ingin diam tiba-tiba kembali terpaksa harus menanggapinya.     

"Karena ketika seorang murid kebingungan, ia akan kembali kepada gurunya." Ki Menyawak menjelaskan. Ia yakin bahwa Saga Winata akan mendatangi orang ini.     

"Jadi, orang ini adalah guru Saga Winata?" tanya Jayendra meyakinkan.     

"Benar. Namanya Ki Banyak Winata."     

"Dari mana kamu tahu?"     

"Dulu kami sepasang perampok yang paling ditakuti di seluruh Galuh Raya. Tidak ada wilayah jalur dagang yang tidak kami kuasai. Suatu ketika kami kemudian berselisih karena masalah wanita, sehingga kami memutuskan untuk berpisah dan membagi wilayah kekuasaan. Kami juga kemudian memutuskan untuk memiliki beberapa pasukan sendiri-sendiri. Ketika itu masuklah seorang remaja yang bernama Saga Winata di kelompok Ki Banyak Winata. Hingga ketika ia memutuskan untuk berhenti menjadi perampok, Saga Winata lah yang kemudian diangkat menjadi pemimpin di kelompoknya. Pemuda itu tidak tahu sejarah persahabatanku dengan Ki Banyak, sehingga ia menganggap aku benar-benar pesaing yang harus dikalahkan. Suatu ketika kami berselisih, kemudian kelompok ku kalah. Peta kekuasaan berubah. Aku jadi lebih sedikit memegang kuasa. Hanya di sekitar sungai Citarum saja. Sementara mereka menguasai jalur dagang utama. Sejak saat itu kami tidak saling menyukai."     

Kini mereka memasuki sebuah kota yang berada di wilayah selatan Galuh. Jauh dari Kota Saunggalah. Namanya Kota Majinang. Bau busuk menyeruak menyengat hidung. Para penduduk kota Majinang merasa resah dengan aroma yang membuat perut mereka mual. Mereka juga bukannya tidak tahu dari mana datangnya bau busuk itu... dari kanal-kanal yang membelah dua jalur jalanan kota. Warna air nya benar-benar hitam legam, kotor, dan tak terurus. Banyak beterbangan lalat-lalat hijau di permukaannya.     

Kota Majinang adalah kota terbesar kedua di wilayah Galuh setelah Kota Saunggalah. Walikota di sini bernama Panembahan Cucuraga. Dulunya ia merupakan seseorang yang berjasa dalam mengurus pembangunan kanal-kanal yang mengairi beberapa daerah di selatan. Untuk itu Sang Raja mengangkatnya menjadi Walikota karena jasanya dalam pembangunan.     

"Bau busuk apa ini?" tanya Jayendra sembari menunggangi kuda. Ia kini kembali berpakaian seperti saat dirinya menjadi pendekar, ditambah caping yang menutupi kepala agar tidak dikenali. Itu dilakukannya supaya mengurangi perhatian orang banyak. Hampir seluruh penduduk kota memakai cadar atau sesuati yang menutupi mulut dan hidungnya agar bau busuk dari kanal itu tidak terlalu menyengat.     

"Lihat lah di sebelah kananmu, Senopati. Bukankah kanal yang hitam yang permukaannya dipenuhi lalat itu sudah cukup menjelaskan?" Ki Menyawak menyeru di sebelahnya. Ia juga menunggangi seekor kuda. Penampilannya diatur sedemikian rupa menyerupai seorang brahmana dengan kain serba putih. "Kota ini biasanya sangat ramai oleh para pedagang dari mancanagari. Tetapi beberapa tahun belakangan aku dengar Walikota nya sedang sekarat karena menderita penyakit langka. Jadi, tidak ada yang sempat mengurus."     

Jayendra hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasan Ki Menyawak. Ia lalu bergegas mengendarai kuda agar lebih cepat terbebas dari jalanan tepi kanal supaya menjauh dari sumber bau busuk yang menyengat. Ada hal yang membuatnya begitu terbelalak ketika melihat beberapa toko dan kios di tepi kiri jalan yang semakin sepi karena orang-orang mulai malas untuk berkunjung ke pasar.     

Blakangan ini Panembahan Cucuraga sudah tak secekatan dulu ketika mengatur pembangunan kanal. Ia kini dianggap separuh badannya mati karena penyakit yang diderita. Seharusnya seseorang menggantikan kuasanya. Namun, Panembahan Cucuraga bersikeras akan sembuh dan mampu memangku kembali untuk mengurus kota.     

"Sebenarnya kita mau ke mana? Sebaiknya cari jalan terobosan agar cepat sampai tujuan atau kamu akan aku masukan kembali ke penjara." Jayendra mengancam Ki Menyawak yang sedang menuntunnya menuju sebuah tempat yang ia janjikan.     

"Sabar, Senopati. Aku punya banyak sifat buruk, tetapi berbohong bukanlah salah satunya."     

"Sebaiknya kau benar."     

Laju kuda dipercepat supaya mereka bisa cepat sampai tujuan, namun jalanan tepi kanal yang mereka lalui benar-benar panjang. Sudah sangat jauh kuda berlari tetap saja masih terdapat kanal berbau busuk itu di sebelah kanan jalannya. Sementara kios dan toko yang semula menghiasi pemandangan jalanan di tepi kiri, kini telah berganti menjadi perkebunan salak yang ukuran pohonnya setinggi dua kali tubuh manusia dewasa. Selain tinggi, jarak antara tanaman satu dengan lainnya cukup dekat. Sehingga terlihat sangat lebih daun-daun pohon salak yang dihasilkan. Membuat jalanan di sekitar perkebunan itu seolah gelap mencekam karena sinar matahari terhalang oleh daun-daunnya yang lebat.     

Satu hal yang membuat Jayendra tak habis pikir adalah, meski kanal tersebut telah berbau busuk, namun masih saja ada beberapa warga yang menggunakan air tersebut untuk mandi dan mencuci. Memang hanya ini lah satu-satunya sumber air andalan Kota Majinang. Kota ini memang sangat jauh dari pegunungan sehingga jauh pula sumber air bersih. Beberapa warga lain juga tampak sedang asik memancing ikan di tepiannya.     

"Nah, setelah tikungan kita sampai." Ki Menyawak menunjuk sebuah tikungan ke kiri yang kemudian membuat jalanan menjauhi kanal. Maka lega lah Jayendra karena sudah terbebas dari aroma busuk yang menyiksa nya sampai-sampai kepalanya menjadi pening. Kemudian dia menyibak kain yang semula menutupi mulut dan hidungnya supaya bisa menghirup kembali udara segar.     

Sampailah mereka pada jalanan yang membelah pemukiman penduduk. Jayendra dan Ki Menyawak memperlambat laju kuda agar tidak terlewat pada rumah seseorang yang akan ditujunya. Namun tiba-tiba saja serombongan orang dari belakang mereka menyalip, sehingga membuat mereka berdua menepikan diri sejenak membiarkan orang-orang ini lewat.     

"Permisi Ki Sanak...," ucap salah seorang dari rombongan tersebut.     

Lagi-lagi harus ada bau busuk menyengat, Jayendra kembali menutupi mulut dan hidungnya dengan kain. Empat orang nampak memimul tandu. Mereka berjalan serempak paling dulu sementara di belakangnya menyusul 30 orang terbagi membentuk dua barisan. Ada seseorang yang berbaring di atas tandu yang dipikul itu. Tubuhnya terlihat kurus kerontang dan kulitnya banyak sekali bercak-bercak merah. Beberapa bagian kulit malah terbentuk layaknya bisul dengan ujung benjolannya pecah mengeluarkan nanah.     

"Ada apa ini?" tanya Jayendra sedikit terbatuk karena tidak tahan dengan bau busuk.     

Ki Menyawak kemudian mencegat seseorang yang berbaris paling belakang. Hingga orang tersebut kemudian berhenti.     

"Maaf, Ki Sanak. Ini ada apa?" tanya Ki Menyawak kepada orang itu. Seorang pria yang menatapnya penuh ketajaman. Ia menyapu pandangannya kepada Ki Menyawak dan Jayendra.     

"Sepertinya kalian bukan orang sini...," tebak Pria tersebut. Ia seperti tak mau menjawab pertanyaan Ki Menyawak. Kemudian tatapannya berubah menjadi sinis. "Sebaiknya kalian cepat pergi dari kota ini. Atau kalian akan menyesal."     

Kemudian Jayendra menuruni kuda dan menghampiri pria ini. Ia menatap tajam ke arah orang yang sedang ditanya-tanya oleh Ki Menyawak tersebut. "Menyesal kenapa? Kami hanya perlu jawaban. Kami sudah biasa menghadapi beebagai ancaman."     

"Jadi kalian pendekar?" tanya pria itu masih seolah sinis, ia berkata demikian setelah melihat pedang tergantung di pinggul Jayendra dan Ki Menyawak. Serta pakaian yang lusuh dan alakadarnya, ciri-ciri seorang pendekar.     

"Kalau iya kenapa?" tanya Jayendra menggeretak.     

"Dengar Ki Sanak. Mau kalian pendekar hebat sekalipun, jika kalian berlama-lama berada di kota ini, tentu akan sangat bahaya. Karena ancaman yang akan kalian hadapi akan lebih buruk daripada apa yang pernah kalian lawan." Pria tersebut bersikeras berusaha agara Jayendra dan Ki Menyawak segera pergi dari kota ini.     

"Siapa? Aku pernah melawan iblis dan siluman, jadi itu tidak jadi masalah buat ku." Ki Menyawak sesumbar karena merasa yakin bahwa musuh yang dibicarakan ini mampu ia hadapi.     

Lalu Jayendra menyela, "Sebaiknya katakan saja sedang ada masalah apa? Kenapa orang itu ditandu?" tanya Jayendra ngotot.     

"Maaf, Ki Sanak. Aku tidak bisa mengatakannya. Lebih baik kalian pergi saja demi kebaikan kalian sendiri," ujar Pria tersebut ngotot. Ia kemudian berlalu meninggalkan mereka berdua.     

Ki Menyawak yang tidak sabaran dibuat geram, ia kemudian memiting leher pria itu dari belakang. Kemudian membantingnya ke tanah. Pria itu berteriak meminta tolong. Tiba-tiba datang serombongan orang berpakaian prajurit penjaga kota menghampiri. Mereka berjumlah sekitar lima orang.     

"Ada masalah apa?" seru salah satu prajurit bertanya.     

"Orang-orang ini memaksa ku menjawab pertanyaan yang tidak bisa aku jawab." Pria itu mengadu sambil wajahnya meringis kesakitan.     

"Kalian ditangkap karena telah merusuh di sini. Turunkan senjata kalian, Pendekar." Beberapa pajurit tersebut menodongkan tombak ke arah Jayendra dan Ki Menyawak. Membuat Ki Menyawak melirik Jayendra. Lalu alih-alih meletakkan senjata, Jayendra malah membuka capingnya.     

Kelima Prajurit Penjaga Kota tersebut seketika bersimpuh dan memohon ampun ketika melihat orang yang akan mereka tangkap adalah seorang Senopati Galuh. Yang tentu saja adalah atasan mereka.     

"Ampun, Gusti Senopati. Hamba minta ampun karena tidak tahu. Ampun atas kelancangan hamba." Kata seorang prajurit.     

"Bangun!" tegas Jayendra. "Kami sudah bertanya baik-baik, tetapi pria ini bersikeras tidak mau menjawab kejadian yang sebenarnya, ada apa?"     

Beberapa prajurit itu gugup, mereka seolah mempunyai dua pilihan berat antara mengatakannya dan tidak. Mereka terdiam cukup lama. Tetapi, karena seorang senopati yang bertanya, maka terpaksa akhirnya mereka menjawab.     

"Kota ini diserang, Gusti?"     

"Diserang? Oleh siapa?"     

"Maaf Gusti, bukannya hamba ingin menolak perintah, tetapi alangkah lebih baik, jika Tuan Walikota lah yang berhak menjelaskan ini, hamba tidak punya kewenangan dan telah disumpah untuk tidak mengatakannya."     

"Baiklah. Ayo antarkan aku ke kediaman Walikota."     

"Baik, Gusti."     

(bersambung...)     

***     

NITYASA : THE SPECIAL GIFT     

Adalah Novel karya SIGIT IRAWAN dengan latar KERAJAAN GALUH pada masa abad 13 masehi. Novel ini telah menjadi Novel digital dengan genre, fiksi sejarah pertama di Webnovel.     

Tentu author sangat bangga atas penobatan sebagai novel fiksi sejarah pertama. author berharap NITYASA : THE SPECIAL GIFT akan mampu menjadi pelopor bagi novel sejenis yang lainnya. Semoga semakin banyak genre FIKSI SEJARAH di webnovel ini.     

Sebab, pengetahuan akan sejarah bangsa sendiri sangatlah penting di era milenium seperti sekarang. Meskipun ada embel-embel fiksi, sejatinya genre sejarah mempunyai ruh sendiri dalam membawa kisah-kisah klasik yang sesuai dengan kondisi pada zaman yang diceritakan tersebut. Paling tidak dengan mengkombinasikan sejarah nyata dengan fiksi, mampu membuat sejarah tidak terasa membosankan, justru akan terlihat menyenangkan.     

SALAM WINATA... SALAM KEBEBASAN     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.